Rahman Rahim Allah

Rahman dan rahim adalah dua kata yang berasal dari satu akar kata rahmat yang berarti kasih sayang. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, ar-Rahman diartikan dengan Maha Pengasih dan ar-Rahim diartikan menjadi Maha Penyayang. Penyebutan kata ar-Rahman sendiri dalam Alquran, sebanyak 57 kali, sementara ar-Rahim sebanyak 114 kali.

Akan tetapi, dalam beberapa hal terdapat perbedaan karakter antara ar-Rahman dan ar-Rahim. Dalam struktur tata bahasa Arab, kata rahman itu satu wazan (pola) dengan akar kata fa’lan, dan ini menunjukkan kepada sifat yang sementara. Seperti kata athsyan dalam bahasa Arab yang berarti haus, atau kata gadhban yang berarti marah. Seseorang ketika haus atau marah, berarti itu insidental (sementara) dan tidak selamanya.

Sementara kata rahim, itu satu wazan dengan akar kata failun, yang berarti tetapnya sifat atau keadaan sesuatu. Seseorang disebut tawilun yang berarti tinggi karena memang tinggi badannya, misalnya mencapai 175 sentimeter. Atau, seseorang disebut kabirun karena memang dia besar badannya. Atau, seseorang disebut jamilun karena seseorang itu ganteng. Dalam sebuah ungkapan disebutkan, ”Sesungguhnya Allah itu adalah Rahman ad-dunya dan Rahim al-akhirat.” Allah SWT disebut ar-Rahman, itu berarti kasih sayang yang ada sekarang di dunia itu sifatnya sementara dan diberikan kepada seluruh makhluk, baik itu hewan, tumbuhan, maupun kepada jin dan manusia yang Muslim atau non-Muslim.

Sementara ar-Rahim Allah, yaitu kasih sayang Allah yang bersifat kekal dan abadi akan kita dapatkan nanti di akhirat dan hanya diberikan kepada orang Mukmin, tidak kepada yang lainnya. Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan, ”Sesungguhnya Allah memiliki seratus rahmat, di antaranya satu rahmat yang dengannya setiap makhluk saling menyayangi, dengannya pula binatang-binatang buas menyayangi anaknya, dan ada rahmat lainnya sebanyak 99 yang diberikan nanti di hari kiamat.”

Oleh karena itu, jika rahmat Allah yang berjumlah satu di dunia itu dicari dan dibutuhkan semua orang dan makhluk lainnya, dengan tidak mengenal lelah, di mana dan kapan pun akan dicarinya. Andai satu kali gagal, senantiasa dicobanya berulang-ulang tanpa putus asa.

Akan tetapi, kenapa untuk meraih rahmat yang berjumlah 99, manusia kurang memperhatikan, dan tidak sungguh-sungguh dalam mencarinya. Bahkan, justru dikalahkan dengan pencarian satu rahmat. Sungguh bodoh orang yang meninggalkan keuntungan yang jumlahnya 99 persen dan memburu keuntungan yang hanya satu persen.

Nabi Muhammad saw. bersabda, ”Sejelek-jeleknya kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat, ialah orang yang mengorbankan akhiratnya untuk memburu dunia yang lainnya.” Maka dengan membaca bismillah, hendaklah juga terbayang dalam benak kita, akan kebutuhan rahmat Allah yang begitu besar sekaligus kita memprogramkannya untuk meraih rahmat Allah yang 99 persen itu.

Kalau kita telah memiliki semangat untuk melakukan salat wajib di awal waktu, rela meninggalkan pasar atau toko untuk sementara waktu, rajin melakukan ibadah sunat selain yang fardu, ada kepedulian kepada orang miskin, rela menyisihkan sebagian harta untuk membantu mereka, tekun mencari ilmu, tidak ragu meninggalkan perkara haram walau sangat menggiurkan, itu pertanda bahwa kita akan meraih rahmat Allah yang 99 persen.

Sebaliknya, jika kita masih lalai melakukan salat, tidak merasa terpanggil dengan azan sebagai undangan langsung dari Allah, tidak tertarik untuk membaca Alquran, jarang menghadiri pengajian karena kesibukan duniawi, siang malam hanya memikirkan urusan dunia, tidak peduli halal atau haram, itu semua adalah indikasi kita tidak tertarik untuk menggapai rahmat yang 99 persen. Kita lebih terlena memilih kehidupan dunia dan meninggalkan kehidupan akhirat.

Allah telah menetapkan kasih sayang terhadap diri-Nya, ”Katakanlah, kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi. Katakanlah, kepunyaan Allah. Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman.” (Q.S. Al-An’am, 6 : 12)

Jika Allah bermaksud untuk membinasakan manusia dengan mencabut rahmat Allah di dunia, hal itu sangatlah mudah bagi Allah karena Dia-lah Penguasa langit dan bumi.

Jika gunung es yang ada di kutub utara dan selatan mencair karena suhu bumi meningkat disebabkan lapisan ozon banyak yang bolong, permukaan laut diperkirakan akan bertambah sekitar tujuh puluh meter. Tidak terbayang akan berapa banyak kota yang terendam air laut? Apabila suhu bumi meningkat 50–60 derajat Celsius atau suhu bumi menurun 20–30 derajat Celsius di bawah nol, bagaimana beratnya kehidupan ini? Atau, jika oksigen berkurang atau hilang, manusia hanya mampu bertahan hidup selama lima menit. Itu semua sangatlah mudah bagi Allah untuk melakukannya.

Jika air hujan turun dengan rasa asin karena berasal dari air laut yang mengandung garam, akan seperti apa kehidupan di dunia ini. Allah berfirman, ”Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami jadikan dia asin, mengapakah kamu tidak bersyukur?” (Q.S. Al-Waqi’ah, 56 : 70)

Atau, kekeringan yang pernah dirasakan oleh sebagian benua di dunia. Allah berfirman, ”Katakanlah, terangkanlah kepada-Ku jika sumber air kamu menjadi kering. Maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (Q.S. Al-Mulk, 67 : 30)

Banyak kejadian tenggelamnya kapal di laut atau pesawat yang jatuh dari udara. Semua itu adalah hal yang mudah bagi Allah. Firman-Nya, ”Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan. Tetapi (kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai kepada suatu ketika.” (Q.S. Yasin, 36 : 43-44)

Manusia harus sadar diri bahwa benda-benda yang ada di langit semuanya tertahan untuk tidak jatuh ke bumi dengan izin Allah. Firman Allah, ”Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya, Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Q.S. Al-Hajj, 22 : 65)

Apakah manusia masih harus menunggu banyak kejadian alam untuk sadar diri bahwa Allah SWT itu adalah Arhamar-Rahimin (Maha Pengasih Maha Penyayang)?***