Asma? Makan Sayur Saja!
Sayur tak hanya berguna sebagai serat untuk memperlancar saluran pencernaan Anda. Menurut penelitian, sayuran juga dapat membuat Anda terhindar dari penyakit asma.
Sebuah penelitian dilakukan Universitas Nottingham. Para peneliti mengawasi anak-anak yang menderita asma dari tahun 1980 sampai 2007. Dari hasil pengamatan mereka yang kutip dari The independent, Senin (27/4/2009), kebanyakan anak-anak yang menderita asma kekurangan vitamin A dan C.
Para peneliti belum menemukan apa yang membuat para penderita asma kekurangan vitamin A dan C. Yang pasti para peneliti itu menyarankan agar para penderita asma banyak-banyak makan sayur sehingga kebutuhan vitaminnya menjadi terpenuhi.
Selain itu kedua vitamin tadi diduga dapat menjaga kondisi tubuh agar tetap fit, sehingga asma yang diderita tidak sering kambuh. Jadi ayo perbanyak konsumsi sayur!
"Positioning" Partai
MANUVER elite partai politik (parpol) dalam menjajaki koalisi amat merisaukan karena beberapa alasan berikut. Pertama, suara yang tercecer ke banyak partai sehingga tidak melahirkan partai pemenang mutlak menyulitkan koalisi sebagai jalan bagi terbentuknya pemerintahan yang kuat. Untuk meraih dukungan setengah jumlah suara di parlemen saja, setiap kekuatan harus menggalang koalisi dengan empat atau lima parpol. Pemerintahan yang dibangun banyak parpol mudah terjebak ke dalam friksi internal, lebih-lebih bila orientasi parpol sebatas meraih kekuasaan politik.
Kecenderungan ini akan menempatkan pemenang pemilihan presiden (pilpres) sebagai kekuatan minoritas di parlemen. Bila kekuatan yang kalah konsisten berada pada kutub oposisi, peta kekuatan yang dirancang akan menyulitkan posisi pemerintahan ke depan. Ini akan menjadi pekerjaan rumah, sekaligus tantangan bagi pemerintahan yang sudah harus terbentuk 20 Oktober 2009.
Kedua, manuver yang digalang petinggi parpol dalam menjajaki mitra koalisi tidak substantif. Alih-alih mengedepankan kebijakan prioritas, solusi strategis dan kesiapan untuk bekerja, petinggi partai malah menonjolkan hal-hal berbau seremonial dan mengumbar emosi. Manuver politik para elite dinilai penuh seremonial karena yang ditonjolkan hanya perkara siapa mengunjungi siapa, seakan pihak yang dikunjungi lebih penting dan terhormat. Parahnya, sang politisi berkunjung ke lebih dari satu kekuatan hingga menimbulkan cibiran publik, bahwa sang tokoh sedang menjajakan diri. Kesiapan kandidat untuk bekerja jauh lebih penting, dan dinilai lebih beradab ketimbang mengumbar senyum dan tebar pesona, seakan-akan perhatian publik tersedot kepadanya.
Sebaliknya, bila pasangan capres-cawapres hanya dibedakan oleh komposisi orang dan parpol, namun samar-samar dalam program, isu prioritas, dan komitmen, kehadiran mereka akan menyulitkan pemilih ketika harus memberikan suara kelak. Seperti sebelumnya, presiden silih berganti, namun perbaikan nyata belum juga kunjung tiba. Tidak ada koreksi tajam atas kebijakan rezim sebelumnya.
Rendahnya efikasi politik bisa melemahkan antusiasme pemilih untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Pemilihan presiden akan dirasakan bermakna bila hasilnya berdampak nyata bagi perbaikan yang dirasakan rakyat. Bila dengan memilih atau tidak memilih tidak ada bedanya, jangan salahkan rakyat yang tidak datang ke TPS.
Peta koalisi yang dirancang makin jauh dari preferensi ideologis. Peta ideologis nasionalis, Islam, dan sekuler menjadi kabur. Demikian pula peta sosiologi politik santri, abangan, dan priayi tidak jadi rujukan. Peta koalisi benar-benar zigzag. Ini menjadi isyarat tak terbantahkan bahwa definisi partai politik sebagai persekutuan ideologis sudah dibuang jauh-jauh. Ironisnya, manuver petinggi parpol dalam menjajaki koalisi malah menampilkan dua gambaran yang tidak sehat (dan tidak akan menyehatkan kehidupan parpol ke depan).
