Kopi Hilangkan Bau Mulut
Bau mulut memang sungguh mengganggu dan tentunya sangat memalukan. Bagi penggemar kopi, mereka bisa menghilangkan bau mulut dengan meminum kopi. Penelitian terbaru menyatakan bahwa ekstrak kopi dapat membunuh bakteri penyebab bau mulut. "Setiap orang mengira bahwa kopi bisa memicu napas tak sedap. Pendapat ini ada benarnya, pasalnya kopi menimbulkan efek dehidrasi pada mulut yang jika dicampur dengan susu dapat terfermentasi dan menyebabkan bau tak enak," kata Mel Rosenberg, peneliti dari Tel Aviv University. Namun rupanya, pendapat itu tidak selalu benar. Bersama dengan rekannya, Rosenberg mengadakan penelitian dengan memonitor bakteri penyebab bau yang diproduksi kopi dalam air ludah. "Hasilnya, terbukti berlawanan dengan perkiraan sebagian besar orang. Dalam temuan ini, kami justru menemukan bahwa kopi mampu menghilangkan napas tak sedap," kata Rosenberg. Rosenberg dan timnya kemudian akan mengisolasi molekul penghambat bakteri untuk mendapatkan keuntungan antibakteri yang berasal dari kopi. Lebih lanjut Rosenberg menjelaskan, bukan ekstrak mentah biasa yang akan mereka pakai, melainkan materi aktif yang terdapat dalam kopi. "Jika temuan tersebut terbukti maka akan menjadi terobosan baru dalam metode pengobatan bau mulut. Sehingga pasien memiliki opsi lain untuk menuntaskan masalah bau mulut selain dengan mengulum permen mentol, obat kumur atau permen karet," ujarnya.
Marhaban Ramadan
AWAL Ramadan 1430 H/2009 tahun ini, insya Allah akan sama, baik NU, Muhammadiyah, Persis, maupun ormas-ormas Islam lainnya, yakni bertepatan dengan Sabtu (22/8). Kecuali, ada aliran atau kelompok kecil, seperti di Sumatra Barat atau Sulawesi Selatan, yang kadang memiliki perhitungan berbeda.
Dari perhitungan Dewan Hisab dan Rukyat PP Persis, ijtimak (konjungsi) akhir bulan Saban jatuh pada Kamis (20/8), pukul 17.02 WIB. Sedangkan ketinggian hilal waktu Magrib di Palabuhanratu, Sukabumi, mencapai -1 derajat, 42 menit, dan dua detik, sedangkan di Jayapura, Papua, ketinggian hilal -3 derajat, 25 menit, dan 53 detik.
Sedangkan almanak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) menyatakan, perkiraan awal bulan Ramadan jatuh pada Sabtu Pahing (22/8). Hal itu berdasarkan hasil hisab atau perhitungan astronomis, posisi hilal (bulan sabit) pada saat matahari terbenam tanggal 29 Saban atau 20 Agustus, masih berada di bawah ufuk -1 derajat. Kalau secara hisab, jika posisi hilal masih di bawah ufuk, hilal tidak akan bisa dirukyat atau dilihat.
Dengan kondisi itu, secara syar`i, awal bulan ditetapkan berdasarkan kaidah istikmal atau penyempurnaan bulan Saban menjadi tiga puluh hari. Maka awal Ramadan 1430 H, insya Allah jatuh pada Sabtu, 22 Agustus 2009. Demikian pula dengan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melalui Maklumatnya Nomor 06/MLM/I.0/E/2009, mengumumkan penetapan 1 Ramadan 1430 H bertepatan dengan Sabtu Pahing (22/8). Penentuan tersebut, sesuai dengan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Di dalam maklumat tersebut, ijtimak menjelang Ramadan 1430 H terjadi pada Kamis (20/8), pukul 17.02 WIB. Data astronomis yang menjadi dasar penentuan tersebut adalah tinggi hilal pada saat terbenam matahari di Yogyakarta masih -1 derajat atau hilal belum wujud, dan di seluruh wilayah Indonesia, pada saat matahari terbenam hilal berada di bawah ufuk.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Nabi Saw. menyebutkan, Ramadan adalah bulan penuh berkah, penuh ampunan. Ramadan adalah bulan sabar atau bulan melatih kesabaran. Sabar itu tidak ada balasannya, kecuali surga.
