Pemimpin Baru Belajarlah pada Ahmadinejad

BEBERAPA waktu mendatang, rakyat Indonesia akan memilih presiden sebagai pemimpin di negeri yang kita cintai ini. Tentu saja, harapan saya dan mungkin juga harapan dari seluruh rakyat Indonesia, akan lahir pemimpin yang jujur, amanat, berani, dan selalu membela rakyatnya. Amin.

Beberapa hari yang lalu, diberitakan seorang presiden bernama Ahmadinejad, dengan suara lantang mengkritik sikap Israel atas Palestina, pada pidato antirasis Persatuan Bangsa-Bangsa di Jenewa. Dalam sidang tersebut, tiga puluh diplomat dari berbagai negara pendukung Israel langsung melakukan walk out serta menyatakan kecaman pada Presiden Iran tersebut. Namun, di tengah berbagai kecaman yang menyerangnya, dia tetap menyuarakan keberanianya, melakukan pembelaan terhadap ketidakadilan di Palestina.

Satu hal lagi mengenai pemimpin negara Iran ini adalah ketegarannya dalam menghadapi ancaman bahkan embargo dari negara-negara Barat, demi menjaga kedaulatan negaranya dan untuk kesejahteraan rakyatnya dalam upaya penyediaan listrik murah dengan menggunakan energi nuklir. Iran mengklaim, teknologi nuklirnya digunakan untuk tujuan damai, yaitu untuk menyuplai listrik rakyatnya. Namun, negara-negara Barat bersikukuh menuduh Iran menggunakan teknologi nuklir, untuk membuat senjata yang dapat mendatangkan bahaya. Padahal, negara-negara Barat tersebut memiliki senjata nuklir.

Terlepas dari pro dan kontra terhadap Presiden Iran tersebut, tampaknya bangsa ini harus belajar dari sosok Ahmadinejad mengenai nilai-nilai keberanian dan arti dari harga diri bangsa. Siapa pun kelak yang menjadi Presiden Indonesia, hendaknya bisa belajar dari sikap tersebut agar negara ini tidak selalu didikte dan dimanfaatkan oleh negara lain.
Islam Adalah Solusi Terakhir

PESTA Pemilu Legislatif 2009 telah usai, meskipun perhitungan suara belum final, tetapi parpol yang diduga kuat bakal menang telah kelihatan. Jika sebelum pemilu yang berkembang adalah kontak politik atau komunikasi politik antarparpol atau elite parpol, maka usai pemilu yang mendominasi adalah wacana tentang koalisi atau lebih tegas lagi "kontrak koalisi".

Dalam kamus populer Wikipedia, arti koalisi yaitu sebagai persekutuan, gabungan, atau aliansi beberapa unsur, yang dalam kerja samanya masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Karena koalisi bersifat sesaat dan didasarkan pada asas manfaat, maka tidak akan pernah menjadi ikatan yang kuat dan abadi. Saat dipandang bermanfaat, koalisi dibangun dan dipertahankan, saat sudah tidak membawa manfaat koalisi akan dengan mudah dibubarkan dan dicampakkan, ini merupakan koalisi dalam sistem pemerintahan demokasi saat ini. Kalau kita perhatikan sepak terjang parpol-parpol yang ada baik yang sekuler maupun yang mengklaim parpol Islam dalam hal koalisi, jelas sekali bahwa koalisi hanyalah ditujukan untuk sekadar bagi-bagi kekuasaan tidak benar-benar dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat.

Jika partai-partai Islam berjuang demi Islam, seharusnya tetap istiqamah di jalan Islam, tidak tergoda untuk berkoalisi dengan siapa saja yang bisa menjauhkan dari Islam dan malah mengukuhkan kekufuran. Tawaran koalisi dari partai-partai sekuler pada dasarnya tidak ada bedanya dengan tawaran orang-orang kafir Qurays kepada Rasulullah saw., sebab dalam koalisi, ideologi dan idealisme partai harus benar-benar ditanggalkan dan dicampakkan. Sayangnya itulah yang telah, sedang, serta akan dilakukan kembali oleh partai-partai Islam saat ini, karena bagaimanapun juga mereka ingin mendapatkan jatah kekuasaan.

