Ini Dia 6 Tipe Laki-laki Idaman


Mau tahu tipe-tipe laki-laki yang membuat perempuan jatuh hati. Jika Anda ingin menaklukkan hati perempuan, coba baca info berikut!

Menaklukkan hati perempuan memang tak mudah. Tapi ternyata menurut para ahli yang dikutip dari The Fox, Rabu (22/7/2009), ada beberapa tipe laki-laki yang bisa menaklukkan hati perempuan. Ini dia!

Laki-laki Romantis
Laki-laki tipe ini biasanya bisa menyenangkan perempuan dengan cara-cara yang klasik. Misalnya memberikan kejutan-kejutan kecil berupa bunga dan cokelat, ucapan-ucapan manis, serta sebuah makan malam romantis.

Laki-laki tipe ini tahu benar cara memperlakukan perempuan. Sehingga pasangan merasa sangat dicintai dan berharga.

Laki-laki Percaya Diri
Tipe laki-laki ini sangat yakin dengan dirinya. Dia tahu benar cara menarik hati perempuan dengan pesonanya. Setiap penampilannya, perempuan selalu dapat merasakan aura positif yang menyenangkan. Dan karena hal itulah, perempuan mudah jatuh hati padanya.

Seniman
Laki-laki yang memiliki bakat seni selalu menarik bagi perempuan. Baik itu di bidang musik, seni lukis atau yang lain. Apalagi biasanya tipe laki-laki ini bisa mengambil hati perempuan dengan sesuatu yang ia ciptakan sendiri. Hal itu membuat perempuan merasa dipuja.

Laki-laki Asing
Pesona laki-laki asing kadang tak tertahankan bagi perempuan. Perbedaan budaya membuatnya terlihat misterius. Mengenai fisiknya yang berbeda, itu juga merupakan nilai tambah.

Bad Boy
Tak selamanya laki-laki romantis memegang kendali. Terkadang laki-laki dengan perangai keras, dan memiliki gaya hidup bebas terkesan seksi bagi perempuan. Menaklukkan laki-laki model tersebut adalah tantangan menarik. Tapi biasanya, perempuan tak menginginkan hubungan serius dengan laki-laki tipe ini.

Laki-laki Cerdas
Pola pikir cerdas juga merupakan hal yang membuat perempuan jatuh cinta. Seorang laki-laki dengan pemikiran yang luar biasa merupakan hal yang memukau. Apalagi biasanya, mereka bisa menjadi teman diskusi yang asyik.

Laki-laki Sopan dan Menghargai Perempuan
Akhirnya, pilihan perempuan akan jatuh kepada seseorang yang menghormati dan menghargainya. Di zaman modern ini, laki-laki yang merasa derajatnya lebih tinggi dari perempuan tak akan laku. Perempuan lebih memilih laki-laki yang bisa menjadi rekan setara, dan dapat membahagiakannya.

Anda termasuk tipe yang mana?
Meluruskan Tafsir Terorisme

Bangsa Indonesia kembali diguncang tragedi bom. Kalau kita mencermati lebih jauh, berbagai tragedi kemanusiaan dewasa ini sebenarnya merupakan ekses dari kepungan globalisasi. Kehidupan di tengah kepungan globalisasi (hyperglobalization) penuh dengan misteri dan absurditas. Misteri hyperglobalization terlihat dengan tercengangnya manusia terhadap berbagai penemuan yang begitu dahsyat dan mengagumkan. Ketercengangan banyak membuat manusia kehilangan identitas dan budaya lokal, sehingga manusia sering kehilangan nilai eksistensial untuk menatap masa depan.

Inilah yang terjadi dalam misteri terorisme. Walaupun era modern meniscayakan kemajuan suatu peradaban, namun ternyata ada noda hitam yang menghinggapi laju peradaban tersebut. Manusia terlibas dengan modernitas, sehingga tidak ada kendali yang cukup untuk melunakkannya. Yang terjadi justru melakukan apa saja yang malah menentang laju peradaban modern. Hypermodernization atau kepungan modernitas yang menghilangkan nalar kritis manusia telah mencederai esensi modernitas itu sendiri.

Terorisme adalah hasil dari ironi kepungan modernitas. Terorisme yang terjadi dewasa ini dilakukan oknum tertentu yang kehilangan kesadaran, sehingga terorisme tidak hanya menghancurkan bangunan gedung dan membunuh manusia yang bergelimpangan, namun juga telah membunuh nalar dan moral kemanusiaan yang dibangun para pendahulu kita.