Selama Ramadan, kita bukan hanya dilatih untuk bersabar, menahan diri dari lapar, haus, dan dahaga, serta nafsu birahi, sejak subuh hingga maghrib, namun juga dilatih untuk menahan diri dari ucapan dan perbuatan dosa.
Tidak jarang kita menyaksikan orang yang saum hanya dari makan, minum, dan jimak atau senggama, tetapi tidak saum dari perbuatan dosa. Mereka tetap berdusta, menggunjing orang, berkata kasar dan kotor, menghina, memfitnah, menipu, mencuri, korupsi, menzalimi sesama, dan sebagainya. Bahkan, tradisi buruk yang susah diberantas adalah membakar petasan, kembang api, dan sebagainya. Padahal itu jelas-jelas merupakan perbuatan mubazir dan dosa. Nabi Saw. telah mengingatkan dalam sabdanya, "Saum itu bukanlah hanya menahan diri dari makan dan minum , melainkan juga dari perbuatan yang tidak berguna dan perkataan kotor dan tidak senonoh." (H.R. Ibnu Khuzaimah)
Di hadis lain, Nabi Saw. bersabda, "Barangsiapa yang tidak meninggalkan omongan yang kotor (kasar, porno, atau menyakitkan) atau perbuatan dosa, maka bagi Allah tidak ada manfaatnya ia meninggalkan lapar dan dahaga." (H.R. Al-Bukhari)
Sabar juga mengandung pengertian taat kepada aturan dan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Di antara definisi taat menyebutkan, "Taraktu ma ahwa lima ahsya"--meninggalkan keinginan sendiri untuk melaksanakan perintah yang ditakuti yaitu Allah SWT. Taat tidak identik dengan nurut. Jika seseorang lapar lantas diberi makanan kemudian ia memakannya, bukan taat, melainkan nurut.
Taat lebih sering bertentangan dengan keinginan hati. Misalnya, ketika waktu subuh tiba, terdengar azan. Maunya kita terus tidur, tapi kemudian bangun, wudu, dan ke masjid ikut salat berjamaah, maka inilah taat. Seorang pasien dinilai sabar jika ia menaati nasihat dokter. Apa yang disuruh dokter, dikerjakan dan apa yang dilarang dokter, ditinggalkan.
Demikian juga seseorang yang saum dinilai sabar, karena ia telah bisa meninggalkan keinginan dirinya, seperti halnya makan dan minum, serta menahan desakan libido seksual, untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Di siang hari, seseorang yang saum tidak makan dan minum bukan karena tidak ada makanan dan minuman, bukan tidak ada tempat untuk bersembunyi agar tidak diketahui orang, tetapi lebih didasari keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui.
Bukankah jika kita berdusta, mencuri, menipu, iri, dan dengki atau zalim kepada sesama, bukan hanya diri kita sendiri yang tahu, melainkan Allah juga Maha Mengetahui. Bukankah jika dua orang berzina atau menggunjing orang, bukan hanya dia berdua yang tahu, melainkan di samping kiri dan kanannya ada malaikat Raqib dan Atid yang mencatat segala amal kita?
Saum juga melatih diri untuk menjadi manusia yang zuhud, yakni hidup tidak diperbudak dunia. Kecintaan manusia kepada harta benda merupakan karakter dan pembawaan manusia. Islam tidak melarang kita mencintai dunia, namun Islam mengingatkan agar kecintaan kepada dunia, tidak mengakibatkan lupa diri untuk berzikir dan beribadah kepada Allah. Jangan lupa akan batas-batas yang telah digariskan Allah, seperti batas halal dan haram.