Pertama, penyerahan keputusan tentang siapa dan kekuatan mana yang akan diajak berkoalisi kepada ketua umum partai mengisyaratkan makin kentalnya personalisasi kekuatan partai. Dalih bahwa koalisi harus berlandaskan chemistry di antara kandidat benar-benar menempatkan parpol sebagai kendaraan politik sang tokoh. Keadaan ini amat membahayakan iklim internal partai, dan potensial menggiring partai ke dalam oligarki yang dikendalikan oleh oligoi-oligoi yang memiliki hubungan khusus dengan figur yang dinisbatkan sebagai ikon partai. Oligarki yang berujung pada sikap asal bapak (ibu) senang tidak pernah melahirkan partai yang sehat dan mendorong demokrasi yang kuat (robust democracy). Paternalisme demikian hanya menjayakan kepentingan sang tokoh atau dinasti yang dibangun keluarga tokoh. Masa keemasan parpol akan berakhir begitu bintang sang tokoh meredup.
Kedua, lebih parah lagi preferensi koalisi dibangun atas kesukaan dan ketidaksukaan secara personal. Bila persaingan politik ditarik ke ranah personal, munculnya tokoh-tokoh nasional yang bermusuhan pascapilpres akan terulang, dan menjadi noda hitam peradaban politik demokratis. Koalisi yang ideal sejatinya dibangun untuk saling melengkapi, menutupi kelemahan pihak yang satu dengan keunggulan pihak yang lain, bukan malah saling meniadakan.
Kurangi partai
Raihan suara dalam pemilu legislatif adalah pesan terbuka penerimaan rakyat atas kehadiran parpol. Pesan ini mestinya dibaca elite politik sebagai penolakan rakyat atas jumlah partai yang banyak, yang karena gagal merebut simpati calon pemilih tidak bisa melampaui ambang batas yang disyaratkan.
Ironisnya, banyak parpol menutup mata dari pesan ini, sambil menuding penyebab jebloknya raihan suara karena amburadulnya penyelenggaraan pemilu. Lebih parah lagi puluhan parpol menolak electoral threshold padahal ketentuan tersebut telah diberlakukan sebelum pemilu. Seandainya parpol tersebut lolos, apakah tetap menolak electoral threshold? Bila kehadiran parpol mengabaikan tingkat dukungan, lalu untuk dan atas nama siapa mereka hadir?
Penyederhanaan jumlah partai menjadi agenda mendesak dalam pembangunan kehidupan politik di tanah air. Kualitas demokrasi tidak semestinya dilekatkan pada jumlah parpol, melainkan pada derajat keterlaksanaan fungsi parpol sebagai pilar demokrasi dan hak asasi manusia.
Langkah ini penting semata-mata untuk menegaskan positioning dan meningkatkan kualitas kompetisi internal parpol. Positioning parpol akan memudahkan koalisi, sekaligus memetakan kekuatan berbasis persetujuan rakyat. Ketegasan posisi parpol terhadap isu dan kandidat yang dimajukannya akan membangun ikatan emosional massa dengan parpol (partisanship). Ikatan inilah yang akan menjadi chemistry hubungan antara parpol dan rakyat sehingga kehadiran parpol akan dipandang perlu.
Kompetisi internal parpol penting bagi penyehatan proses kaderisasi dan penggodokan kebijakan yang akan diusung parpol. Kaderisasi wajib dilakukan. Dengan begitu, kemunculan caleg karbitan yang ujung-ujungnya stres akan terhindari.
Pembatasan jumlah parpol harus dibedakan dari ide pemberangusan kebebasan berpolitik. Ini bukan pembatasan kehendak, tetapi penyaluran kehendak politik pada jalan yang benar dan bermanfaat.
