Antara Terorisme Negara dan Perjuangan

Sejak terjadinya serangan teror 11 September 2001 yang meluluhlantakkan menara kembar WTC di New York, masalah yang paling hangat dibicarakan adalah isu perang melawan terorisme. Sejauh ini tak ada yang menentang slogan memerangi terorisme. Sebab, terorisme memang sebuah fenomena buruk yang harus dibasmi keamanan dan kedamaian dunia. Hanya saja yang menjadi masalah adalah tampilnya kelompok neo konservatif di Gedung Putih sebagai pihak yang mengklaim kepemimpinan dalam perang ini. Akibatnya, isu perang melawan teror ditunggangi oleh kepentingan kelompok ini.

Dengan bantuan media massa yang ada, kelompok neo konservatif sengaja mengacaukan makna dua hal yang berbeda yaitu terorisme dan perjuangan yang sah. Tak jarang pula, perjuangan disama-artikan dengan terorisme seperti yang terjadi pada perjuangan rakyat Palestina. Selain itu, Barat juga menyempitkan istilah terorisme hanya pada terorisme pribadi atau kelompok dan menafikan adanya praktik terorisme negara.

Terorisme dalam arti menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan, adalah fenomena yang sudah ada sejak dahulu. Dalam beberapa dekade yang lalu, sejumlah kelompok dan organisasi terbiasa menggunakan cara-cara kekerasan untuk menekan pemerintah, lembaga internasional atu phak-pihak lain agar menuruti kehendaknya. Salah satu contoh nyatanya adalah kelompok mafia di negara-negara Barat, yang menggunakan teror untuk meraih kekuasaan, kekuatan dan kekayaan.

Ciri khas dari teror yang membedakannya dari cara kekerasan yang lain adalah kemampuannya menciptakan suasana mencekam. Suasana mencekam yang menghantui rakyat di AS pasca serangan ke WTC, membuat peristiwa itu disebut dengan aksi terorisme, dan kondisi inilah yang lantas dimanfaatkan oleh Gedung Putih untuk kepentingannya.

Bahwa terorisme harus diperangi, itu merupakan sebuah kesepakatan. Tetapi untuk memerangi fenomena ini harus ada penjelasan terlebih dahulu tentang makna dari terorisme. Dengan kata lain, terorisme harus didefinisikan terlebih dahulu sebelum ada langkah untuk memeranginya. Sejauh ada Perserikatan Bangsa-bangsa telah menyatakan bahwa siapa saja yang menciptakan ketakutan di tengah rakyat, atau pemerintah atau bahkan lembaga internasional, memaksa mereka melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan, membunuh atau mencederai warga sipil, dapat digolongkan sebagai teroris.

Menurut definisi PBB, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemberian perintah teror termasuk ke dalam terorisme. Meskipun definisi ini lebih banyak menyorot terorisme individu dan kelompok, namun melihat isi dan maksudnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sebuah negara pun dapat pula melakukan aksi-aksi terorisme sehingga sudah barang tentu dapat pula disebut sebagai teroris.

Untuk dapat melihat lebih jelas wajah terorisme negara, maka bisa dilihat ciri-ciri teror dan membandingkannya dengan kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah negara. Dalam terorisme biasa penduduk sipil menjadi sasaran. Melihat aksi-aksi beberapa negara imperialis Barat, akan tampak dengan jelas bahwa mereka ini telah membunuh bukan sepuluh atau seratus orang, tapi puluhan ribu manusia tak berdosa di negara-negara jajahan mereka, selain merampas sebanyak mungkin harta kekayaan nasional negara jajahan.

Di antaranya dapat dikatakan bahwa lebih dari 100.000 warga Irak tak berdosa, sejak awal penjajahan atas negara ini pada tahun 2003 hingga kini menjadi korban ketamakan hegemoni AS. Salah satu contoh nyata terorisme negara ialah rezim zionis, yang

hingga kini telah membunuh dan mencederai ratusan ribu warga tak berdosa Palestina, dan mengusir jutaan orang dari mereka dari kampung halaman, dalam rangka merampok tanah Palestina dan melanjutkan pemerintahan ilegal mereka di kawasan ini.