Menjelang akhir Ramadan, kita sering menyaksikan banyak orang yang berlomba belanja, dikumpul-kumpul, bahkan cenderung berlebihan dan pamer kekayaan. Sepertinya, ada perasaan tidak sukses Lebaran, jika tidak ganti pakaian, sandal, atau sepatu dan kendaraan. Sepertinya, kuat anggapan di tengah masyarakat kita bahwa saum Ramadan itu, harus ditutup dengan pesta habis-habisan. Bahkan di kalangan orang kurang mampu, terpaksa pinjam. Di manakah hasil dari latihan sabar dan zuhud selama Ramadan?
Kita sambut Ramadan dengan penuh suka cita, layaknya menerima tamu agung. Semoga Ramadan tidak hanya menghasilkan lapar dan dahaga. Wallahu-a`lam.***
AWAL Ramadan 1430 H/2009 tahun ini, insya Allah akan sama, baik NU, Muhammadiyah, Persis, maupun ormas-ormas Islam lainnya, yakni bertepatan dengan Sabtu (22/8). Kecuali, ada aliran atau kelompok kecil, seperti di Sumatra Barat atau Sulawesi Selatan, yang kadang memiliki perhitungan berbeda.
Dari perhitungan Dewan Hisab dan Rukyat PP Persis, ijtimak (konjungsi) akhir bulan Saban jatuh pada Kamis (20/8), pukul 17.02 WIB. Sedangkan ketinggian hilal waktu Magrib di Palabuhanratu, Sukabumi, mencapai -1 derajat, 42 menit, dan dua detik, sedangkan di Jayapura, Papua, ketinggian hilal -3 derajat, 25 menit, dan 53 detik.
Sedangkan almanak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) menyatakan, perkiraan awal bulan Ramadan jatuh pada Sabtu Pahing (22/8). Hal itu berdasarkan hasil hisab atau perhitungan astronomis, posisi hilal (bulan sabit) pada saat matahari terbenam tanggal 29 Saban atau 20 Agustus, masih berada di bawah ufuk -1 derajat. Kalau secara hisab, jika posisi hilal masih di bawah ufuk, hilal tidak akan bisa dirukyat atau dilihat.
Dengan kondisi itu, secara syar`i, awal bulan ditetapkan berdasarkan kaidah istikmal atau penyempurnaan bulan Saban menjadi tiga puluh hari. Maka awal Ramadan 1430 H, insya Allah jatuh pada Sabtu, 22 Agustus 2009. Demikian pula dengan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melalui Maklumatnya Nomor 06/MLM/I.0/E/2009, mengumumkan penetapan 1 Ramadan 1430 H bertepatan dengan Sabtu Pahing (22/8). Penentuan tersebut, sesuai dengan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Di dalam maklumat tersebut, ijtimak menjelang Ramadan 1430 H terjadi pada Kamis (20/8), pukul 17.02 WIB. Data astronomis yang menjadi dasar penentuan tersebut adalah tinggi hilal pada saat terbenam matahari di Yogyakarta masih -1 derajat atau hilal belum wujud, dan di seluruh wilayah Indonesia, pada saat matahari terbenam hilal berada di bawah ufuk.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Nabi Saw. menyebutkan, Ramadan adalah bulan penuh berkah, penuh ampunan. Ramadan adalah bulan sabar atau bulan melatih kesabaran. Sabar itu tidak ada balasannya, kecuali surga.
Selama Ramadan, kita bukan hanya dilatih untuk bersabar, menahan diri dari lapar, haus, dan dahaga, serta nafsu birahi, sejak subuh hingga maghrib, namun juga dilatih untuk menahan diri dari ucapan dan perbuatan dosa.