Gejala tumbuhnya sinisme publik atas keberadaan parpol dan politisi yang dinilai tidak sesuai dengan kiprah umum adalah lampu kuning bagi kehidupan politik di tanah air. Isyarat ini harus dijawab dengan perbaikan kinerja parpol dan penampilan terpuji politisi, sehingga peta jalan demokrasi tidak terganggu oleh makin derasnya laju apatisme. Apresiasi publik atas jumlah dan ulah parpol ditentukan oleh derajat kepercayaan publik, rendahnya sinisme, dan tingginya efikasi (dampak) aktivitas politik bagi perbaikan nyata, bukan oleh jumlah parpol hingga puluhan, atau kebebasan hingga melahirkan politik narsis.
MANUVER elite partai politik (parpol) dalam menjajaki koalisi amat merisaukan karena beberapa alasan berikut. Pertama, suara yang tercecer ke banyak partai sehingga tidak melahirkan partai pemenang mutlak menyulitkan koalisi sebagai jalan bagi terbentuknya pemerintahan yang kuat. Untuk meraih dukungan setengah jumlah suara di parlemen saja, setiap kekuatan harus menggalang koalisi dengan empat atau lima parpol. Pemerintahan yang dibangun banyak parpol mudah terjebak ke dalam friksi internal, lebih-lebih bila orientasi parpol sebatas meraih kekuasaan politik.
Kecenderungan ini akan menempatkan pemenang pemilihan presiden (pilpres) sebagai kekuatan minoritas di parlemen. Bila kekuatan yang kalah konsisten berada pada kutub oposisi, peta kekuatan yang dirancang akan menyulitkan posisi pemerintahan ke depan. Ini akan menjadi pekerjaan rumah, sekaligus tantangan bagi pemerintahan yang sudah harus terbentuk 20 Oktober 2009.
Kedua, manuver yang digalang petinggi parpol dalam menjajaki mitra koalisi tidak substantif. Alih-alih mengedepankan kebijakan prioritas, solusi strategis dan kesiapan untuk bekerja, petinggi partai malah menonjolkan hal-hal berbau seremonial dan mengumbar emosi. Manuver politik para elite dinilai penuh seremonial karena yang ditonjolkan hanya perkara siapa mengunjungi siapa, seakan pihak yang dikunjungi lebih penting dan terhormat. Parahnya, sang politisi berkunjung ke lebih dari satu kekuatan hingga menimbulkan cibiran publik, bahwa sang tokoh sedang menjajakan diri. Kesiapan kandidat untuk bekerja jauh lebih penting, dan dinilai lebih beradab ketimbang mengumbar senyum dan tebar pesona, seakan-akan perhatian publik tersedot kepadanya.
Sebaliknya, bila pasangan capres-cawapres hanya dibedakan oleh komposisi orang dan parpol, namun samar-samar dalam program, isu prioritas, dan komitmen, kehadiran mereka akan menyulitkan pemilih ketika harus memberikan suara kelak. Seperti sebelumnya, presiden silih berganti, namun perbaikan nyata belum juga kunjung tiba. Tidak ada koreksi tajam atas kebijakan rezim sebelumnya.
Rendahnya efikasi politik bisa melemahkan antusiasme pemilih untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Pemilihan presiden akan dirasakan bermakna bila hasilnya berdampak nyata bagi perbaikan yang dirasakan rakyat. Bila dengan memilih atau tidak memilih tidak ada bedanya, jangan salahkan rakyat yang tidak datang ke TPS.
Peta koalisi yang dirancang makin jauh dari preferensi ideologis. Peta ideologis nasionalis, Islam, dan sekuler menjadi kabur. Demikian pula peta sosiologi politik santri, abangan, dan priayi tidak jadi rujukan. Peta koalisi benar-benar zigzag. Ini menjadi isyarat tak terbantahkan bahwa definisi partai politik sebagai persekutuan ideologis sudah dibuang jauh-jauh. Ironisnya, manuver petinggi parpol dalam menjajaki koalisi malah menampilkan dua gambaran yang tidak sehat (dan tidak akan menyehatkan kehidupan parpol ke depan).
