Jalan Pemilu

PROSES pemilu dari dulu hingga sekarang kurang lebih sama. Yaitu melibatkan rakyat pemegang hak pilih untuk datang ke bilik suara menyalurkan hak pilihnya. Memilih siapa, partai apa, atau karena dorongan apa, itu soal lain. Sebab, jangankan hanya "salah" menyalurkan hak pilih, tidak nyoblos atau nyontreng pun sekarang mah hampir-hampir dianggap sebagai hak sah pemilih. Meski sulit dibuktikan, sepertinya sekarang memilih untuk tidak memilih atau golput itu dijadikan "alat" oleh golongan tertentu untuk tujuan tertentu pula.

Hal lain yang hilang adalah istilah "jalan pemilu" atau apa pun yang senada dengan itu. Dalam obrolan ringan di perdesaan, kerap terlontar kalimat bahwa kemunculan "jalan pemilu", "gang pemilu", atau hal lain yang senada dengan itu sudah bukan zamannya lagi, saat ini. Sebenarnya, pemberian istilah itu tidak dialamatkan pada jalan atau gang baru. Misalnya, nama untuk jalan atau gang baru yang dibangun menjelang pemilu, atau penggantian nama jalan atau gang lama. Istilah itu diberikan warga merujuk pada perlakuan pemerintah terhadap jalan itu menjelang pemilu.

Entah benar ada korelasinya atau kebetulan, tapi kata mereka, zaman dahulu mah hampir tidak ada jalan rusak pada hari pencoblosan. Semua jalur jalan diperbaiki menjelang hari pemilihan. Jalur jalan yang perbaikannya paling mepet ke hari pemilihan, kerap diberi istilah "jalan pemilu". Maksudnya, jalan yang terasa sekali semangat perbaikannya untuk atau karena pemilu. Konon, kondisi demikian dijadikan "senjata" untuk memotivasi rakyat pemilih agar ramai-ramai datang ke tempat pemilihan pada harinya. Embel-embel arahan agar menyalurkan hak pilih ke mana, itu soal lain. Yang pasti, rakyat masih bisa berharap memperoleh "pendekatan lain" yang manfaatnya terasa oleh umum.

Kalaupun kondisi sekarang ada yang mirip, bukan lagi dalam bentuk fasilitas umum, tapi lebih personal. Misalnya, ada warga yang tiba-tiba diangkat jadi pegawai BUMN atau BUMD karena pada saat kampanye dia menjadi pendukung caleg tertentu yang kebetulan terpilih, dan caleg itu punya hubungan baik dengan BUMN atau BUMD bersangkutan.

Selidik punya selidik, kemunculan "jalan pemilu" di masa-masa pemilu tempo doeloe, ada pakuat-pakaitna dominasi partai tertentu. Dulu ada istilah "partai penguasa" yang menggambarkan jaringan kekuasaan birokrasi dipegang satu partai tertentu. Presiden, gubernur, bupati, wedana, camat, kuwu, hingga RT dari partai yang sama. Alhasil, mereka bisa kompak untuk --misalnya-- mencairkan dana projek perbaikan jalan pada bulan-bulan menjelang pemilu. Sekarang? Hal demikian tidak mungkin lagi terjadi. Istilah "partai penguasa" tidak ada lagi. Antara presiden, gubernur, bupati, dan seterusnya, hingga ke RT dan RW tidak mungkin lagi terjalin fanatisme satu partai. Kalaupun tidak saling menjegal, di saat kampanye mereka punya kepentingan berbeda. Gubernur yang dari partai A, mungkin saja menunda atau mengesampingkan kepentingan bupati tertentu dari partai B, atau sebaliknya.

Kalau demikian, ada baiknya gagasan yang menyuarakan agar para pejabat publik mundur dari partainya sesaat setelah yang bersangkutan memegang jabatan itu. Ya, biar mereka fokus pada kepentingan rakyat. Mungkinkah? Semoga......