Adab Berbicara dalam Islam
1. Semua perbicaraan harus kebaikan, dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan: “Barangsiapa yang beriman pada ALLAH dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau lebih baik diam.” (HR Bukhari Muslim)
2. Berbicara harus jelas dan benar, sebagaimana dalam hadis Aisyah ra:
“Bahawasanya perkataan Rasulullah SAW itu selalu jelas sehingga bisa difahami oleh semua yang mendengar.” (HR Abu Daud)
3. Seimbang dan menjauhi berlarut-larutan, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku nanti di hari Kiamat ialah orang yang banyak bercakap dan berlagak dalam berbicara.” Maka dikatakan: Wahai Rasulullah kami telah mengetahui erti ats-tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa makna al-mutafayhiqun? Maka jawab nabi SAW: “Orang-orang yang sombong.” (HR Tirmidzi dan dihasankannya)
4. Menghindari banyak berbicara, kerana khuatir membosankan yang mendengar, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Wa’il:
“Adalah Ibnu Mas’ud ra senantiasa mengajari kami pada setiap hari Khamis, maka berkata seorang lelaki: Wahai Abu Abdurrahman (gelaran Ibnu Mas’ud) seandainya anda mahu mengajari kami setiap hari? Maka jawab Ibnu Mas’ud : Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku memenuhi keinginanmu, hanya aku khuatir membosankan kalian, kerana akupun pernah meminta yang demikian pada Rasulullah SAW dan beliau menjawab khuatir membosankan kami” (HR Muttafaq ‘alaih)
5. Mengulangi kata-kata yang penting jika dibutuhkan, dari Anas ra bahwa adalah Nabi Muhammad SAW jika berbicara maka baginda mengulanginya 3 kali sehingga semua yang mendengarkannya menjadi faham, dan apabila baginda mendatangi rumah seseorang maka baginda pun mengucapkan salam 3 kali. (HR Bukhari)
6. Menghindari mengucapkan yang bathil, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diredhai ALLAH SWT yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan demikian sehingga dicatat oleh ALLAH SWT keredhaan-NYA bagi orang tersebut sampai nanti hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai ALLAH SWT yang tidak dikiranya akan demikian, maka ALLAH SWT mencatatnya yang demikian itu sampai hari Kiamat.” (HR Tirmidzi dan ia berkata hadis hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)
7. Menjauhi perdebatan sengit, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW:
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan hidayah untuk mereka, melainkan karena terlalu banyak berdebat.” (HR Ahmad dan Tirmidzi) dan dalam hadis lain disebutkan sabda Nabi Muhammad SAW: “Aku jamin rumah di dasar syurga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah di tengah syurga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak syurga bagi yang baik akhlaqnya.” (HR Abu Daud)
8. Menjauhi kata-kata keji, mencela, melaknat, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW: “Bukanlah seorang mukmin jika suka mencela, melaknat dan berkata-kata keji.” (HR Tirmidzi dengan sanad shahih)
9. Menghindari banyak bercanda(bergurau), berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya seburuk-buruk orang disisi ALLAH SWT di hari Kiamat kelak ialah orang yang suka membuat manusia tertawa.” (HR Bukhari)
10. Menghindari menceritakan aib orang dan saling memanggil dengan gelaran yang buruk, berdasarkan ayat al-quran, Al-Hujjurat:11, juga dalam hadis Nabi Muhammad SAW: “Jika seorang menceritakan suatu hal padamu lalu ia pergi, maka ceritanya itu menjadi amanah bagimu untuk menjaganya.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menghasankannya)
11. Menghindari dusta, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW:
“Tanda-tanda munafik itu ada tiga, jika ia bicara berdusta, jika ia berjanji mengingkari dan jika diberi amanah ia khianat.” (HR Bukhari)
12. Menghindari ghibah(mengutuk) dan mengadu domba, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW:
“Janganlah kalian saling mendengki, dan janganlah kalian saling membenci, dan janganlah kalian saling berkata-kata keji, dan janganlah kalian saling menghindari, dan janganlah kalian saling meng-ghibbah satu dengan yang lain, dan jadilah hamba-hamba ALLAH yang bersaudara.” (HR Muttafaq ‘alaih)
13. Berhati-hati dan adil dalam memuji, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW dari Abdurrahman bin Abi Bakrah dari bapanya berkata: Ada seorang yang memuji orang lain di depan orang tersebut, maka berkata Nabi SAW: “Celaka kamu, kamu telah mencelakakan saudaramu! Kamu telah mencelakakan saudaramu!” (dua kali), lalu kata baginda SAW: “Jika ada seseorang ingin memuji orang lain di depannya maka katakanlah: Cukuplah si fulan, semoga ALLAH mencukupkannya, kami tidak mensucikan seorangpun di sisi ALLAH, lalu barulah katakan sesuai kenyataannya.” (HR Muttafaq ‘alaih dan ini adalah lafzh Muslim) dan dari Mujahid dari Abu Ma’mar berkata: Berdiri seseorang memuji seorang pejabat di depan Miqdad bin Aswad secara berlebih-lebihan, maka Miqdad mengambil pasir dan menaburkannya di wajah orang itu, lalu berkata: Nabi Muhammad SAW memerintahkan kami untuk menaburkan pasir di wajah orang yang gemar memuji. (HR Muslim)
Melanjutkan Gairah Ramadan
Iman itu naik turun. Karena itu, engkau harus selalu berupaya menyegarkan dan memperbaikinya. (Hadis)
Pascaperayaan dan liburan Idulfitri, umat Islam kembali melanjutkan kehidupan keseharian. Berbeda dari hari sebelum Idulfitri atau saat Ramadan, kali ini umat Islam sudah bebas dari tanggung jawab melaksanakan puasa wajib. Secara fisik, tentu berbeda dibandingkan dengan hari-hari saat Ramadan. Lalu, bagaimana secara spiritual?