Tidak jarang kita menyaksikan orang yang saum hanya dari makan, minum, dan jimak atau senggama, tetapi tidak saum dari perbuatan dosa. Mereka tetap berdusta, menggunjing orang, berkata kasar dan kotor, menghina, memfitnah, menipu, mencuri, korupsi, menzalimi sesama, dan sebagainya. Bahkan, tradisi buruk yang susah diberantas adalah membakar petasan, kembang api, dan sebagainya. Padahal itu jelas-jelas merupakan perbuatan mubazir dan dosa. Nabi Saw. telah mengingatkan dalam sabdanya, "Saum itu bukanlah hanya menahan diri dari makan dan minum , melainkan juga dari perbuatan yang tidak berguna dan perkataan kotor dan tidak senonoh." (H.R. Ibnu Khuzaimah)
Di hadis lain, Nabi Saw. bersabda, "Barangsiapa yang tidak meninggalkan omongan yang kotor (kasar, porno, atau menyakitkan) atau perbuatan dosa, maka bagi Allah tidak ada manfaatnya ia meninggalkan lapar dan dahaga." (H.R. Al-Bukhari)
Sabar juga mengandung pengertian taat kepada aturan dan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Di antara definisi taat menyebutkan, "Taraktu ma ahwa lima ahsya"--meninggalkan keinginan sendiri untuk melaksanakan perintah yang ditakuti yaitu Allah SWT. Taat tidak identik dengan nurut. Jika seseorang lapar lantas diberi makanan kemudian ia memakannya, bukan taat, melainkan nurut.
Taat lebih sering bertentangan dengan keinginan hati. Misalnya, ketika waktu subuh tiba, terdengar azan. Maunya kita terus tidur, tapi kemudian bangun, wudu, dan ke masjid ikut salat berjamaah, maka inilah taat. Seorang pasien dinilai sabar jika ia menaati nasihat dokter. Apa yang disuruh dokter, dikerjakan dan apa yang dilarang dokter, ditinggalkan.
Demikian juga seseorang yang saum dinilai sabar, karena ia telah bisa meninggalkan keinginan dirinya, seperti halnya makan dan minum, serta menahan desakan libido seksual, untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Di siang hari, seseorang yang saum tidak makan dan minum bukan karena tidak ada makanan dan minuman, bukan tidak ada tempat untuk bersembunyi agar tidak diketahui orang, tetapi lebih didasari keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui.
Bukankah jika kita berdusta, mencuri, menipu, iri, dan dengki atau zalim kepada sesama, bukan hanya diri kita sendiri yang tahu, melainkan Allah juga Maha Mengetahui. Bukankah jika dua orang berzina atau menggunjing orang, bukan hanya dia berdua yang tahu, melainkan di samping kiri dan kanannya ada malaikat Raqib dan Atid yang mencatat segala amal kita?
Saum juga melatih diri untuk menjadi manusia yang zuhud, yakni hidup tidak diperbudak dunia. Kecintaan manusia kepada harta benda merupakan karakter dan pembawaan manusia. Islam tidak melarang kita mencintai dunia, namun Islam mengingatkan agar kecintaan kepada dunia, tidak mengakibatkan lupa diri untuk berzikir dan beribadah kepada Allah. Jangan lupa akan batas-batas yang telah digariskan Allah, seperti batas halal dan haram.
Menjelang akhir Ramadan, kita sering menyaksikan banyak orang yang berlomba belanja, dikumpul-kumpul, bahkan cenderung berlebihan dan pamer kekayaan. Sepertinya, ada perasaan tidak sukses Lebaran, jika tidak ganti pakaian, sandal, atau sepatu dan kendaraan. Sepertinya, kuat anggapan di tengah masyarakat kita bahwa saum Ramadan itu, harus ditutup dengan pesta habis-habisan. Bahkan di kalangan orang kurang mampu, terpaksa pinjam. Di manakah hasil dari latihan sabar dan zuhud selama Ramadan?
Kita sambut Ramadan dengan penuh suka cita, layaknya menerima tamu agung. Semoga Ramadan tidak hanya menghasilkan lapar dan dahaga. Wallahu-a`lam.***
Saum Ajari Kita Bertawadu
Ibnu Athoillah sempat menganalogikan bahwa amal dan pelakunya ibarat baju dengan pemakainya. Baju yang dipakai sampai kapan pun tidak akan pernah dicuci kalau dianggap masih bersih. Demikian pula manusia, jika menganggap dirinya bersih, mungkin tidak akan bertobat.
