"People Power"

Kendati sudah dua kali mengganti kekuasaan lewat proses "people power", aparat pemerintah dan anggota parlemen tidak berusaha sungguh-sungguh, untuk memetik hikmah dari makna "people power" itu sendiri, misalnya, dengan mewanti-wanti diri sendiri, jangan melakukan kesalahan yang sama.

Gara-gara masyarakat merasa curiga dan kecewa terhadap proses penahanan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah oleh polisi, beberapa pihak menyebut kemungkinan jika kekecewaan rakyat tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian yang cepat akan berpotensi menjadi people power. Setelah memutar rekaman yang isinya sangat menghebohkan itu, bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud M.D. merasa perlu untuk mengingatkan, jangan lawan kekuatan rakyat.

Kendati kekuasaan Soekarno dijatuhkan oleh kekuatan rakyat pada 1966, istilah people power menjadi populer setelah terjadi pergantian kekuasaan di Filipina. Saat itu Benigno (Ninoy) Aquino yang lama tinggal di pengasingannya di AS, memutuskan pulang ke negerinya untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Presiden Ferdinand Marcos yang sudah menjadi diktator. Penerbangan Ninoy ke negara asalnya itu kemudian berubah menjadi perjalanannya menjemput maut. Karena begitu pintu pesawatnya terbuka di Bandara Manila, ia ditembak dan meninggal seketika.

Tragedi inilah yang kemudian menyulut amarah rakyat. Dalam jumlah yang makin lama tambah banyak, mereka turun ke jalan menuntut pergantian kekuasaan. Filipina dilanda krisis hebat. Karena sudah tak mampu mempertahankan kekuasaannya, akhirnya dengan bantuan AS, Marcos diterbangkan ke Hawaii dan Corry Aquino (istri Ninoy) ditetapkan sebagai presiden.

Di luar dugaan banyak orang, Corry yang sebelumnya hanya seorang ibu rumah tangga biasa, ternyata sanggup mengendalikan politik di negaranya kendati berkali-kali bergejolak. Yang lebih istimewa lagi, Corry tidak membiarkan jargon people power dipelihara terus oleh rakyatnya sebagai sesuatu yang dikeramatkan. Rambu-rambu demokrasi dipatoknya dengan baik, bahkan ancaman serta kudeta militer pun (yang terjadi sampai tujuh kali), tidak menggoyahkan pendiriannya. Corry-lah yang menetapkan masa jabatan seorang Presiden Filipina cukup satu kali saja, padahal tekanan yang menentangnya sangat kuat.

Dalam kesempatan saat ini, kita untuk kesekian kalinya kembali menyebut people power, tidak ada salahnya kalau mengingat kembali apa yang telah dilakukan oleh Corry Aquino di Filipina. Sebagai presiden, prestasi Corry mungkin tidak hebat, tetapi apa yang telah dilakukannya tidak jauh dengan apa yang dilakukan Nelson Mandela di Afrika Selatan. Keduanya naik ke panggung kekuasaan dengan dukungan rakyat yang sangat besar, sedangkan dirinya berpotensi memikul beban dendam yang tidak ringan. Namun, potensi balas dendam tersebut oleh keduanya dibuang jauh-jauh. Di relung qalbunya, mereka sudah tidak menyediakan ruang untuk menampung hal-hal seperti itu. Alasannya, yang lebih penting untuk diurus adalah kepentingan rakyatnya, bukan kepentingan diri atau keluarganya. Keduanya berketetapan pasti tidak membiarkan bangsanya bergejolak. Lembaga-lembaga kenegaraan yang sebelumnya dinilai bobrok dan kehormatannya dirusak, ditata ulang dengan apik. Pilar-pilarnya yang coreng-moreng dibersihkan, sedangkan yang runtuh ditegakkan kembali. Aspirasi rakyat, betapa pun kerasnya, digiring untuk masuk ke dalam koridor yang semestinya dan ditangani dengan baik. Corry dan Mandela tampil sebagai guru bangsa dalam kapasitas yang sebenarnya. Solusinya, menumbuhkan kepercayaan. Setelah itu, menawarkan kedamaian dan ketenteraman. Hasilnya pun luar biasa, di Filipina dan Afrika Selatan yang namanya people power hanya terjadi satu kali. Setelah itu, penyebutannya hanya untuk kepentingan sejarah.

Akan tetapi di negeri ini, mengapa people power sampai terjadi dua kali dan aktualisasinya pun masih terus disebut-sebut? Ini persoalan yang harus kita atasi bersama. Dua kali meruntuhkan kekuasaan dengan mengandalkan people power, jika dihitung-hitung, barangkali ongkosnya sudah sangat mahal. Bukan semata modal yang sudah ludes, tagihan utang pun tak kunjung habis. Kalau meminjam kearifan peribahasa, kita ini lebih bebal ketimbang keledai karena sudah terbukti tersandung dua kali pada batu yang sama. Terutama bagi lembaga kepresidenan dan lembaga parlemen, persoalan ini jangan dibiarkan menohok dan meruntuhkan wibawa lembaganya masing-masing. Lembaga-lembaga yang didirikan di atas cucuran keringat rakyat ini bukan untuk disalahgunakan atau disepelekan.

Selama ini sudah terbukti kita teledor. Kendati sudah dua kali mengganti kekuasaan lewat proses people power, aparat pemerintah dan anggota parlemen tidak berusaha sungguh-sungguh, untuk memetik hikmah dari makna people power itu sendiri, misalnya, dengan mewanti-wanti diri sendiri, jangan melakukan kesalahan yang sama. Mereka mestinya menjadi bagian dari proses serta mewarisi semangat yang luar biasa tersebut dan bukan justru mengkhianatinya.***