Parpol Islam sudah seharusnya kembali pada ideologinya, yakni ideologi Islam, dan merujuk hanya pada hukum-hukum Islam. Kalau begitu sudah seharusnya partai-partai Islam meninggalkan sikap pragmatis hanya demi mewujudkan kemaslahatan dan kepentingan jangka pendek, yaitu sekadar mengincar kursi dan jabatan. Jika itu yang selalu ada dalam benak partai-partai Islam berarti selama ini asas Islam yang menjadi asas partai hanyalah simbol belaka. Dan isinya tidak jauh beda dengan partai-partai sekuler. Wallahu 'alam bissahawab.
Pertahankan Ambalat: Tidak Ada Belas Kasihan Untuk Malaysia

Perundingan Indonesia-Malaysia menyangkut klaim di Laut Sulawesi nampaknya menemui jalan buntu. Sebab Malaysia sudah kehabisan argumen menghadapi Indonesia soal Blok Ambalat. Klaim negeri tukang klaim itu berdasarkan Peta 1979 tidak diakui oleh dunia internasional dan dasar hukumnya juga tidak berbasis pada pendekatan praktek hukum laut internasional yang lazim digunakan. Jadi kalau mereka kehabisan argumen, itu suatu hal yang wajar.

Meskipun demikian, mereka tetapi tidak mau mengaku kalah. Mereka malah sepertinya berupaya membujuk Indonesia agar mencari win-win solution, maksudnya Indonesia agar berbelas kasihan kepada negeri yang sering melecehkan martabat Indonesia itu agar tidak mereka tidak kehilangan muka di dalam negeri dan dunia internasional. Belas kasihan itulah yang dulu menyebabkan Indonesia kalah di Mahkamah Internasional.

Upaya ini harus diwaspadai oleh Indonesia, khususnya instansi-instansi terkait. Jangan lagi kasus di Blok Ambalat 2005 terulang, yaitu polisi Indonesia yang karena tidak cerdas bersedia gelar patroli bersama di perbatasan kedua negara di Laut Sulawesi.

Padahal AL kita sedang bersitegang di lapangan dengan kekuatan laut negeri tukang klaim itu.

Di sisi lain, pemimpin negeri ini hendaknya tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu membawa kasus sengketa ke Mahkamah Internasional.

Kalau memang menghadapi kebuntuan, lebih baik status quo seperti situasi saat ini. Status quo dalam arti Indonesia secara politik tetapi firm atas klaimnya di Laut Sulawesi, secara militer tetap menggelar kekuatan AL 24 jam x 365 hari. Bukan status quo seperti kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dulu.

Siapapun nantinya yang akan memimpin negeri ini, sikap politiknya harus tetap mempertahankan klaim Indonesia atas Blok Ambalat. Selain itu dibutuhkan sikap politik tambahan, yaitu lebih firm dalam mendukung pembangunan kekuatan laut dan diwujudkan dalam bentuk nyata.
Menjaga Lidah

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang yang zalim.

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.

Ayat dari Q.S. Al Hujurat:10-12 itu yang menyadarkan kepada kita pentingnya menjaga perkataan. Salah satu anggota tubuh manusia yang banyak menyebabkan dosa, celaka bahkan binasa adalah lidah. Potensi lidah apabila digunakan jalan kebaikan akan menjelma menjadi hamba Allah yang taat, namun sebaliknya bisa menyeret kepada kebencian.

Nabi Muhammad bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendak lah berkata benar atau diam tak berbicara." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis lainnya dinyatakan, "Simpanlah lidahmu kecuali untuk perkataan yang baik. Dengan bersikap seperti itu, engkau dapat mengalahkan setan." (H.R. Ibnu Hibban).