Inilah yang selayaknya menjadi titik perhatian umat Islam. Ramadan dengan segala aktivitasnya boleh berlalu. Namun, semangat dan gairah spiritual Ramadan selayaknya terus melekat. Sekurang-kurangnya, ada grafik naik dibandingkan dengan sebelum memasuki bulan suci Ramadan. Dengan demikian, ada dinamika atau peningkatan kualitas kesadaran keagamaan yang diharapkan membawa perbaikan terhadap peningkatan kualitas aktivitas sosial. Bila tidak, sungguh terasa mubazir waktu satu bulan Ramadan yang penuh warna itu.
Memang, tidak mudah menjaga apalagi melanjutkan gairah dan semangat spiritual Ramadan. Ada atmosfer dan kondisi sosial berbeda yang memungkinkan terjadinya penurunan gairah dan semangat spiritual. Di bulan Ramadan, dorongan melaksanakan kewajiban puasa yang disertai janji-janji mendapat nilai spiritual, mudah mewujud menjadi energi besar yang membuat seseorang menjadi begitu bersemangat. Di hari biasa seperti sekarang ini, ketika atmosfer sosial biasa-biasa saja, dorongan atau etos tak sekuat saat Ramadan.
Oleh karena itu, perlu ada prioritas-prioritas aktivitas spiritual agar semangat dan gairah spiritual Ramadan tetap berlanjut. Atau kalau terjadi penurunan semangat spiritual, tidak anjlok terlalu jauh. Setidaknya, ada empat hal yang diharapkan dapat terus melanjutkan kegairahan spiritual dan sosial selama Ramadan.
Pertama, melanjutkan kebiasaan salat subuh tepat waktu serta berjamaah di masjid, seperti saat Ramadan. Suasana kebersamaan salat subuh di masjid, tak berbeda jauh dengan suasana masjid saat Ramadan. Secara psikologis, kondisi ini akan terus menyegarkan semangat beribadah. Apalagi bila seusai puasa, ada perenungan mendalam yang membuat seseorang seperti kehilangan momen Ramadan. Suasana salat subuh diharapkan dapat memuaskan dahaga rasa kehilangan momen Ramadan dan menggerakkan seseorang untuk terus memperoleh suasana Ramadan yang indah itu.
Kedua, dengan menyempatkan waktu melaksanakan puasa sunah, Senin dan Kamis. Ini penting, tidak hanya pada tataran aktivitas fisik mencerminkan kelanjutan puasa. Secara psikologis, sikap dan perilaku pengendalian puasa juga mewujud dalam kehidupan keseharian. Seseorang seperti terus disegarkan ingatannya untuk selalu mengendalikan dan menjaga diri. Berupaya terus untuk tidak melakukan hal-hal yang terlarang agama karena sedang menunaikan puasa.
Ketiga, meneruskan aktivitas kepedulian sosial yang selama Ramadan begitu intens dilakukan. Ini sangat tidak mudah walau tidak memerlukan kesiapan fisik khusus. Ego dan kepentingan sendiri kadang lebih mengemuka ketimbang berempati dan peduli pada orang lain. Apalagi ketika diri sendiri sedang menghadapi begitu banyak kesulitan.
Di bulan Ramadan, di samping kondisi fisik yang membuat seseorang peduli dan berempati pada orang lain, juga dipengaruhi atmosfer sosial serta janji-janji pahala, sehingga mudah sekali umat Islam mengulurkan tangan membantu saudaranya. Ketika situasi dan kondisi yang kondusif itu tak ada, kemungkinan terjadi penurunan kepedulian sangat terbuka.
Diperlukan pemahaman dan keyakinan luar biasa untuk menumbuhkan dan melanjutkan sikap peduli sesama pasca-Ramadan. Bahwa kepedulian sosial bukanlah semata-mata sebagai bagian dari Ramadan. Justru, antara lain, untuk membangkitkan kepedulianlah Islam mewajibkan melaksanakan puasa. Kepedulian bukan pelengkap puasa, tetapi justru menjadi salah satu tujuan utama seseorang diwajibkan berpuasa. Umat Islam diwajibkan berpuasa agar bangkit semangat kepeduliannya.
Tujuan puasa, yang eksplisit ditegaskan, agar umat Islam menjadi takwa, secara riil antara lain harus terwujud pada sikap peduli, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dalam keadaan kaya maupun sedang pailit. (Q.S. 3:134)
Secara gamblang, terpapar di sini bahwa salah satu bentuk riil dari keberhasilan seseorang melaksanakan ibadah puasa adalah meningkatnya kepedulian sosial. Bangkit dan meningkatnya semangat kebersamaan, kesamaan, dan persaudaraan. Tumbuh subur sikap memberi dan pedulinya. Bila semangat mengulurkan tangan ini berkembang indah, insya Allah, terbuka kemungkinan berkurangnya sikap meminta dan mengambil (korupsi) hak orang lain.
Terakhir dan yang terpenting adalah, tekad untuk meningkatkan kualitas spiritual dan sosial pasca-Ramadan. Bahwa seusai Ramadan bukanlah belantara bebas dari kungkungan dan kembali ke lingkungan tanpa batas. Ramadan adalah tahapan, proses menuju tingkatan kualitas hidup yang lebih baik secara spiritual maupun sosial. Berakhirnya Ramadan berarti satu jenjang--yang di dalamnya ada proses pembinaan--terlewati untuk selanjutnya menuju tahapan hidup yang lebih baik.
Belum terlambat untuk meluruskan pemikiran bahwa Ramadan bukanlah momen penjara sosial, tetapi pembinaan yang seharusnya saat Ramadan, seusai mampu meningkatkan kualitas hidup umat Islam. Bila kesadaran ini tumbuh, rasanya lebih mudah melanjutkan gairah dan semangat spiritual dan sosial Ramadan. Insya Allah.***
Iman itu naik turun. Karena itu, engkau harus selalu berupaya menyegarkan dan memperbaikinya. (Hadis)
Pascaperayaan dan liburan Idulfitri, umat Islam kembali melanjutkan kehidupan keseharian. Berbeda dari hari sebelum Idulfitri atau saat Ramadan, kali ini umat Islam sudah bebas dari tanggung jawab melaksanakan puasa wajib. Secara fisik, tentu berbeda dibandingkan dengan hari-hari saat Ramadan. Lalu, bagaimana secara spiritual?
Inilah yang selayaknya menjadi titik perhatian umat Islam. Ramadan dengan segala aktivitasnya boleh berlalu. Namun, semangat dan gairah spiritual Ramadan selayaknya terus melekat. Sekurang-kurangnya, ada grafik naik dibandingkan dengan sebelum memasuki bulan suci Ramadan. Dengan demikian, ada dinamika atau peningkatan kualitas kesadaran keagamaan yang diharapkan membawa perbaikan terhadap peningkatan kualitas aktivitas sosial. Bila tidak, sungguh terasa mubazir waktu satu bulan Ramadan yang penuh warna itu.
Memang, tidak mudah menjaga apalagi melanjutkan gairah dan semangat spiritual Ramadan. Ada atmosfer dan kondisi sosial berbeda yang memungkinkan terjadinya penurunan gairah dan semangat spiritual. Di bulan Ramadan, dorongan melaksanakan kewajiban puasa yang disertai janji-janji mendapat nilai spiritual, mudah mewujud menjadi energi besar yang membuat seseorang menjadi begitu bersemangat. Di hari biasa seperti sekarang ini, ketika atmosfer sosial biasa-biasa saja, dorongan atau etos tak sekuat saat Ramadan.
Oleh karena itu, perlu ada prioritas-prioritas aktivitas spiritual agar semangat dan gairah spiritual Ramadan tetap berlanjut. Atau kalau terjadi penurunan semangat spiritual, tidak anjlok terlalu jauh. Setidaknya, ada empat hal yang diharapkan dapat terus melanjutkan kegairahan spiritual dan sosial selama Ramadan.
Pertama, melanjutkan kebiasaan salat subuh tepat waktu serta berjamaah di masjid, seperti saat Ramadan. Suasana kebersamaan salat subuh di masjid, tak berbeda jauh dengan suasana masjid saat Ramadan. Secara psikologis, kondisi ini akan terus menyegarkan semangat beribadah. Apalagi bila seusai puasa, ada perenungan mendalam yang membuat seseorang seperti kehilangan momen Ramadan. Suasana salat subuh diharapkan dapat memuaskan dahaga rasa kehilangan momen Ramadan dan menggerakkan seseorang untuk terus memperoleh suasana Ramadan yang indah itu.
Kedua, dengan menyempatkan waktu melaksanakan puasa sunah, Senin dan Kamis. Ini penting, tidak hanya pada tataran aktivitas fisik mencerminkan kelanjutan puasa. Secara psikologis, sikap dan perilaku pengendalian puasa juga mewujud dalam kehidupan keseharian. Seseorang seperti terus disegarkan ingatannya untuk selalu mengendalikan dan menjaga diri. Berupaya terus untuk tidak melakukan hal-hal yang terlarang agama karena sedang menunaikan puasa.
Ketiga, meneruskan aktivitas kepedulian sosial yang selama Ramadan begitu intens dilakukan. Ini sangat tidak mudah walau tidak memerlukan kesiapan fisik khusus. Ego dan kepentingan sendiri kadang lebih mengemuka ketimbang berempati dan peduli pada orang lain. Apalagi ketika diri sendiri sedang menghadapi begitu banyak kesulitan.
Di bulan Ramadan, di samping kondisi fisik yang membuat seseorang peduli dan berempati pada orang lain, juga dipengaruhi atmosfer sosial serta janji-janji pahala, sehingga mudah sekali umat Islam mengulurkan tangan membantu saudaranya. Ketika situasi dan kondisi yang kondusif itu tak ada, kemungkinan terjadi penurunan kepedulian sangat terbuka.
Diperlukan pemahaman dan keyakinan luar biasa untuk menumbuhkan dan melanjutkan sikap peduli sesama pasca-Ramadan. Bahwa kepedulian sosial bukanlah semata-mata sebagai bagian dari Ramadan. Justru, antara lain, untuk membangkitkan kepedulianlah Islam mewajibkan melaksanakan puasa. Kepedulian bukan pelengkap puasa, tetapi justru menjadi salah satu tujuan utama seseorang diwajibkan berpuasa. Umat Islam diwajibkan berpuasa agar bangkit semangat kepeduliannya.
Tujuan puasa, yang eksplisit ditegaskan, agar umat Islam menjadi takwa, secara riil antara lain harus terwujud pada sikap peduli, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dalam keadaan kaya maupun sedang pailit. (Q.S. 3:134)
Secara gamblang, terpapar di sini bahwa salah satu bentuk riil dari keberhasilan seseorang melaksanakan ibadah puasa adalah meningkatnya kepedulian sosial. Bangkit dan meningkatnya semangat kebersamaan, kesamaan, dan persaudaraan. Tumbuh subur sikap memberi dan pedulinya. Bila semangat mengulurkan tangan ini berkembang indah, insya Allah, terbuka kemungkinan berkurangnya sikap meminta dan mengambil (korupsi) hak orang lain.
Terakhir dan yang terpenting adalah, tekad untuk meningkatkan kualitas spiritual dan sosial pasca-Ramadan. Bahwa seusai Ramadan bukanlah belantara bebas dari kungkungan dan kembali ke lingkungan tanpa batas. Ramadan adalah tahapan, proses menuju tingkatan kualitas hidup yang lebih baik secara spiritual maupun sosial. Berakhirnya Ramadan berarti satu jenjang--yang di dalamnya ada proses pembinaan--terlewati untuk selanjutnya menuju tahapan hidup yang lebih baik.
Belum terlambat untuk meluruskan pemikiran bahwa Ramadan bukanlah momen penjara sosial, tetapi pembinaan yang seharusnya saat Ramadan, seusai mampu meningkatkan kualitas hidup umat Islam. Bila kesadaran ini tumbuh, rasanya lebih mudah melanjutkan gairah dan semangat spiritual dan sosial Ramadan. Insya Allah.***
Langganan:
Postingan (Atom)