RAJA

Meski kekuasaannya meliputi wilayah Inggris dan Irlandia, Henry VIII (1491-1547) bukanlah raja yang bahagia. Pernikahannya dengan Catherine dari Aragon tidak membuahkan seorang pun putra yang berumur panjang yang kelak menggantikannya. Semua pihak (bangsawan, pemuka gereja, saudagar) sibuk membicarakannya dan mencoba menemukan solusi yang paling aman, meski ternyata mustahil.

Untuk menceraikan ratunya, salah satu legalitas yang sangat penting adalah restu dari Paus karena raja Inggris (saat itu) berada dalam perlindungan gereja Katolik. Masalah tambah rumit karena Charles V yang menjadi Kaisar Roma adalah keponakan Catherine dari Aragon. Sesuai tradisi dan etika kebangsawanan ia tidak boleh begitu saja membiarkan bibinya kehilangan hak atas mahkotanya. Maka ia pun memanfaatkan hubungan baiknya dengan Paus Clement VII, yang secara politis berada di bawah pengaruhnya. Yang terjadi, Henry VIII marah karena restu Paus tak kunjung datang. Akhirnya, ia memanfaatkan situasi yang sedang memanas. Martin Luther menggugat absolutisme gereja, dan mendapat dukungan luas. Termasuk di Inggris. Atas izin para bangsawan yang senantiasa hidup mewah berkat kesetiaannya kepada raja, Henry VIII menceraikan permaisurinya. Intrik yang makin runcing mendorong gereja merestuinya. Raja kemudian menikahi Anne Boleyn, anak kepala rumah tangga istana yang usianya baru 15 tahun dan sudah lama jadi perempuan selingkuhannya.

Yang namanya kekuasaan memang selalu rawan untuk dimanfaatkan. Raja (atau kaisar) senantiasa mengambil posisi sebagai penerima amanat dari langit. The king can do no wrong. Raja-raja Jawa dengan susah payah merapikan identifikasinya bahkan sampai ke kisah pewayangan dan penguasa laut selatan. Secara sakral ia menempatkan dirinya sebagai penerima wahyu cakraningrat. Sementara presiden (atau perdana menteri) mengukuhkan kekuasaannya dengan mengatasnamakan sebagai pemegang mandat dari rakyat. Tak peduli berapa pun ongkosnya suara rakyat dihitung lewat pemilu yang dengan angkuh diakuinya jujur, langsung, dan rahasia.

Dengan demikian, kekuasaan selalu memancarkan aroma berahi yang sangat menggoda. Dimensinya yang berskala dunia akhirat menyebabkan bukan hanya politisi dan cendekiawan bahkan kiai dan rohaniawan pun tergiur untuk sepenuh hati melayaninya. Maka, apa pun keputusannya kelak, akan senantiasa dirancang dan dibuat sedemikian rupa seolah tanpa cela. Sering terjadi makna kekuasaan diwacanakan dalam bahasa yang rumit sehingga sulit dimengerti. Hal itu memang perlu agar kekuasaan selalu diliputi misteri.

Raja-raja dari Prancis, tsar dari Rusia, juga raja-raja Jawa, menjalankan kekuasaannya dengan karakter yang sejenis. Dengan pedang di tangan kanan dan mengatasnamakan kitab suci di tangan kiri, ancaman dengan topeng kewenangan kekuasaan disebar ke mana-mana. Kalau kemudian kewenangan para pemegang tahta digugat, itu menjadi sangat masuk akal. Sebab raja sudah menutup banyak pintu masuk, sehingga aspirasi rakyat tidak lagi sampai ke sana.

Demokrasi, awalnya, diniatkan sebagai jalan tengah. Kekuasaan dijaring dari tingkat individu. Suara dihitung satu demi satu, dengan asumsi hasilnya akan suci dari tindakan manipulasi. Transaksinya sederhana, seperti kata Truman, percayakan kekuasaan kepada kami, dan kalian silakan menikmati kesejahteraan.

Untuk skala yang sederhana mekanisme seperti itu mungkin akan cukup efektif. Tapi jika skalanya sangat luas, kesempatan untuk melakukan spekulasi makin menjadi-jadi. Pada wilayah ini, yang namanya sumpah (siapa pun yang mengucapkannya) sudah tidak lagi memiliki tuah. Padahal untuk transaksi pengukuhan kekuasaan demokratis belum ditemukan format lain selain tradisi seperti itu.

Ketika manusia tak dimuliakan lagi ketulusan nuraninya, kejujuran pun kita titipkan kepada mesin pintar atau metode hitung kilat. Surat-surat suara yang jumlahnya sangat banyak bukan saja bisa dikalkulasikan dengan cepat, tapi juga (lewat mantra koalisi) sudah disediakan kaveling-kavelingnya. Adapun pemilik suara sejak saat itu kehilangan haknya sama sekali. Dalam hitungan detik, peran aktif rakyat terjungkir balik. Karena semua pihak sudah bersekutu berdasarkan modal jumlah suara, kekuasaan pun menjadi hampir-hampir absurd. Relatif semua kunci denyut dinamika bernegara berada di tangan mereka. Mereka boleh ngomong apa saja, boleh memutuskan apa saja, dan juga boleh merogoh kantong siapa saja.

Setelah suara selesai dihitung, mestinya rakyat tinggal menikmati kesejahteraan yang sebelumnya dijanjikan. Tapi para perancang strategi kekuasaan yang "jenius" kadang menganggap pemilu hanyalah sejenis pintu utama untuk memasuki arena pertarungan sesungguhnya. Di Thailand dan Moldova, kerusuhan justru terjadi setelah perdana menteri dan presiden baru terpilih secara konstitusional. Hantu jahat kekuasaan duplikat Raja Henry VIII seperti itulah yang masih terus gentayangan. Mereka (yang karena mandat yang dimilikinya) telah bersekutu dalam kekuasaan, bisa dengan mudah berubah menjadi perampas hak-hak kedaulatan rakyatnya sendiri.