Warga Padang Meregang, Wakil Rakyat Habiskan Uang Rakyat
Gempa di negeri kita seolah tak mau berhenti datang menimpa. Setelah gempa di Jawa Barat bagian selatan, kini gempa menimpa bumi Minang, Padang, Sumatra Barat. Menurut data yang tersiar, untuk sementara, korban tewas kurang lebih ada 547 orang. Belum lagi orang yang masih tertimbun di bawah reruntuhan bangunan yang roboh. Sungguh, musibah yang sangat memilukan.
Kita sebagai manusia yang sangat lemah dan tidak punya kekuatan apa-apa hanya bisa menyaksikan dengan hati yang menyayat. Betapa Tuhan menunjukkan kekuasaanya dengan sedikit "keras" pada kita. Dengan musibah ini, kita bisa mengambil hikmahnya dan merenung kembali, apa saja yang sudah kita lakukan pada alam ini. Mungkinkah kita terlalu serakah? Mungkinkah kita terlalu egois dan tidak memedulikan nasib orang lain? Itu semua hanya bisa dijawab oleh pribadi masing-masing.
Yang sangat ironis bagi kita adalah, di tengah gempa yang menimpa Padang Sumatra Barat, di Jakarta malah ada "pesta" para anggota dewan "terhormat". Dilantik dengan kemewahan yang luar biasa. Konon katanya, pelantikan anggota dewan terhormat tersebut menghabiskan uang rakyat miliaran rupiah. Sungguh tidak adil, di saat orang-orang di Padang meregang nyawa, para anggota dewan asyik dengan kemewahan yang didapat. Miliaran rupiah hanya untuk acara seremonial belaka, hanya hitungan jam.
Ini menunjukkan bahwa elite di negeri ini masih mengidap pola hidup hedonisme. Belum apa-apa sudah menghabiskan uang rakyat. Coba bayangkan saja kalau uang sebesar itu dialokasikan buat rakyat miskin atau buat pendidikan, pasti akan lebih bermanfaat ketimbang untuk pelantikan anggota dewan yang "terhormat" yang hanya bisa duduk dan sebagian lagi tidak peduli pada rakyat kecil. Bagaimana rakyat akan sejahtera kalau wakil rakyatnya saja sudah bergaya glamor seperti itu.
Kita harus bisa mengkritisi tingkah wakil rakyat kita agar kerjanya tidak melulu menghabiskan uang rakyat. Hemat saya, terlalu sia-sia kalau hanya seremonial yang hanya berdurasi hitungan jam menghabiskan uang rakyat miliaran rupiah. Katanya kita itu negara berkembang, tetapi gayanya sudah seperti itu.
Mungkinkah gaya hedonisme para anggota dewan ini ada kaitanya dengan musibah yang menimpa saudara-saudara kita yang ada di Padang Sumatra Barat? Wallahualam, hanya Tuhan yang tahu. Tetapi yang pasti, segala apa yang terjadi di negeri ini pasti dari akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, baik moral maupun akhlak.
Atas nama kemanusian, kita turut berdukacita atas musibah ini. Kita juga harus membantu mereka yang terkena musibah ini, baik materi maupun lainnya. Semoga mereka yang terkena musibah diberikan kekuatan dan kesabaran menghadapinya.***
Potret Kinerja DPR
Kinerja DPR periode 2004-2009, khususnya dalam bidang legislasi, sangat buruk dan mengecewakan. Dibatalkannya sejumlah pasal dalam UU Pemilu dan beberapa UU lain oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sepanjang 2009, mengindikasikan ada yang tak beres dalam proses pembuatan UU yang dilakukan DPR selama ini.Tidak sedikit UU yang dihasilkan tumpang tindih dengan UU lainnya. Semua merupakan bukti nyata ketidakcermatan anggota legislatif dalam meramu produk UU ke dalam sistem yang komprehensif dan juga cermin dari buruknya kualitas legislasi DPR.
Bila ditinjau dari segi kuantitas, UU yang dihasilkan DPR periode 2004-2009 masih jauh di bawah target Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dari 284 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang harus disahkan, hingga akhir masa baktinya DPR hanya menyelesaikan 175 UU. DPR juga kurang jeli menetapkan UU apa yang harus diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Mencermati realitas tersebut, sebagai pihak yang memberi mandat, rakyat pantas kecewa. Realitas ini memberikan pelajaran amat berharga kepada kita. Ternyata, menguatnya peran dan fungsi legislasi DPR tidak mampu mengubah kinerja DPR menjadi lembaga pembuat UU yang baik.
Pascaperubahan UUD 1945 terjadi perubahan mendasar terhadap fungsi legislasi DPR. Jika sebelum perubahan UUD 1945, berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, DPR hanya mempunyai fungsi legislasi semu dalam proses pembentukan UU (pseudo wetgever). Setelah perubahan pertama UUD 1945, rumusan yang terdapat dalam Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) mengalami perubahan yang signifikan, sehingga berimplikasi menempatkan DPR sebagai lembaga utama pemegang kekuasaan pembuatan UU (primaire wetgever). Dominasi DPR dalam proses legislasi diperkuat dengan hadirnya Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945.
Jika dicermati, setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab buruknya kinerja DPR di bidang legislasi. Pertama, lemahnya kesadaran konstitusionalisme dari DPR sehingga dalam proses pembuatan UU, DPR tidak memperhatikan secara cermat kaidah-kaidah hukum dalam batang tubuh UUD 1945. Semestinya, DPR dalam menyusun suatu UU wajib memperhatikan dengan cermat UUD 1945.
Kedua, semrawutnya Prolegnas disebabkan ketidakjelasan politik hukum nasional yang ada. Sehingga akhir kepentingan politik yang diusung berbagai pihak lebih mendominasi dalam proses pembuatan UU.
Ketiga, dalam melaksanakan proses pembuatan UU, DPR tidak didahului dengan melakukan penelitian dan pengkajian akademis secara mendalam. Hal itu, berimplikasi pada banyak produk legislasi yang dihasilkan cepat usang karena tidak mampu mengikuti dinamika perkembangan zaman.
Ada sejumlah strategi untuk memperbaiki fungsi legislasi DPR. Pertama, mengkaji dan menata ulang Prolegnas. Sebab, Prolegnas 2004--2009 dapat dikatakan tidak berorientasi pada menghasilkan UU yang berkualitas melainkan pada kuantitas. Ini tercermin dalam Prolegnas 2004--2009 yang menargetkan 284 UU. Berarti setiap tahunnya DPR mesti menyelesaikan empat UU per bulannya. Tentu pekerjaan ini sangat berat bagi DPR dan mustahil DPR dapat menghasilkan UU yang berkualitas.
Kedua, hendaknya DPR sebelum melaksanakan proses pembuatan suatu RUU terlebih dahulu menyusun naskah akademik. Menurut Ann dan Robert Siedman (2001) penyusunan naskah akademik (the concept paper) merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pembentukan undang-undang (law making process). Naskah akademik diperlukan untuk menjelaskan secara lebih terbuka kepada seluruh stakeholder tentang signifikasi kehadiran sebuah RUU.
Ketiga, DPR harus lebih memaksimalkan peran serta masyarakat. Bukankah dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan adanya kewajiban melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan UU. Selain itu, dalam Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR Pasal 139-141 menyebutkan, masyarakat dapat memberikan masukan baik lisan maupun tertulis kepada DPR dalam rangka penyiapan dan pembahasan suatu RUU.
Keempat, perlu bagi DPR untuk melibatkan pakar hukum sebagai tim pengkaji (constitutional panel review) dalam setiap pembahasan RUU. Dengan begitu, DPR diharapkan dapat membuat legitimasi produk UU semakin kuat dan dapat mengurangi ketidakcocokan dengan UUD 1945. Kiranya DPR dapat menggandeng pihak-pihak yang kompeten sesuai dengan spesifikasi UU yang akan dibuat.
Terakhir, kita berharap agar DPR dapat secepatnya memperbaiki kualitas kerjanya dalam bidang legislasi. Karena kita tidak ingin UU yang dibuat DPR terus menuai gugatan, bahkan menjadi mainan karena tidak menjaga hak-hak konstitusional rakyat yang dilindungi dalam UUD 1945.***
Kinerja DPR periode 2004-2009, khususnya dalam bidang legislasi, sangat buruk dan mengecewakan. Dibatalkannya sejumlah pasal dalam UU Pemilu dan beberapa UU lain oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sepanjang 2009, mengindikasikan ada yang tak beres dalam proses pembuatan UU yang dilakukan DPR selama ini.Tidak sedikit UU yang dihasilkan tumpang tindih dengan UU lainnya. Semua merupakan bukti nyata ketidakcermatan anggota legislatif dalam meramu produk UU ke dalam sistem yang komprehensif dan juga cermin dari buruknya kualitas legislasi DPR.