Merasa atau rasa rumasa kata orang Sunda, roso rumongso kata orang Jawa, adalah pengakuan yang tulus bahwa dirinya tidak steril dari dosa, banyak kesalahan, dan tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Sementara itu, tahu diri merupakan kesadaran diri terhadap martabat dan posisinya. Kedua sikap ini, merasa dan tahu diri, merupakan gerbang kesadaran memasuki pintu tobat.
Dalam perspektif sufi, tobat sebagai persinggahan awal menuju persinggahan kedua, ketiga, dan seterusnya yang harus dilalui, seperti zuhud, faqr, sabar, syukur, rida, dan tawakal, hingga mencapai rida dan rahmat Allah SWT.
Dalam terminologi akhlak, merasa dan tahu diri disebut tawadu, yaitu rendah hati. Menurut Dr. Zamakhsyari Dhofier, dalam bukunya Tradisi Pesantren, tawadu punya arti lebih luas. Bukan sekadar rendah hati, tetapi adanya pengakuan hati yang tulus terhadap kelebihan orang lain. Dirinya sendiri diposisikan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa; banyak dosa, tidak bersih, serta miskin ilmu dan pengalaman. Yang tinggi ilmunya, baik akhlaknya, saleh, dan jujur, bukan saya atau kami, tetapi dia dan mereka.
Alquran surat al-Kahfi: 110 menuturkan bahwa Rasul saw. yang mulia, menyejajarkan dirinya dengan kita, "…Sesungguhnya, aku ini hanya seorang manusia seperti kamu…." Dari sisi kemanusiaannya, Rasul saw. memang sama dengan manusia pada umumnya, butuh makan, minum, tidur, beristri, beranak; bisa tertawa juga bisa menangis. Walaupun demikian, posisi, martabat, dan tugasnya sebagai Nabi dan Rasul Allah, pasti sangat berbeda jauh dengan kita.
Kalimat, "Aku hanya manusia seperti kamu," pada dasarnya sebagai bukti betapa tingginya akhlak Rasul. Di saat itu, beliau sedang memperlihatkan keteladanannya kepada kita, akan kemuliaan akhlaknya sebagai orang yang rendah hati sebab pada penggalan ayat berikutnya, ada kalimat yang membedakan posisinya dengan kita, "...yang telah menerima wahyu…." Siapa yang menerima wahyu kalau bukan orang-orang suci dan pilihan Allah? Ke-geer-an (baca: tak tahu diri) kalau menyamakan Rasul dengan kita dalam segala hal. Bukankah para filsuf pun mengatakan bahwa "semakin banyak tahu, makin tidak tahu!"
Begitulah tradisi orang-orang berilmu, tidak menampakkan kedalaman ilmunya ketika berkata dirinya tidak tahu apa-apa. Dia tidak bodoh, tetapi menyelimuti kepintarannya. Orang berilmu itu, katanya, seperti padi, semakin berisi semakin merunduk.
Banyak ayat Alquran atau hadis yang melarang kita ujub pada diri sendiri. "Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu." (Q.S. Asy-Syu’aro: 215).
Dalam Quran Surat An-Najm: 32, lebih jelas, Allah melarang kita mengaku bersih. "…Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang-orang yang bertakwa."
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya, Allah telah mewahyukan kepada saya: bertawadulah hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya." (H.R. Muslim)
Kata Rasul saw., orang tawadu itu akan dimuliakan Allah. Sebaliknya, orang yang menganggap diri baik, akan dihinakan. "Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada orang yang tawadu karena Allah melainkan dimuliakan oleh-Nya." (H.R. Muslim).
"Layak sekali bagi Allah, tiada sesuatu di dunia ini yang akan menyombongkan diri melainkan direndahkan oleh-Nya." (H.R. Bukhori)
Kini, kita berada di bulan agung, bulan suci Ramadan. Umat Islam melaksanakan saum. Saum populer disebut puasa, bahasa Indonesianya berarti menahan diri. Menahan diri tidak makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa dalam pengertian seperti ini, menurut Imam Ghozali disebut puasa awam, puasa pada umumnya. Buat kita, puasa bukan hanya urusan makan dan minum. Pemaknaannya harus bergeser ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu memuasakan seluruh raga kita dari dosa dan maksiat. Setelah lulus dari tahap ini, melangkah ke tangga berikutnya, memuasakan rohaniah dari "amrodlul qulub", penyakit hati, seperti iri, dengki, suudzon, ujub, sombong, takabur, menganggap diri lebih baik, lebih suci, bersih, dan orang lain lebih buruk.
