Melaksanakan Amanat

Amanat menurut tata bahasa berarti al-wafa (memenuhi) dan wadi’ah (titipan). Namun, hakikat dari makna amanat menurut syariat agama adalah segala hukum yang ditetapkan Allah (yang telah disampaikan oleh para Nabi dan Rasul). Memegang atau memikul amanat berarti menaati segala hukum yang telah dibuat Allah dan lenyapnya amanat berarti tidak ditaatinya hukum Allah (baik satu, sebagian, atau semuanya) oleh pemegang amanat.

Ada tiga amanat yang utama dari Allah SWT kepada manusia, yaitu ilmu, harta, dan kekuasaan.

1. Amanat ilmu. Orang yang mempunyai ilmu memiliki tanggung jawab berkaitan dengan ilmunya. Ilmu merupakan amanat dari Allah SWT yang harus disebarkan dan diajarkan kepada orang yang membutuhkannya. Orang yang belum mempunyai ilmu memiliki kewajiban untuk mencarinya. Wajib untuk dimiliki oleh semua orang, sebab tanpa ilmu, mudah dibodohi oleh orang zalim yang mempunyai keinginan menjajah dan memeras kepada orang bodoh.

Selayaknya orang yang pintar, dengan kepintarannya jangan digunakan untuk membodohi orang lain. Namun sebaliknya, untuk digunakan membimbing, mengarahkan, memimpin agar hidupnya selamat. Fungsi ilmu bukan untuk mengkhianati, memfitnah, menzalimi sesama manusia, tetapi merupakan cahaya yang harus dipakai untuk menerangi diri sendiri dan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apabila ilmu digunakan tidak semestinya, pasti bakal jadi senjata makan tuan, akan celaka oleh imunya sendiri. Padahal, seharusnya ilmu gunanya untuk kesalamatan diri dan masyarakat luas.

2. Amanat harta. Harta merupakan satu amanat dari Allah dan merupakan satu alat yang ampuh untuk menciptakan kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan semua orang. Perbedaan si kaya dan si miskin jangan terlalu jauh. Harta yang hanya berkumpul di tempat orang kaya akan mengakibatkan keadaan yang tidak aman. Orang yang membutuhkannya sewaktu-waktu akan mengambilnya dengan berbagai cara, bahkan dengan cara tidak halal sekalipun, baik dengan jalan merampas, merampok, mencuri, mencopet, menipu, memalsukan data, maupun menodong. Inilah sebagai salah satu pangkal ketidakamanan.

Mendapatkan harta dengan cara yang halal, demikian juga mengeluarkannya. Kalau tidak demikian, akan menyebabkan masalah yang rumit dan sulit untuk dipecahkan. Akibat mendapatkan harta dengan jalan tidak halal, secara tidak langsung akan menyebabkan keresahan dan kerusakan masyarakat. Kaum Muslimin diibaratkan kal jasadil wahid’, seperti satu anggota tubuh, akan terasa oleh semua orang.

3. Amanat kekuasaan. Kekuasaan merupakan amanat dari Allah SWT yang diberikan kepada manusia. Seseorang, lembaga, badan, apa pun itu namanya yang sedang berkuasa, selayaknya melindungi dan mengayomi rakyatnya. Undang-undang dibuat untuk menyejahterakan rakyatnya, bukan sebaliknya merugikan dan menyengsarakan rakyat. Hal itu dilakukan hanya demi keuntungan pribadi, kelompok, atau golongannya. Rakyat kembali yang diperas. Harus ingat bahwa ada siang, pasti ada malam, ada gembira juga ada duka, ada senang ada susah. Kalau sekarang sedang senang karena sedang berkuasa, tetapi besok atau lusa, siapa tahu dicabut kekuasannya oleh Yang Mahakuasa, yaitu oleh Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah Annisa ayat 58 yang artinya, ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Ayat ini diwahyukan ketika penaklukan Kota Mekah. Pada waktu itu, Nabi Muhammad saw. meminta Utsman bin Thalhah sebagai pemegang kunci Kabah untuk menyerahkan kunci-kunci itu kepadanya. Utsman pun menyerahkan kunci-kunci itu dengan sambil berkata, ”Ini amanat untukmu.” Kemudian Rasulullah saw. membuka pintu Kabah dan mengeluarkan semua berhala yang ada di dalam rumah Allah SWT itu. Pada waktu itu, Abbas r.a. (paman Rasulullah) dan Ali r.a. meminta agar kunci-kunci itu disimpan oleh keluarga Rasulullah. Namun, Nabi tidak memberikannya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Umar r.a., Rasulullah saw. keluar dari Baitullah membacakan ayat 58 Surah An-Nisaa. Beliau mengembalikan kunci-kunci itu kepada Utsman bin Thalhah. Hal ini mengejutkan Utsman, mengingat Rasulullah saw. sebagai penakluk bisa tetap menyimpan kunci itu selamanya. Utsman menjadi begitu tergerak hatinya oleh perilaku Nabi Muhammad saw. dan serta merta memeluk Islam.

Dari ayat tersebut juga, amanat dan adil begitu berdekatan. Karena orang yang tidak amanah berarti telah berbuat zalim. Demikian pula orang yang tidak berlaku adil, berarti telah berbuat zalim. Sedangkan orang-orang yang zalim tidak akan mendapatkan pertolongan dari siapa pun ketika mendapatkan azab. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surat Ali Imran yang artinya, ”Ya Tuhan kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun.” (Ali Imran:192)

Orang yang menzalimi orang lain tidak akan tenteram hidupnya. Sebaliknya, orang yang dizalimi jeritannya akan didengar dan doanya akan diijabah oleh Allah SWT. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya, ”Tiga golongan yang tidak akan ditolak doanya. Satu, orang yang sedang berpuasa hingga buka puasanya. Kedua, pemimpin yang adil. Ketiga, orang yang dizalimi, doanya akan diangkat oleh Allah di atas mega dan akan dibukakan pintu-pintu langit. Allah berfirman, ”Demi keagungan-Ku, pasti Aku akan menolong kepadamu walaupun agak lama (di awal atau akhir).”

Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk melaksanakan tugas berupa amanat dari-Nya. Amin.***