Di antara ciri-ciri lain terorisme ialah penciptaan rasa takut dan ngeri di tengah warga. Pembunuhan rakyat di berbagai negara oleh penguasa-penguasa Barat dan rezim zionis, merupakan contoh paling nyata dalam masalah penciptaan rasa takut dan cemas di tengah rakyat luas. Mereka menciptakan suasana seperti itu dengan tujuan memaksa para pejuang untuk menghentikan perlawanan dan menyerah kepada mereka. Tiap harinya, puluhan warga sipil Irak di bunuh secara massal oleh orang-orang dan kelompok tertentu, yang berdasarkan berbagai bukti dan saksi, memiliki jalinan hubungan dekat dengan para pejabat AS. Tel Aviv pun, dengan tuduhan luas Washington, membunuhi warga Palestina dan menganggap aksi keji ini sebagai hak mereka.

Teror adalah perbuatan kekerasan yang mengancam keamanan dan kedamaian. Tak diragukan bahwa aksi-aksi militer negara-negara Barat, terutama AS di negara-negara berkembang, di masa lalu dan sekarang, merupakan contoh paling jelas untuk aksi-aksi anti keamanan dan kedamaian ini. Untuk itulah, sejumlah besar penduduk dan cendekiawan dunia, memandang As sebagai bahaya terbesar bagi perdamaian internasional.

Noam Chomsky, kritikus terkenal AS berkali-kali menekankan bahwa AS adalah negara teroris terbesar di dunia. Dengan demikian, terorisme negara-negara Barat merupakan terorisme terburuk dan paling kejam, yang telah menelan korban sejumlah besar manusia dan merampas kekayaan-kekayaan nasional mereka, dan mengancam kedamaian dunia. meski demikian, negara-negara Barat berusaha membatasi terorisme hanya pada terorisme pribadi dan kelompok. Selain itu mereka juga berusaha meyakinkan masyarakat dunia bahwa terorisme semacam ini banyak muncul dan bersumber dari dunia Islam.

Tipu muslihat lain negara dan media massa Barat ialah, mengesankan perjuangan legal setiap bangsa untuk mempertahankan negara dan kepentingan nasionalnya, sebagai terorisme. Mereka melancarkan propaganda sedemikian rupa dimana jika setiap bangsa yang berada di bawah jajahan mereka bangkit melawan dan mengangkat senjata, berarti mereka melakukan teror. Padahal menurut akal dan fitrah, bertahan dan membela diri dalah perkara yang lazim dan dibenarkan. UU internasional pun membenarkan serta mendorong siapa saja untuk melakukan pembelaan dan pertahanan diri.

Dalam artikel 51 Piagam PBB dikatakan, “Jika terjadi serangan bersenjata terhadap sebuah negara anggota PBB, sampai ketika DK bertindak untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, maka tak ada satu pun dari ketetapan-ketetapan Piagam ini tidak menolak hak memeprtahankan diri, baik dilakukan secara perorangan maupun kolektif.” Dengan demikian rakyat Palestina, Irak dan Afganistan, bukan saja dapat mempertahankan negara mereka menghadapi para penjajah, bahkan DK pun harus bertindak secepatnya untuk menghapus penjajahan atas negara manapun. Sikap diam lembaga ini terhadap penjajahan, tak lain merupakan kelalaian dan ketidakmampuannya dalam mengemban kewajiban.

Sementara itu, negara-negara dan berbagai media massa Barat menyebut pertahanan legal negara-negara berkembang menghadapi para penjajah sebagai terorisme. Akan tetapi mereka lupa bahwa mereka pun bangkit mempertahankan diri menghadapi ekspansi pasukan Hitler, bahkan memandangnya sebagai salah satu kebanggaan terbesar mereka. Di masa Perang Dunia kedua, sejumlah negara Eropa jatuh ke dalam jajahan Nazi

Jerman. Akan tetapi di negara-negara ini muncul kelompok-kelompok pejuang yang bangkit melawan kekuatan penjajah. Saat ini, sejumlah negara dunia ketiga pun tengah berada di bawah penjajahan negara Barat. Seharusnya, mereka pun berhak bahkan harus dibantu dan didorong untuk bangkit melawan para penjajah mereka dengan sekuat tenaga.

Alakulihal, terorisme adalah fenomena buruk, penuh dengan kekerasan, dan sama sekali tak dapat dibela. Sebagaimana terorisme perorangan dan kelompok harus dikecam dan dilawan, maka terorisme negara pun harus dikecam dan dibasmi. Bagaimana pun, propaganda tendensius media-media massa Barat, tidak mungkin mampu mengurangi legalitas perjuangan menentang para agresor dan tidak mampu pula mengendurkan tekad dan semangat rakyat untuk bangkit menentang mereka.
Baiat dan Taat

AKHIR-AKHIR ini, muncul kembali istilah imam dan baiat. Apalagi kedua istilah tersebut kerap dihubung-hubungkan dengan aksi-aksi terorisme sehingga seseorang yang sudah dibaiat akan melaksanakan "ketaatan buta" kepada seseorang yang dianggap pemimpinnya.

Kita perlu meluruskan kembali makna imam (imamah) dan baiat ini. Islam mengajarkan dalam kaitan untuk mengangkat imam atau pemimpin. Maka Rasulullah memerintahkan agar dari tiga orang harus diangkat seorang pemimpin yang dipercayai dan ditaati. "Tidak halal bagi orang yang berada di tengah sahara, kecuali diangkat salah seorang di antaranya menjadi pemimpin mereka." (H.R. Ahmad dari Ibnu Mas`ud)

Hal kedua yang harus diperhatikan dalam pengangkatan imam adalah baiat sebagai bagian integral dalam kehidupan berjemaah dan perwujudan kesiapan umat untuk mematuhi aturan pemimpinnya. Dalam Kitab Lisaanul Arab dijelaskan, baiat merupakan transaksi atas ijab jual beli serta atas sumpah setia dan ketaatan. Baiat merupakan sumpah setia dan ketaatan.

Dari definisi tersebut, jelaslah kalau baiat bukanlah proses islamisasi atau pengislaman seseorang dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan imam. Baiat adalah perjanjian antara yang dipimpin (umat) dan yang memimpin (imam) untuk melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya, serta aturan-aturan lain yang tidak bertentangan dengan aturan Allah dan rasul.

Ada banyak baiat yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah. Pertama, baiat Aqabah Ula pada tahun ke-11 kenabian, tepatnya pada musim haji dengan enam orang dari Yatsrib (Madinah) menyatakan masuk Islam. Tahun berikutnya, datang lagi dua belas orang ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dengan tata cara jahiliah. Mereka bertemu Rasulullah di Aqabah, Mina, lalu berbaiat untuk berjanji setia kepada nabi. Baiat itu juga berisi tidak akan membunuh anak-anak, tidak akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, dan tidak durhaka dalam mengamalkan kebajikan.

Kedua, baiat Aqabah Tsaniyah (kedua) pada tahun ke-13 kenabian, yakni 73 orang penduduk Madinah datang kepada nabi di Aqabah, Mina, setelah menunaikan ibadah haji. Mereka berbaiat kepada nabi yang isinya antara lain, tetap taat di kala sibuk atau lenggang, berinfak saat lapang dan sempit, amar makruf nahyi munkar, teguh membela kebenaran di jalan Allah tanpa rasa takut cacian dan cemoohan, serta tetap membantu nabi apabila berada di tengah-tengah mereka.

Ketiga, baiatur-ridwan atau baiatus-syajarah yang terjadi pada tahun ke-6 Hijriah, saat Rasulullah ingin menunaikan umrah bersama dengan Ummu Salamah. Perjalanan Rasulullah diikuti sekitar 1.500 sahabatnya. Dalam perjalanan di Hudaibiyah, sekitar enam kilometer menjelang Mekah, rombongan dihadang kaum kafir dan meminta agar tidak melaksanakan umrah.

Lalu, nabi mengutus Utsman bin Affan sebagai diplomat untuk merundingkan kesepakatan dengan kaum kafir Quraisy dan mengajak masuk Islam karena penaklukkan Mekah oleh kaum Muslimin sebentar lagi. Namun tiba-tiba, muncul selentingan bila Utsman telah dibunuh sehingga nabi melakukan baiat agar kaum Muslimin melakukan jihad sampai titik darah penghabisan.

Keempat, baiat di Khandaq dengan ikrar kesetiaan dari sahabat Ansar dalam bentuk syair/ungkapan. "Kami adalah orang-orang yang berbaiat kepada Nabi Muhammad untuk berjihad selama kami hidup."

Kelima, baiat Nisa atau baiatul Mukminat berupa baiat kepada kaum Muslimah yang ikut hijrah dari Mekah ke Madinah, padahal sebagian suaminya masih kafir. Hal ini tecermin dalam Q.S. al Mumtahanah: 12.

Apabila telah diyakini hidup berjemaah hukumnya wajib dan dalam hidup berjemaah diwajibkan adanya imam/pemimpin, maka menaati pemimpin menjadi wajib. "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah, dan ulil amri (pemerintahan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alquran), dan rasul (sunnah)...." (Q.S. an Nisa: 59)

Siapa pun yang telah dipilih menjadi pemimpin, seperti hasil pemilihan umum di Indonesia beberapa waktu lalu, maka wajib didengar dan ditaati. "Dengarkan dan taatilah meskipun kamu dipimpin oleh seorang hamba orang habsy, yang kepalanya seperti kismis." (H.R. Akhmad dan Bukhari)

Kalau pun ada hal-hal yang tidak kita sukai dari seorang pemimpin, maka tidak boleh menghapus ketaatan kepadanya. Nabi Muhammad bersabda,"Apabila kamu mendapatkan pemimpinmu perkara yang kamu tidak sukai, maka bencilah perbuatannya dan janganlah kamu meninggalkan ketaatan kepadanya." (H.R. Muslim)

Begitu luhur ajaran Islam mengenai kewajiban taat kepada Allah, Rasulullah, dan para pemimpin. Seandainya ada suatu perbuatan pemimpin yang tidak berkenan maka kita harus membenci perbuatan tersebut dan mengingatkannya sebagai bagian dari amar makruf nahyi munkar. Jihad paling besar adalah ketika mengingatkan pemimpin yang berbuat zalim. Wallahu a`lam.***
Kedudukan Salat Dalam Islam

HIKMAH terpenting lainnya dari peristiwa akbar Isra dan Miraj Nabi Muhammad saw. adalah turunnya perintah salat lima waktu. Hal ini yang mungkin sering terabaikan oleh sebagian umat Islam. Peristiwa Isra dan Miraj memanglah satu-satunya. Hanya satu kali terjadi yang dianugerahkan Allah SWT dan dialami satu-satunya hamba Allah, yaitu Muhammad. Jangankan manusia biasa, nabi-nabi sebelum Muhammad tidak ada yang di-isramiraj-kan Allah. Hanya Muhammad.

Atas kuasa Allah Yang Mahaperkasa, Muhammad diisrakan atau diperjalankan dalam satu malam, dari Masjidilharam Mekah ke Masjidil Aqsha Palestina. Kemudian pada malam itu juga, dimirajkan (dinaikkan) ke langit dunia hingga langit ke tujuh, terus dibawa naik lagi ke Sidratul Muntaha untuk menghadap Allah Yang Mahaperkasa. Dalil Isra (Q.S. Al-Isra [17]: 1) dan dalil Miraj (Q.S. An-Najm [53]: 13-18).

Tujuannya, untuk memperlihatkan salah satu tanda keagungan Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Allah SWT telah mengizinkan Nabi Muhammad untuk melihat langsung surga dunia, Al-Ma`wa, di mana roh-roh orang beriman dan bertakwa akan ditempatkan setelah wafat. Termasuk turunnya perintah salat lima waktu. Kendati dalil Isra hanya satu ayat dan dalil Miraj enam ayat, tapi setiap Muslim wajib mengetahui dan mengimaninya. Bila tidak mengimaninya, berarti orang itu kafir terhadap ayat-ayat Allah yaitu Alquran. Ini tentu dosa besar.

Rasulullah saw. menerima perintah salat ini langsung dari Allah SWT tanpa perantara Malaikat Jibril. Pada saat beliau menjalani peristiwa Miraj di Sidratul Muntaha, menandakan betapa pentingnya kedudukan salat fardu lima waktu ini di hadapan Allah. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik r.a., "Salat difardhukan kepada Nabi Saw. pada malam Isra lima puluh (kali), kemudian dikurangi sehingga menjadi lima (kali) lalu diserukan, `Ya Muhammad, keputusan ini di sisi-Ku tidak dapat diubah dan bagimu yang lima ini adalah lima puluh (kali pahalanya)`." (H.R. Ahmad, An-Nasa`i dan At-Tirmidzi)

Allah SWT dan Rasul-Nya menempatkan ibadah salat lebih tinggi kedudukannya dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Bukan berarti ibadah-ibadah lainnya ditinggalkan. Salat merupakan tiang agama, tidak akan berdiri Islam kecuali dengan salat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. "Pokok urusan (agama) ini adalah Islam dan tiangnya adalah sala.t" (Al-Mu`jam Al-Kabir, dari Mu`adz ibnu Jabal)