Giovanna Borradori dalam Philosophy in a Time of Terror [2005] memberikan penafsiran ulang secara lebih dalam dan kritis terhadap berbagai fenomena global, khususnya yang dinamakan terorisme. Bagi dia, istilah terorisme merupakan tafsir pragmatis, yang banyak terselubung di dalamnya berbagai kepentingan, baik ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya.

Jurgen Habermes [2001] juga menilai, tafsir terorisme yang berkembang selama ini begitu sepihak. Fundamentalisme sebagai kelompok utama yang bertanggung jawab atas peristiwa 11 September begitu diekspos besar-besaran oleh media Barat, sehingga komunitas mana pun yang berkaitan dan berhubungan bahkan "sama dalam pakaian formal" diklaim sebagai bagian dari arus fundamentalisme.

Bagi Jurgen Habermes, fundamentalisme sangat politis. Dalam Islam khususnya, arus fundamentalisme telah dipolitisasi oknum tertentu untuk memainkan politik kepentingan yang sepihak. Dengan demikian, klaim kebenaran yang sering diusung kaum fundamentalis, tidak hanya menyalahkan umat Islam yang tidak sepaham dengan an sich, namun yang lebih tragis adalah menyalahkan kaum agama lain yang dianggap merusak agamanya.

Sementara dalam politik kenegaraan internasional, fundamentalisme juga dilakukan elite politik negara. Semua pihak yang tidak sejalan dengan kebijakan politik negara tersebut, tragisnya harus dimusnahkan. Tragedi 11 September dan luluh lantaknya Afganistan dan Irak adalah bukti realistisnya.

Filsuf asal Prancis, Jacques Derrida menganggap istilah terorisme sebagai bentuk keangkuhan. Terorisme lahir karena adanya eksploitasi terhadap orang yang tak tahu apa-apa. Tindakan eksploitatif telah menewaskan beragam dimensi kehidupan, sehingga esensi kehidupan di persimpangan jalan. Bagi Derrida, perlu upaya dekonstruksi terhadap penafsiran yang ada. Jihad melawan ketidakadilan bukanlah dengan memberikan pressure yang sejalan, namun harus dengan "nada" kritis mencerahkan. Derrida sepakat dengan pemikiran Kant, tindakan moral bukan hanya dilakukan sesuai dengan aturan hukum (pflichtmassig) melainkan karena "tugas" (eigentlicht aus pflicht), "tugas murni" (aus reiner pflicht). Dalam arti, moralitas manusia tidak hanya dilihat dalam perspektif hukum, namun juga dalam perspektif kemaslahatan kemanusiaan yang menjadi tugas murni manusia.

Dari berbagai tafsir filsuf tersebut, penulis mengindikasikan bahwa terorisme selama ini lebih ditafsirkan secara marginal dan pragmatis, hanya memenuhi kepentingan kelompok tertentu an sich. Untuk itu, agenda yang harus dikedepankan penghuni Planet Bumi ini adalah membangun jaringan kelembagaan transnasional secara kosmopolit sehingga terbentuk institusi-institusi multilateral dan aliansi-aliansi yang akan menjadi pelaku-pelaku utama meneguhkan perdamaian global.

Dalam perspektif Islam, misalnya, sekaranglah momentum kaum Islam yang moderat untuk bangkit kembali menyuarakan nilai-nilai Islam yang emansipatoris, progresif, mencerahkan, dan memberikan kedamaian. Yang harus diciptakan dalam mendorong keberagamaan yang ramah dan progresif adalah memperkuat kantong-kantong civil society. Proses pemberdayaan masyarakat yang pluralis, kritis, dan egaliter harus terus ditingkatkan, sehingga diharapkan mampu memberikan pemaknaan yang progresif atas doktrin keagamaan.

Zuhairi Misrawi (2002) mengidentifikasikan bahwa dalam konsep civil society, transformasi sosial harus dimulai dari perubahan nalar dan wacana berpikir, terutama doktrin agama yang selama ini dipahami secara simplistik, literalistik, dan reduksionis. Model literalistik inilah yang membentuk karakter Muslim yang arogan dalam memahami teks.

Untuk itu perlu pemahaman yang progresif, di mana doktrin dimaknai sebagai cahaya yang membebaskan bukan mencekam. Kebangkitan keberagaman kaum moderat inilah yang dinantikan mampu menghadirkan keberagamaan yang radikal-fundamental (yang bercorak keras dan marah) menuju wajah keberagamaan yang ramah, sejuk, penuh kedamaian, dan mengantarkan kepada pemahaman umat yang progresif, egaliter, dan tranformatif. ***