Pertama, penyerahan keputusan tentang siapa dan kekuatan mana yang akan diajak berkoalisi kepada ketua umum partai mengisyaratkan makin kentalnya personalisasi kekuatan partai. Dalih bahwa koalisi harus berlandaskan chemistry di antara kandidat benar-benar menempatkan parpol sebagai kendaraan politik sang tokoh. Keadaan ini amat membahayakan iklim internal partai, dan potensial menggiring partai ke dalam oligarki yang dikendalikan oleh oligoi-oligoi yang memiliki hubungan khusus dengan figur yang dinisbatkan sebagai ikon partai. Oligarki yang berujung pada sikap asal bapak (ibu) senang tidak pernah melahirkan partai yang sehat dan mendorong demokrasi yang kuat (robust democracy). Paternalisme demikian hanya menjayakan kepentingan sang tokoh atau dinasti yang dibangun keluarga tokoh. Masa keemasan parpol akan berakhir begitu bintang sang tokoh meredup.
Kedua, lebih parah lagi preferensi koalisi dibangun atas kesukaan dan ketidaksukaan secara personal. Bila persaingan politik ditarik ke ranah personal, munculnya tokoh-tokoh nasional yang bermusuhan pascapilpres akan terulang, dan menjadi noda hitam peradaban politik demokratis. Koalisi yang ideal sejatinya dibangun untuk saling melengkapi, menutupi kelemahan pihak yang satu dengan keunggulan pihak yang lain, bukan malah saling meniadakan.
Kurangi partai
Raihan suara dalam pemilu legislatif adalah pesan terbuka penerimaan rakyat atas kehadiran parpol. Pesan ini mestinya dibaca elite politik sebagai penolakan rakyat atas jumlah partai yang banyak, yang karena gagal merebut simpati calon pemilih tidak bisa melampaui ambang batas yang disyaratkan.
Ironisnya, banyak parpol menutup mata dari pesan ini, sambil menuding penyebab jebloknya raihan suara karena amburadulnya penyelenggaraan pemilu. Lebih parah lagi puluhan parpol menolak electoral threshold padahal ketentuan tersebut telah diberlakukan sebelum pemilu. Seandainya parpol tersebut lolos, apakah tetap menolak electoral threshold? Bila kehadiran parpol mengabaikan tingkat dukungan, lalu untuk dan atas nama siapa mereka hadir?
Penyederhanaan jumlah partai menjadi agenda mendesak dalam pembangunan kehidupan politik di tanah air. Kualitas demokrasi tidak semestinya dilekatkan pada jumlah parpol, melainkan pada derajat keterlaksanaan fungsi parpol sebagai pilar demokrasi dan hak asasi manusia.
Langkah ini penting semata-mata untuk menegaskan positioning dan meningkatkan kualitas kompetisi internal parpol. Positioning parpol akan memudahkan koalisi, sekaligus memetakan kekuatan berbasis persetujuan rakyat. Ketegasan posisi parpol terhadap isu dan kandidat yang dimajukannya akan membangun ikatan emosional massa dengan parpol (partisanship). Ikatan inilah yang akan menjadi chemistry hubungan antara parpol dan rakyat sehingga kehadiran parpol akan dipandang perlu.
Kompetisi internal parpol penting bagi penyehatan proses kaderisasi dan penggodokan kebijakan yang akan diusung parpol. Kaderisasi wajib dilakukan. Dengan begitu, kemunculan caleg karbitan yang ujung-ujungnya stres akan terhindari.
Pembatasan jumlah parpol harus dibedakan dari ide pemberangusan kebebasan berpolitik. Ini bukan pembatasan kehendak, tetapi penyaluran kehendak politik pada jalan yang benar dan bermanfaat.
Gejala tumbuhnya sinisme publik atas keberadaan parpol dan politisi yang dinilai tidak sesuai dengan kiprah umum adalah lampu kuning bagi kehidupan politik di tanah air. Isyarat ini harus dijawab dengan perbaikan kinerja parpol dan penampilan terpuji politisi, sehingga peta jalan demokrasi tidak terganggu oleh makin derasnya laju apatisme. Apresiasi publik atas jumlah dan ulah parpol ditentukan oleh derajat kepercayaan publik, rendahnya sinisme, dan tingginya efikasi (dampak) aktivitas politik bagi perbaikan nyata, bukan oleh jumlah parpol hingga puluhan, atau kebebasan hingga melahirkan politik narsis.
