Membohongkan Nikmat Allah

UNTUK membahagiakan dan menyejahterakan kehidupan manusia di muka bumi, Allah SWT menurunkan rahmat dan nikmat tidak terkira. Baik yang berifat material, seperti mineral, air, flora, fauna, dan sebagainya, maupun yang bersifat imaterial, seperti kesehatan, kesegaran, harapan, cita-cita, dan banyak lagi yang menyatu dengan tubuh, lingkungan sosial, lingkungan alam, dan sebagainya.

Semua itu tidak akan dapat dihitung satu per satu. Bahkan, Allah SWT menantang manusia untuk menghitung segala nikmat anugerah-Nya, namun tidak akan mampu menghitungnya (Q.S.Ibrahim : 34). Sementara itu, di dalam Q.S. ar Rahman terdapat 30 kali pertanyaan, tentang nikmat karunia Allah SWT, apalagi yang manusia dustakan. Dan dalam Q.S. al Infithar : 6-8, Allah SWT mempertanyakan kepada manusia, apa yang telah memperdayakan mereka sehingga berbuat durhaka terhadap Allah Yang Maha Pemurah? Yang telah menciptakan manusia, menyempurnakan, dan menyusun bentuk serta fungsi tubuh yang seimbang.

Memang hanya sedikit manusia yang bersyukur (Q.S.al Muluk : 23). Selebihnya menolak dan membohongkan nikmat-nikmat tersebut, dengan berbagai sikap dan tindakan yang ingkar dari ketakwaan kepada Allah SWT. Tidak melaksanakan segala perintah-Nya, sekaligus melanggar segala larangan-Nya.

Padahal, bagi individu-individu takwa (muttaqien), Allah SWT menyediakan jaminan kemudahan, membuka jalan ke luar dari berbagai kesulitan, memberi rezeki tanpa hitungan, serta mencukupi segala kebutuhannya (Q.S.ath Thalaq : 2-3). Apabila para muttaqien tersebut membentuk komunitas bangsa, jaminan itu diperluas dengan dibukakannya pintu berkah dari langit dan bumi (Q.S. al A`raaf : 96). Dari langit tercurah hujan yang menyuburkan tanah, tanaman, dan ternak yang bermanfaat bagi manusia. Dari bumi muncul tumbuh-tumbuhan, minyak, serta zat-zat berharga lainnya yang juga memakmurkan sosial-ekonomi bangsa dan negara.

Akan tetapi, mengapa sekarang, dari langit turun hujan pembawa banjir, longsor, penyakit, serta bencana lain? Dari bumi muncul gempa, lahar, lumpur panas, dan aneka macam sumber derita? Karena pada ayat itu juga, dinyatakan, manusia mendustakan nikmat Allah SWT sehingga kepada mereka dikenakan siksa sesuai dengan perbuatannya itu.

Secara garis besar, perbuatan manusia yang melanggar larangan Allah SWT, mengandung kebohongan atas nikmat karunia-Nya dapat dirangkum dalam beberapa jenis yang kini sudah dianggap rutin dan biasa. Antara lain:

1. Pembunuhan. Menghilangkan nyawa orang lain, nyaris sudah tidak dianggap dosa besar. Mungkin karena hukuman di dunia terlalu ringan. Serta tidak mengetahui hukuman di akhirat kelak. Allah SWT melarang keras seseorang melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Pelaku pembunuhan diancam hukuman masuk neraka jahanam. Kekal di dalamnya, ditambah kemurkaan dan kutukan-Nya, serta tambahan azab yang besar (Q.S.an Nisa : 93).

2. Meninggalkan salat. Perbedaan antara hamba beriman dan yang musyrik (menyekutukan Allah) adalah meninggalkan salat (Hadis sahih riwayat Muslim). Generasi yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsu akan menemui kesesatan (Q.S. Maryam : 59).