Bila ditinjau dari segi kuantitas, UU yang dihasilkan DPR periode 2004-2009 masih jauh di bawah target Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dari 284 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang harus disahkan, hingga akhir masa baktinya DPR hanya menyelesaikan 175 UU. DPR juga kurang jeli menetapkan UU apa yang harus diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Mencermati realitas tersebut, sebagai pihak yang memberi mandat, rakyat pantas kecewa. Realitas ini memberikan pelajaran amat berharga kepada kita. Ternyata, menguatnya peran dan fungsi legislasi DPR tidak mampu mengubah kinerja DPR menjadi lembaga pembuat UU yang baik.
Pascaperubahan UUD 1945 terjadi perubahan mendasar terhadap fungsi legislasi DPR. Jika sebelum perubahan UUD 1945, berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, DPR hanya mempunyai fungsi legislasi semu dalam proses pembentukan UU (pseudo wetgever). Setelah perubahan pertama UUD 1945, rumusan yang terdapat dalam Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) mengalami perubahan yang signifikan, sehingga berimplikasi menempatkan DPR sebagai lembaga utama pemegang kekuasaan pembuatan UU (primaire wetgever). Dominasi DPR dalam proses legislasi diperkuat dengan hadirnya Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945.
Jika dicermati, setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab buruknya kinerja DPR di bidang legislasi. Pertama, lemahnya kesadaran konstitusionalisme dari DPR sehingga dalam proses pembuatan UU, DPR tidak memperhatikan secara cermat kaidah-kaidah hukum dalam batang tubuh UUD 1945. Semestinya, DPR dalam menyusun suatu UU wajib memperhatikan dengan cermat UUD 1945.
Kedua, semrawutnya Prolegnas disebabkan ketidakjelasan politik hukum nasional yang ada. Sehingga akhir kepentingan politik yang diusung berbagai pihak lebih mendominasi dalam proses pembuatan UU.
Ketiga, dalam melaksanakan proses pembuatan UU, DPR tidak didahului dengan melakukan penelitian dan pengkajian akademis secara mendalam. Hal itu, berimplikasi pada banyak produk legislasi yang dihasilkan cepat usang karena tidak mampu mengikuti dinamika perkembangan zaman.
Ada sejumlah strategi untuk memperbaiki fungsi legislasi DPR. Pertama, mengkaji dan menata ulang Prolegnas. Sebab, Prolegnas 2004--2009 dapat dikatakan tidak berorientasi pada menghasilkan UU yang berkualitas melainkan pada kuantitas. Ini tercermin dalam Prolegnas 2004--2009 yang menargetkan 284 UU. Berarti setiap tahunnya DPR mesti menyelesaikan empat UU per bulannya. Tentu pekerjaan ini sangat berat bagi DPR dan mustahil DPR dapat menghasilkan UU yang berkualitas.
Kedua, hendaknya DPR sebelum melaksanakan proses pembuatan suatu RUU terlebih dahulu menyusun naskah akademik. Menurut Ann dan Robert Siedman (2001) penyusunan naskah akademik (the concept paper) merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pembentukan undang-undang (law making process). Naskah akademik diperlukan untuk menjelaskan secara lebih terbuka kepada seluruh stakeholder tentang signifikasi kehadiran sebuah RUU.
Ketiga, DPR harus lebih memaksimalkan peran serta masyarakat. Bukankah dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan adanya kewajiban melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan UU. Selain itu, dalam Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR Pasal 139-141 menyebutkan, masyarakat dapat memberikan masukan baik lisan maupun tertulis kepada DPR dalam rangka penyiapan dan pembahasan suatu RUU.
Keempat, perlu bagi DPR untuk melibatkan pakar hukum sebagai tim pengkaji (constitutional panel review) dalam setiap pembahasan RUU. Dengan begitu, DPR diharapkan dapat membuat legitimasi produk UU semakin kuat dan dapat mengurangi ketidakcocokan dengan UUD 1945. Kiranya DPR dapat menggandeng pihak-pihak yang kompeten sesuai dengan spesifikasi UU yang akan dibuat.
Terakhir, kita berharap agar DPR dapat secepatnya memperbaiki kualitas kerjanya dalam bidang legislasi. Karena kita tidak ingin UU yang dibuat DPR terus menuai gugatan, bahkan menjadi mainan karena tidak menjaga hak-hak konstitusional rakyat yang dilindungi dalam UUD 1945.***
Langganan:
Postingan (Atom)