Telur di Ujung Jarum
Bahkan saat hitung cepat sejumlah lembaga survei belum 50%, elite partai besar dan partai menengah telah kian terbuka berebut kursi RI 1 dan RI 2. Elite KPU tidak beda. Mereka pun tampak kian sibuk menyiapkan pemilihan presiden yang memang kewajibannya.
Tentu presiden, wakil presiden, dan pemilihannya penting bagi Indonesia. Akan tetapi, itu semua penting demi daulat dan harkat warga. Kewajiban ini bisa diingkari. Maka, penting jualah adanya lembaga legislatif. Kehadirannya memungkinkan lembaga eksekutif mendapat asupan dan bisa dikontrol sehingga kebutuhan demi kebutuhan warga terpenuhi. Akan tetapi, anggota legislatif juga berpotensi tak memenuhi kewajibannya. Jika demikian, lembaga legislatif jadi biang mala. Oleh karenanya, pileg nyata perlu diadakan dan dengan benar. Begitu pula Pileg 9 April 2009 lalu. Malah jika dilihat dari perjalanan demokrasi kita, Pileg 9 April 2009 itu lebih penting lagi.
Kini, berbagai bencana sosial dan kemarahan alam kian kerap menggasak kita. Ini buah pohon yang puluhan tahun dirawat politik antihumanisasi. Pada era Soekarno, memang ada Pemilu 1955 yang diikuti warga hingga 91,41%. Prosesnya bebas, jujur, adil, lancar, dan damai. Tetapi sejak 1956, Soekarno perlahan mendirikan Demokrasi Terpimpin. Laiklah Hebert Feith dan Robert Cribb menunjuk demokrasi tersebut sebagai pengotoriteran Soekarno. Hatta yang meletakkan jabatan wakil presiden pada 1946 karena, seperti kata John Ingelson, "tidak ingin mengambil bagian dalam penggusuran demokrasi parlementer yang diperjuangkannya sejak 1920-an", menulis dalam "Demokrasi Kita" (Pandji Masyarakat, 1/5/1960) bahwa yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari umur Soekarno sendiri.
Soekarno memberedel Pandji Masyarakat, tetapi dia pun lalu "diberedel" Soeharto. Hanya, Soeharto, seperti ditulis William Liddle, membikin berbagai jenis peraturan "untuk mengatur bukan hanya MPR dan DPR, tetapi juga dalam mengelola jalannya pemilihan, partai, media, kelompok kepentingan, dan badan lainnya. Hasil bersihnya ialah menciptakan kesan -- tetapi bukan kenyataan -- adanya pengawasan rakyat terhadap pemerintah sesuai dengan the rule of law". Lazim jika Liddle bilang, demokrasi di era Soeharto adalah penipuan dan menyesatkan.
Soeharto bisa diturunkan pada 21 Mei 1998. Sejak itu berlangsung Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Pemilu 2004 lebih maju dari pemilu sebelumnya. Pemilu ini untuk pertama kalinya memberi kesempatan kepada warga memilih langsung anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden. Akan tetapi, Pileg 2009 lebih maju lagi. Pada 2004, anggota legislatif bukan saja dipilih langsung, tetapi gumantung pada nomor urut. Kini penentuan berdasarkan nomor urut dihapus. Warga lebih mungkin membuat lembaga legislatif kerja selaku pengemban amanat warga, bukan pemuas nafsu elite partai.
Mungkin karenanya KPU menyebut hak pilih warga jadi kewajiban warga. Warga yang tak memilih dicap tak bertanggung jawab, yang memilih dinilai pembangun bangsa. Malah ada yang menyatakan bahwa tak memilih adalah haram. Akan tetapi, yang unggul dalam Pileg 2009 bukanlah Partai Demokrat, melainkan golput. Malah golput kini di atas golput di 2004.
Dari mana golput datang? Sebagian dari yang memilih tak memilih. Tautannya dengan buruknya kerja KPU memang agak sukar diendus. Akan tetapi, mereka melakukannya justru demi membenahi budaya politik yang destruktif. Maka, mereka bisa punya tautan pula dengan KPU yang merupakan bagian dari budaya politik yang hegemonik.