3. Zina. Allah SWT melarang mendekati zina karena merupakan perbuatan keji dan jalan terburuk (Q.S.Isra : 32). Dampak dari perzinaan sangat banyak. Selain menimbulkan penyakit menular di antara para pelaku dan orang lain yang tidak berdosa, seperti HIV-AIDS, zina juga merusak tatanan genetika dan tatanan hidup manusia beradab.

4. Berbuat zalim. Pribadi-pribadi yang berbuat zalim kepada sesama makhluk --manusia, hewan, tumbuhan, alam sekitar-- akan mendapat azab yang amat pedih (Q.S.asy Syura : 42). Apabila pribadi-pribadi zalim itu menjadi komunitas bangsa dan negara, akan menjadi sumber kehancuran bangsa dan negara tersebut. Allah SWT akan menghancurkan suatu negara jika penduduknya berlaku zalim. Zalim terhadap diri masing-masing, kepada sesama makhluk, dan kepada Allah SWT.

5. Korupsi. Siapa pun yang korup, berkhianat terhadap hak milik umat, pada hari Kiamat akan datang dengan membawa segala apa yang ia korupsi (Q.S.Ali Imran : 16). Nabi Muhammad saw, menyatakan, Allah SWT tidak menerima salat seseorang tanpa wudu, dan bukanlah sedekah jika hartanya (yang disedekahkan) dari hasil korupsi (hadis sahih riwayat Imam Muslim). Hadis lain meriwayatkan, Nabi saw menolak menyalatkan mayat seorang korban Perang Khaibar karena telah melakukan korupsi. Ketika diperiksa, ternyata ia menyembunyikan batu marjan senilai dua dirham (riwayat Abu Daud).

6. Kesaksian palsu. Pada masa kini, kesaksian palsu berikut segala bentuk turunannya (sumpah palsu, rekayasa perkara, pembentukan opini publik untuk tujuan tertentu, dan sebagainya) sudah sangat lumrah terjadi di mana-mana, di segala tempat, waktu, dan tingkatan. Padahal kesaksian palsu setara dengan menyekutukan Allah SWT (hadis riwayat Turmudzi). Allah SWT melarang mendekati berhala-berhala yang najis, dan perkataan dusta (Q.S. al Hajj : 30). Orang yang berlebih-lebihan (dalam berkata) dan pembual, tidak akan mendapat petunjuk (Q.S. al Mu`min : 28)

7. Bunuh diri. Berbagai konflik dan tekanan yang menimpa seseorang, membuat nekat menghabisi nyawa sendiri. Bunuh diri. Seolah-olah bunuh diri menjadi jalan keluar terbaik untuk mengatasi problema kehidupan. Padahal setelah kematiannya, ia akan menghadapi masalah lain yang lebih berat. Masuk neraka (Q.S.an Nisa : 29-31). Menurut sebuah hadis, yang bunuh diri dengan sesuatu, pada Hari Kiamat, Allah SWT akan mengazabnya dengan alat yang ia gunakan untuk bunuh diri (sahih Bukhari dan Muslim).

8.Mengurangi ukuran. Ancaman neraka Wail ditimpakan kepada orang-orang yang curang dalam berdagang, dengan memalsu ukuran. Memperbesar ketika membeli, dan memperkecil ketika menjual. Seolah-olah merasa aman-aman saja dari pertanggungjawaban di akhirat kelak (Q.S. al Muthaffifin : 1-6). Umat Nabi Syu`aib di Madyan dan Aikah mengalami kehancuran karena kebiasaan mereka mempermainkan ukuran.

Banyak di antara kaum Muslim melakukan perbuatan-perbuatan di atas, pertama-tama karena kurang pengetahuan terhadap ajaran dan hukum Islam sehingga menganggap segala perbuatan hanya akan selesai selama hidup di dunia, tanpa perhitungan di akhirat. Untuk mengatasinya, perlu pembelajaran terus-menerus, di samping memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.***