Nabi saw., juga menegaskan keselamatan manusia terletak pada kemampuannya untuk mengendalikan lidah. Allah memerintahkan kepada kita agar menggunakan lidah untuk berzikir dan menyebut nama-Nya. Orang yang mulia di sisi Allah adalah orang yang bibir dan lidahnya basah dengan menyebut keagungan-Nya.

Di antara kebahagiaan seorang Muslim di akhirat nanti saat nyawa lepas dari dirinya di saat bibir dan lidahnya menyebutkan nama Allah. Bahagialah mereka ketika di akhir hayatnya memperoleh husnul khatimah (akhir yang baik) yang menyebutkan kalimat tauhid laa ilaah illallah (tiada Tuhan melainkan Allah).

Nabi Muhammad memberikan beberapa petunjuk kepada umatnya dalam menjaga lidahnya. Pertama, jauhkanlah diri dari kebiasaan berkata yang tidak memberikan manfaat. "Di antara ciri kebaikan Islam adalah seseorang yang meninggalkan hal-hal tidak berguna." (H.R. Tirmizi dan Ibnu Majah).

Kedua, janganlah berkata secara berlebihan atau melebih-lebihkan fakta yang ada. "Perkataan adalah seperti obat. Jika sedikit akan bermanfaat, namun jika mengonsumsi obat terlampau banyak bisa menjadi racun." (H.R. Hakim). "Berbahagialah orang-orang yang menahan kelebihan lisannya." (H.R. Baihaqi).

Ketiga, janganlah membicarakan kebatilan (keburukan). "Sebesar-besar kesalahan seseorang pada hari kiamat ialah yang paling banyak berbuat dalam kebatilan." (H.R. Thabrani).

Keempat, janganlah berbicara kotor. Umat Islam seharusnya menjauhi perkataan kotor sebab Allah tidak menyukai perkataan kotor atau yang memancing timbulnya perkataan kotor dari orang lain.

Kelima, janganlah berkata atau berjanji palsu. "Ada tiga perkara barang siapa memiliki satu atau semua dalam dirinya, ia adalah seseorang munafik sekalipun ia salat, berpuasa, dan menganggap dirinya seorang Muslim. Yakni, jika berkata berdusta, jika berjanji mengingkari dan jika mendapatkan amanah berkhianat." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Keenam, jangan menggunjingkan orang lain. "Janganlah kamu mengumpat sebagian yang lain, apakah kalian mau apabila salah seorang di antaramu suka makan daging saudaranya yang sudah mati. Tentu kalian merasa jijik karenanya." (Q.S. Al Hujurat:12).

Ketujuh, jangan mencela dan melaknat orang lain. "Seorang mukmin bukanlah orang yang mencela, melaknat, berkata bohong, dan berkata keji." (H.R. Tirmizi).

Kedelapan, jangan berkata kasar. "Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentu mereka akan berpaling darimu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka, bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian jika kamu telah bulat tekadmu, bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (Q.S. Ali Imran:159).

Kesembilan, jangan mengadu domba untuk mencari keuntungan dari konflik yang terjadi. "Tidak akan masuk surga orang-orang yang mengadu domba." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Kesepuluh, jangan mudah marah dalam menghadapi sesuatu yang dirasakan tidak menyenangkan. "Sesungguhnya seseorang pria datang kepada Rasulullah dan berkata, ’Wahai Rasulullah nasihatilah saya.’ Mendengar itu, Rasulullah bersabda, ’Jangan marah.’ Namun, orang itu tidak puas sehingga bertanya lagi sampai tiga kali dengan pertanyaan yang sama. Rasulullah pun menjawab dengan jawaban sama yakni jangan marah." (H.R. Bukhari dan Abu Hurairah).

Kesebelas, jangan menjawab panggilan orang tua dengan perkataan yang tidak sopan apalagi sampai menyakiti hatinya. "... dan janganlah kamu mengatakan kepada keduanya dengan perkataan ah dan janganlah membentak mereka." (Q.S. Al Isra:28).

Kedua belas, janganlah kamu berbantah-bantahan. "Janganlah kamu berbantah-bantahan dengan saudaramu." (H.R. Tirmizi). Wallahu-a’lam. ***