Sebagian lagi nyata bertaut dengan KPU. Mereka tak bisa memilih sebab tak ada dalam DPT. Padahal, yang jumlahnya jutaan ini punya hak pilih dan telah menunjukkan kesalahan pendataan kepada pihak berwenang, tetapi ikhtiarnya sia-sia. Pun banyak warga kehilangan hak pilih sebab diopname dan atau tengah menunggui keluarga yang sakit. Mereka mau memilih dan telah memenuhi syarat. Akan tetapi, di rumah sakit tak ada TPS khusus/keliling seperti di 2004.
Hal serupa menerpa perantau. Mereka tak bisa mudik karena perlu waktu berhari-hari dan dana besar. Mereka lalu berniat mencontreng di rantau. Mereka sudah punya kartu A 5, tetapi mereka tetap tak boleh mencontreng. Banyak juga yang hak pilihnya sia-sia sebab salah mencontreng karena memang tak paham cara mencontreng yang benar. Tak sedikit malah yang kaget melihat bentuk, ukuran, dan isi surat suara. Ini karena mereka tak pernah dapat penjelasan ihwal Pemilihan Legislatif 2009.
Anda pun bisa dengan mudah menambah daftar warga kehilangan hak pilih, tetapi itu saja sudah tanda bahwa KPU sebagai pemungkin pileg berlumur masalah. Beragam masalah selaiknya diselesaikan dulu. Pun penyelesainnya tak cuma meminta maaf. KPU lebih baik jujur dan adil seperti halnya asas pemilu.
Memang itu tak mudah, tetapi dasar pemilu adalah penghormatan hak politik warga dan pengupayaan agar hak tersebut digunakan. Di Indonesia, hak yang dijamin UUD 1945 dan UU Hak Asasi Manusia ini puluhan tahun dikubur. Akibatnya, bangsa ini amburadul. Maka, melupakan raibnya hak politik warga berarti melanjutkan projek penghancuran bangsa. Hidup mayoritas kita pun yang sudah serupa telur di ujung tanduk tak mustahil jadi serupa telur di ujung jarum.
Bahkan saat hitung cepat sejumlah lembaga survei belum 50%, elite partai besar dan partai menengah telah kian terbuka berebut kursi RI 1 dan RI 2. Elite KPU tidak beda. Mereka pun tampak kian sibuk menyiapkan pemilihan presiden yang memang kewajibannya.
Tentu presiden, wakil presiden, dan pemilihannya penting bagi Indonesia. Akan tetapi, itu semua penting demi daulat dan harkat warga. Kewajiban ini bisa diingkari. Maka, penting jualah adanya lembaga legislatif. Kehadirannya memungkinkan lembaga eksekutif mendapat asupan dan bisa dikontrol sehingga kebutuhan demi kebutuhan warga terpenuhi. Akan tetapi, anggota legislatif juga berpotensi tak memenuhi kewajibannya. Jika demikian, lembaga legislatif jadi biang mala. Oleh karenanya, pileg nyata perlu diadakan dan dengan benar. Begitu pula Pileg 9 April 2009 lalu. Malah jika dilihat dari perjalanan demokrasi kita, Pileg 9 April 2009 itu lebih penting lagi.
Kini, berbagai bencana sosial dan kemarahan alam kian kerap menggasak kita. Ini buah pohon yang puluhan tahun dirawat politik antihumanisasi. Pada era Soekarno, memang ada Pemilu 1955 yang diikuti warga hingga 91,41%. Prosesnya bebas, jujur, adil, lancar, dan damai. Tetapi sejak 1956, Soekarno perlahan mendirikan Demokrasi Terpimpin. Laiklah Hebert Feith dan Robert Cribb menunjuk demokrasi tersebut sebagai pengotoriteran Soekarno. Hatta yang meletakkan jabatan wakil presiden pada 1946 karena, seperti kata John Ingelson, "tidak ingin mengambil bagian dalam penggusuran demokrasi parlementer yang diperjuangkannya sejak 1920-an", menulis dalam "Demokrasi Kita" (Pandji Masyarakat, 1/5/1960) bahwa yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari umur Soekarno sendiri.
