Relasi TNI-Polri

Terorisme dirasakan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) karena penerapan target yang bersifat acak (random target, nonselective target), penggunaaan senjata-senjata canggih dan sering melibatkan kejahatan transnasional serta jaringan antarnegara.Ancaman terhadap terorisme merupakan ancaman yang di dalamnya memiliki irisan peran dan hubungan antara TNI-Polri.

Polri sebagai alat negara yang diberi wewenang untuk menangani terorisme sejak peristiwa Bom Bali hingga kini bisa dikatakan cukup sukses, namun masih lemah dalam hal pencegahan. Selain itu, di Markas Besar Polri secara struktural terdapat satuan yang didampingi Satuan Tugas Antiteror yang berkedudukan di bawah Kapolri.

Selama ini, kinerja dan permasalahan yang dihadapi Polri dalam penanganan terorisme terutama dalam hal dana operasi masih terbatas. Indeks operasi belum dirumuskan secara rasional. Di sisi lain, koordinasi antara Densus 88 Antiteror serta Satgas Antiteror dan staf pembinaan (keuangan, personel, dan logistik) di lingkungan Polri belum bisa berlangsung cepat.

Secara normatif, peran TNI dalam penanggulangan terorisme merupakan peran untuk melaksanakan operasi militer selain perang, sedangkan bagi polisi penanggulangan terorisme merupakan bagian dari kerangka tugas Polri dalam penegakan hukum. Kelemahannya, UU tidak menjelaskan pembagian kewenangan atau hak yang lebih rinci. Masalah ini harus dijawab oleh otoritas politik, misalnya kebijakan presiden, yang menjelaskan secara rinci ruang lingkup tugas masing-masing, prinsip-prinsip, dan batasan-batasan apa yang tidak boleh dilanggar dan harus dipatuhi masing-masing pihak.

Kebutuhan bantuan TNI untuk Densus 88 Antiteror dan Satgas Antiteror terutama informasi intelijen. Dalam hal koordinasi kerja di tingkat atas sudah cukup baik, namun implementasinya bagi petugas di lapangan belum ada mekanisme perbantuan yang dapat dijadikan pegangan bersama.

Aparat militer lain yang memiliki kapabilitas dalam penanggulangan terorisme seperti Detasemen 81/Gultor dari Kopassus TNI-AD, Detasemen Bravo dari Kopaskhas TNI-AU, dan Detasemen Jala Mengkara dari TNI-AL, bisa dilibatkan karena mempunyai jaringan intelijen dan teritorial sangat luas. Namun, fungsi satuan tersebut sebatas pengumpul informasi intelijen bagi Polri, karena terhambat aturan tentang kapan atau pada tingkat ekskalasi apa satuan-satuan tersebut bisa dilibatkan dan kapan lepas libat dan menyerahkannya kepada polisi sebagai satu-satunya penyidik berdasarkan UU Tindak Pidana Terorisme.

TNI memiliki peranan dalam pemberantasan terorisme dengan melakukan tugas pengamanan dan pertahanan wilayah guna mencegah penyusupan terorisme dari luar negeri. TNI tidak boleh mengambil alih peran penegakan hukum seperti penangkapan dan penahanan. Namun, keterlibatan TNI untuk memerangi terorisme tidak perlu dicurigai, sebab PBB merekomendasikan pelibatan semua aspek melawan terorisme, termasuk militer.

Langkah yang dapat dilakukan adalah merumuskan strategi yang tepat karena banyak politisi mencampuradukkan antara strategi dan tujuan politik. Politisi fokus pada outcome akhir secara politis yang ingin dicapai, seolah-olah pasukan akan bergerak secara otomatis sesuai arah tujuan itu. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman dalam merumuskan strategi keamanan nasional bahwa simplikasi klasifikasi menjadi external defence dan internal security jangan ditafsirkan secara kaku. Kewajiban berkomunikasi pada setiap tingkatan strategi mutlak dilakukan karena disinilah kunci dan seni dari strategi. Dibutuhkan political will yang kuat untuk segera merumuskan kebijakan dan strategi keamanan yang dibutuhkan serta jiwa besar dari setiap instrumen keamanan dan membuang jauh-jauh sentimen ataupun arogansi sektoral agar kebijakan dan strategi dapat efektif dioperasionalkan

Pada dasarnya, dalam menumbuhkan kontruksi bangunan TNI-Polri, masalah yang paling mendasar dan esensial dan akan membentuk soliditas aktor-aktor keamanan nasional yang prima adalah terintegrasinya pelaksanaan tugas dan kegiatan dalam semua aspek dan suatu sistem yang koordinatif dan integratif untuk menyinergikan aktor-aktor keamanan seperti TNI-Polri dan semua sumber daya yang dimiliki.

Tidak kalah penting, dibutuhkan pemahaman mengenai anatomi dan pola teror yang ada, khususnya di Indonesia. Community Policing Officer (CPO) tidak sekadar menjadi palang pintu bagi kehadiran orang asing di wilayahnya, tapi memahami benar pola dan perilaku berdasarkan kepada peran dan tugas CPO secara luas, yakni melakukan pembinaan masyarakat, memiliki wawasan yang luas dan interaksi bersifat bottom up. Artinya, pemilahan permasalahan, dalam konteks pencegahan dan pemberantasan terorisme harus berbasis kepada masyarakat.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar