Pancasila untuk Semua
Hari itu, 1 Juni 1945, para pejuang bangsa ini bermusyawarah untuk mencari kesepakatan tentang falsafah dasar negara. Soekarno menjadi pembicara tunggal dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Hasilnya adalah apa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yang berlaku sejak 18 Agustus 1945, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Fuad Hasan (2006), mantan Menteri Pendidikan mencatat bahwa sepanjang sejarahnya, Pancasila telah menjadi sumber perdebatan berkepanjangan. Ada perdebatan mengenai masing-masing silanya, baik isi, teks, maupun urutannya. Bahkan, hari kelahiran Pancasila pun menjadi salah satu sumber perdebatan yang melelahkan. Perdebatan tafsir itu, menyebabkan Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 dengan kembali ke UUD 1945, tetapi spiritnya tidak persis seperti suasana pada 1945. Sampai akhir kekuasaan Orde Lama, setelah tragedi September 1965, perdebatan tentang Pancasila tak pernah selesai.
Pada masa Orde Baru, ternyata perdebatan tentang Pancasila tidak kalah dahsyatnya. Perpecahan beberapa pihak terjadi akibat perdebatan tentang Pancasila. Situasi sosial politik pasca 1965 seakan memberikan legitimasi Orde Baru, untuk memperkuat bangsa dengan menyerahkan hak prerogatif penafsiran Pancasila pada lembaga resmi negara, yang belakangan dikenal dengan nama BP7. Puncaknya adalah keberhasilan Orde Baru memaksa hampir semua ormas dan orsospol, untuk mengakui Pancasila sebagai asas tunggal.
Pasca-Orde Baru Pancasila hampir seratus persen mengalami peminggiran. Bangsa Indonesia seakan kehilangan keseimbangan dalam berideologi Pancasila. Hampir semua hal yang berbau Orde Baru disingkirkan. Termasuk oleh pengusung Orde Baru sendiri. Persilangan ideologi kembali memanas, seakan kembali ke era awal kemerdekaan. Yaitu pencarian dan perdebatan untuk menemukan kesepakatan nasional dalam berbangsa dan bernegara. Situasi seperti ini dibutuhkan kedewasaan dan keterbukaan bagi semua pihak, sehingga dapat mengayuh perjalanan bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika ini. Dan teks otentik dalam pembukaan UUD 1945 merupakan perekat dalam keragaman bangsa.
Keragaman
Ibarat taman, keragaman bangsa adalah laksana sketsa-sketsa. Agar dapat dinikmati dalam satu taman yang indah secara nyata haruslah ditanami secara rapi, dipilihkan bunga yang aneka warna sesuai dengan rencana, dan dipelihara secara baik. Tidak ada yang perlu mendominasi atau didominasi, karena masing-masing memiliki peran yang sama baik dan besar nilainya.
Demikian pula satu bangsa akan dapat maju sesuai dengan cita-citanya, manakala seluruh komponen bangsa memiliki komitmen yang sama dan tetap teguh pada pendiriaanya, yaitu menuju kejayaan bangsa. Dalam konteks ini, seluruh rakyat Indonesia juga telah berikrar bersama membangun masa depan yang lebih baik dan maju, sebagaimana dapat dilihat komitmennya dalam alinea empat dalam pembukaan UUD 1945 atau juga dalam rumusan Pancasila yang lima.
Sebelum bangsa ini tercabik-cabik kembali, selayaknya seluruh komponen bangsa memikirkan betapa para pendiri bangsa ini telah bersusah payah, menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan demikian, tidak sewajarnya bila perjuangan itu kita nodai hanya karena ego kelompok dan golongan untuk kepentingan jangka pendek.
Bangsa Indonesia yang demikian beragam, memang tidak dapat tumbuh dalam keadaban bila dilandasi oleh sikap toleransi saja, tetapi harus ditopang bersama dengan kebebasan, persamaan kesempatan, dan toleransi terhadap kenyataan pluralitas (Herfner: 1998).
Di atas semua itu, dibutuhkan paradigma yang lebih maju yaitu kemauan dan kesediaan untuk saling merangkul (mutuality embracing) kelompok-kelompok warga dalam masyarakat yang saling berbeda. Pancasila dapat menjadi perekat bangsa bila tidak saja berhenti pada kesadaran pluralitas, tetapi melangkah maju pada kebersamaan.***