Dalam Alquran surat Ali-Imron ayat 12, Allah menegaskan bahwa seluruh manusia akan dihinakan-Nya, kecuali orang yang berhubungan baik dengan Allah dan manusia. Orang yang taat ibadah dan memelihara silaturahmi, tidak termasuk orang yang akan dihinakan-Nya. Maka, kalau ada pertanyaan apakah ibadah-ibadah kita, termasuk puasa, diterima Allah atau tidak? Jawabannya, bergantung kepada apakah ada perubahan dan peningkatan ke arah yang positif kepada Allah dan manusia atau tidak? Jadi, ukuran keberhasilan ibadah kita bukan pada fisik material, tetapi apakah hubungan kita dengan Allah dan manusia lebih baik atau lebih buruk?
Hubungan baik dengan Allah, hablum minallah (ibadah) modalnya, iman, ikhlas, amal yang sesuai dengan syariat dan tadlarru (menghinakan diri dihadapan-Nya). Hubungan baik dengan sesama manusia, hablum minannas (muamalah/silaturahmi), modalnya kesejajaran, kecuali dibedakan dengan iman dan takwa (Q.S. Al-Hujurat: 13); saling menghormati dan tawadu (rendah hati). Tadarru dan tawadu merupakan akhlak mulia sebagai buah dari amal ibadah kita, termasuk puasa. Wallahualam!***
Ibnu Athoillah sempat menganalogikan bahwa amal dan pelakunya ibarat baju dengan pemakainya. Baju yang dipakai sampai kapan pun tidak akan pernah dicuci kalau dianggap masih bersih. Demikian pula manusia, jika menganggap dirinya bersih, mungkin tidak akan bertobat.
Merasa atau rasa rumasa kata orang Sunda, roso rumongso kata orang Jawa, adalah pengakuan yang tulus bahwa dirinya tidak steril dari dosa, banyak kesalahan, dan tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Sementara itu, tahu diri merupakan kesadaran diri terhadap martabat dan posisinya. Kedua sikap ini, merasa dan tahu diri, merupakan gerbang kesadaran memasuki pintu tobat.
Dalam perspektif sufi, tobat sebagai persinggahan awal menuju persinggahan kedua, ketiga, dan seterusnya yang harus dilalui, seperti zuhud, faqr, sabar, syukur, rida, dan tawakal, hingga mencapai rida dan rahmat Allah SWT.
Dalam terminologi akhlak, merasa dan tahu diri disebut tawadu, yaitu rendah hati. Menurut Dr. Zamakhsyari Dhofier, dalam bukunya Tradisi Pesantren, tawadu punya arti lebih luas. Bukan sekadar rendah hati, tetapi adanya pengakuan hati yang tulus terhadap kelebihan orang lain. Dirinya sendiri diposisikan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa; banyak dosa, tidak bersih, serta miskin ilmu dan pengalaman. Yang tinggi ilmunya, baik akhlaknya, saleh, dan jujur, bukan saya atau kami, tetapi dia dan mereka.
Alquran surat al-Kahfi: 110 menuturkan bahwa Rasul saw. yang mulia, menyejajarkan dirinya dengan kita, "…Sesungguhnya, aku ini hanya seorang manusia seperti kamu…." Dari sisi kemanusiaannya, Rasul saw. memang sama dengan manusia pada umumnya, butuh makan, minum, tidur, beristri, beranak; bisa tertawa juga bisa menangis. Walaupun demikian, posisi, martabat, dan tugasnya sebagai Nabi dan Rasul Allah, pasti sangat berbeda jauh dengan kita.