Soekarno memberedel Pandji Masyarakat, tetapi dia pun lalu "diberedel" Soeharto. Hanya, Soeharto, seperti ditulis William Liddle, membikin berbagai jenis peraturan "untuk mengatur bukan hanya MPR dan DPR, tetapi juga dalam mengelola jalannya pemilihan, partai, media, kelompok kepentingan, dan badan lainnya. Hasil bersihnya ialah menciptakan kesan -- tetapi bukan kenyataan -- adanya pengawasan rakyat terhadap pemerintah sesuai dengan the rule of law". Lazim jika Liddle bilang, demokrasi di era Soeharto adalah penipuan dan menyesatkan.
Soeharto bisa diturunkan pada 21 Mei 1998. Sejak itu berlangsung Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Pemilu 2004 lebih maju dari pemilu sebelumnya. Pemilu ini untuk pertama kalinya memberi kesempatan kepada warga memilih langsung anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden. Akan tetapi, Pileg 2009 lebih maju lagi. Pada 2004, anggota legislatif bukan saja dipilih langsung, tetapi gumantung pada nomor urut. Kini penentuan berdasarkan nomor urut dihapus. Warga lebih mungkin membuat lembaga legislatif kerja selaku pengemban amanat warga, bukan pemuas nafsu elite partai.
Mungkin karenanya KPU menyebut hak pilih warga jadi kewajiban warga. Warga yang tak memilih dicap tak bertanggung jawab, yang memilih dinilai pembangun bangsa. Malah ada yang menyatakan bahwa tak memilih adalah haram. Akan tetapi, yang unggul dalam Pileg 2009 bukanlah Partai Demokrat, melainkan golput. Malah golput kini di atas golput di 2004.
Dari mana golput datang? Sebagian dari yang memilih tak memilih. Tautannya dengan buruknya kerja KPU memang agak sukar diendus. Akan tetapi, mereka melakukannya justru demi membenahi budaya politik yang destruktif. Maka, mereka bisa punya tautan pula dengan KPU yang merupakan bagian dari budaya politik yang hegemonik.
Sebagian lagi nyata bertaut dengan KPU. Mereka tak bisa memilih sebab tak ada dalam DPT. Padahal, yang jumlahnya jutaan ini punya hak pilih dan telah menunjukkan kesalahan pendataan kepada pihak berwenang, tetapi ikhtiarnya sia-sia. Pun banyak warga kehilangan hak pilih sebab diopname dan atau tengah menunggui keluarga yang sakit. Mereka mau memilih dan telah memenuhi syarat. Akan tetapi, di rumah sakit tak ada TPS khusus/keliling seperti di 2004.
Hal serupa menerpa perantau. Mereka tak bisa mudik karena perlu waktu berhari-hari dan dana besar. Mereka lalu berniat mencontreng di rantau. Mereka sudah punya kartu A 5, tetapi mereka tetap tak boleh mencontreng. Banyak juga yang hak pilihnya sia-sia sebab salah mencontreng karena memang tak paham cara mencontreng yang benar. Tak sedikit malah yang kaget melihat bentuk, ukuran, dan isi surat suara. Ini karena mereka tak pernah dapat penjelasan ihwal Pemilihan Legislatif 2009.
Anda pun bisa dengan mudah menambah daftar warga kehilangan hak pilih, tetapi itu saja sudah tanda bahwa KPU sebagai pemungkin pileg berlumur masalah. Beragam masalah selaiknya diselesaikan dulu. Pun penyelesainnya tak cuma meminta maaf. KPU lebih baik jujur dan adil seperti halnya asas pemilu.
Memang itu tak mudah, tetapi dasar pemilu adalah penghormatan hak politik warga dan pengupayaan agar hak tersebut digunakan. Di Indonesia, hak yang dijamin UUD 1945 dan UU Hak Asasi Manusia ini puluhan tahun dikubur. Akibatnya, bangsa ini amburadul. Maka, melupakan raibnya hak politik warga berarti melanjutkan projek penghancuran bangsa. Hidup mayoritas kita pun yang sudah serupa telur di ujung tanduk tak mustahil jadi serupa telur di ujung jarum.
Langganan:
Postingan (Atom)