Salat merupakan ibadah yang pertama kali dihisab oleh Allah SWT di akhirat kelak. Salat juga dijadikan berometer amal-amal yang lain. Peringatan dari Nabi saw.: "Yang mula-mula dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Jika salatnya beres, maka bereslah seluruh amalnya dan jika salatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalnya." (Al-Mu`jam Al-Ausath, Mushannaf Abi Syaibah, dari Ibnu Malik)

Salat merupakan benteng terakhir dari agama, kalau salat lenyap, lenyap pula agama Islam seluruhnya. Sebagaimana peringatan keras dari Nabi Muhammad saw. "Sesungguhnya akan terlepas ikatan-ikatan Islam satu demi satu. Setiap kali satu ikatan lepas, manusia akan tergantung pada ikatan yang berikutnya. Ikatan yang paling awal terlepas adalah hukum yang terakhir adalah salat." (Shahih Ibnu Hibban, dari Abu Umamah)

Dan apabila diamalkan berdasar ketentuannya, salat merupakan ibadah yang berfungsi mencegah perbuatan keji dan mungkar. Firman Allah SWT, "Sesungguhnya salat mencegah perbuatan keji dan mungkar dan sungguh (salat) mengingat Allah (zikir) yang paling utama." (Q.S. Al-Ankabut [29]: 45)

Berdasarkan keterangan dan dalil-dalil di atas, jelaslah salat merupakan titik sentral ibadah yang wajib diamalkan oleh setiap Muslim tanpa kecuali, tanpa membedakan status laki-laki atau perempuan, tua atau muda, kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, mulai dari usia tujuh tahun, tepatnya di usia balig hingga akhir hayat. Salat wajib yang lima waktu, jangan sekali-kali ditinggalkan. Di akhirat kelak, Allah SWT menyediakan tempat di neraka Saqar bagi yang meninggalkan salat. Allah SWT berfirman tentang keadaan orang-orang yang berdosa, "Apakah yang menyebabkan kamu masuk ke dalam Neraka Saqar?" Mereka menjawab, "Kami dahulu termasuk orang-orang yang meninggalkan salat." (Q.S. Al-Mudatstsir [74]: 41-43)

Kendati demikian, sangatlah ironis antara salat sebagai kewajiban pertama dan utama dengan umat Islam yang berkewajiban mengamalkannya. Fakta menunjukkan, betapa masih banyak kaum Muslimin yang masih belum melaksanakan salat, baik karena alasan malas, kesibukan rutin yang menyita waktu, terlalu senang bermain-main, sangat mencintai kehidupan dunia, maupun dengan dalih lainnya. Di sisi lain, sudah banyak pula kaum Muslimin yang telah melaksanakan ibadah salat ini, hanya saja jauh dari khusyuk apalagi salat tersebut dapat merefleksikan sikap hidup ideal seorang Muslim. Salat yang baik dan benar harus mengikuti contoh yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw., sebagaimana yang telah diinstruksikan beliau. "Salatlah kamu seperti kalian melihat (mendapatkan) aku salat (H.R. Bukhori), mulai dari tata cara wudu hingga tata cara mendirikan salat dan mengaplikasikan rohnya salat dalam segala aspek kehidupan sehari-hari.

Betapa tingginya kedudukan dan peranan salat bagi setiap Muslim, maka perlu dikaji secara serius, khusus, dan komprehensif. Oleh karena itu, dibutuhkan dakwah yang kontinu dan simultan dari para dai, mubalig, ustaz, untuk membimbing umat. Juga tidak kalah pentingnya, peranan para orang tua membimbing putra putrinya mendirikan salat, sehingga umat serta putra-putri kita "naik kelasnya". Dari yang enggan dan tidak melaksanakan salat, menjadi sadar akan kewajibannya dan segera menunaikannya.

Pada tingkatan berikutnya, dari sekadar menunaikan kewajibannya, menjadi orang-orang yang khusyuk salatnya dan menjadikannya sebagai bagian dari kebutuhan dan kenikmatan hidupnya. Lalu menuju pada tingkat yang tertinggi, ibadah salatnya dapat menjadikannya sebagai seorang Muslim yang mampu merefleksikan nilai yang terkandung dalam salat, berwujud dalam perilaku kehidupan nyata sehari-harinya. Mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar, serta senantiasa ber-amar ma`ruf nahyi mungkar, mengajak kepada kebijakan dan mencegah segala kemungkaran. Wallahu a`lam.