Kalimat, "Aku hanya manusia seperti kamu," pada dasarnya sebagai bukti betapa tingginya akhlak Rasul. Di saat itu, beliau sedang memperlihatkan keteladanannya kepada kita, akan kemuliaan akhlaknya sebagai orang yang rendah hati sebab pada penggalan ayat berikutnya, ada kalimat yang membedakan posisinya dengan kita, "...yang telah menerima wahyu…." Siapa yang menerima wahyu kalau bukan orang-orang suci dan pilihan Allah? Ke-geer-an (baca: tak tahu diri) kalau menyamakan Rasul dengan kita dalam segala hal. Bukankah para filsuf pun mengatakan bahwa "semakin banyak tahu, makin tidak tahu!"
Begitulah tradisi orang-orang berilmu, tidak menampakkan kedalaman ilmunya ketika berkata dirinya tidak tahu apa-apa. Dia tidak bodoh, tetapi menyelimuti kepintarannya. Orang berilmu itu, katanya, seperti padi, semakin berisi semakin merunduk.
Banyak ayat Alquran atau hadis yang melarang kita ujub pada diri sendiri. "Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu." (Q.S. Asy-Syu’aro: 215).
Dalam Quran Surat An-Najm: 32, lebih jelas, Allah melarang kita mengaku bersih. "…Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang-orang yang bertakwa."
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya, Allah telah mewahyukan kepada saya: bertawadulah hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya." (H.R. Muslim)
Kata Rasul saw., orang tawadu itu akan dimuliakan Allah. Sebaliknya, orang yang menganggap diri baik, akan dihinakan. "Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada orang yang tawadu karena Allah melainkan dimuliakan oleh-Nya." (H.R. Muslim).
"Layak sekali bagi Allah, tiada sesuatu di dunia ini yang akan menyombongkan diri melainkan direndahkan oleh-Nya." (H.R. Bukhori)
Kini, kita berada di bulan agung, bulan suci Ramadan. Umat Islam melaksanakan saum. Saum populer disebut puasa, bahasa Indonesianya berarti menahan diri. Menahan diri tidak makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa dalam pengertian seperti ini, menurut Imam Ghozali disebut puasa awam, puasa pada umumnya. Buat kita, puasa bukan hanya urusan makan dan minum. Pemaknaannya harus bergeser ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu memuasakan seluruh raga kita dari dosa dan maksiat. Setelah lulus dari tahap ini, melangkah ke tangga berikutnya, memuasakan rohaniah dari "amrodlul qulub", penyakit hati, seperti iri, dengki, suudzon, ujub, sombong, takabur, menganggap diri lebih baik, lebih suci, bersih, dan orang lain lebih buruk.
Dalam Alquran surat Ali-Imron ayat 12, Allah menegaskan bahwa seluruh manusia akan dihinakan-Nya, kecuali orang yang berhubungan baik dengan Allah dan manusia. Orang yang taat ibadah dan memelihara silaturahmi, tidak termasuk orang yang akan dihinakan-Nya. Maka, kalau ada pertanyaan apakah ibadah-ibadah kita, termasuk puasa, diterima Allah atau tidak? Jawabannya, bergantung kepada apakah ada perubahan dan peningkatan ke arah yang positif kepada Allah dan manusia atau tidak? Jadi, ukuran keberhasilan ibadah kita bukan pada fisik material, tetapi apakah hubungan kita dengan Allah dan manusia lebih baik atau lebih buruk?
Hubungan baik dengan Allah, hablum minallah (ibadah) modalnya, iman, ikhlas, amal yang sesuai dengan syariat dan tadlarru (menghinakan diri dihadapan-Nya). Hubungan baik dengan sesama manusia, hablum minannas (muamalah/silaturahmi), modalnya kesejajaran, kecuali dibedakan dengan iman dan takwa (Q.S. Al-Hujurat: 13); saling menghormati dan tawadu (rendah hati). Tadarru dan tawadu merupakan akhlak mulia sebagai buah dari amal ibadah kita, termasuk puasa. Wallahualam!***
Langganan:
Postingan (Atom)