Politik Bunga Matahari
Politik itu sepenuhnya adalah seni. Seni cara mengungkapkan aspirasi, keinginan dan menyatukan aspirasi-aspirasi (orang) lain mejadi satu kesatuan untuk mewujudkan isi dari aspirasi itu. Dalam seni ini sebenarnya lebih menggunakan isnting dari pada logika.

Boleh politik itu didefinisikan sebagai seni untuk mempengaruhi orang lain, seni memimpin dan menguasai, seni mengolah kelemahan menjadi kekuatan, seni meramu informasi setrategis untuk kekuasaan, seni menempa kewaskitaan dalam memimpin, dan seni lain sebagainya. Ada banyak buku mendefisikan politik itu seni anu dan seni itu. Namun, Seni politik itu bahkan lebih bersifat activism, tindakan langsung; bukan pemikiran saja. Walaupun dalam ranah politik pemikiran juga dinilai sebagai tindakan politik manakala disuarakan. Dalam kajian sosio-linguistik pun pemikiran dianggap tindakan, manakala ia telah dibahasakan (disuarakan). Bukannya hanya pikiran yang dipikir-pikir saja. Dalam politik Apa yang menjadi pikiran ya dikerjakan. Apa yang diprogramkan partai ya dikerjakan, tidak hanya berupa macan kertas.

Begitulah seni politik, ketika sudah ditindakkah dan dilakukan baru kemudian muncul ilmunya, turunan metodisnya dan analisis-analisisnya. Tidak mungkin ada analisa politik dari seorang pengamat politik, jika tindakan politik itu sendiri belum ada. Maka dari itu dunia politik adalah dunia kewaskitaan mengolah insting, bukan logika dulu—logika itu baru datang setelahnya. Logika dalam politik hanya sebagai pembetul kedudukan-kedudukan politik dalam sikap politis. Karena politik itu sendiri tujuannya mulia, baik dan benar bagi banyak orang. Politik itu sendiri bersikap luwes, lentur dan mudah diatur—karena tidak bertujuan menciptakan keruwetan-keruwetan (kesulitan) dalam melangkah dan langkah-langkah program partai, misalnya; atau pemerintah dalam contoh sekala luasnya.

Fenomena SBY dan PD
Beberapa hari yang lalu kita sudah menjalani demokrasi elektoral yang dikemas dalam pemilihan caleg dari berbagai partai politik. Fenomena pemilu terbuka, langsung, umum, bebas, jujur, adil dan setara ini benar-benar kita rasakan bersama semenjak pemilu 2004 yang lalu. Pemilu sebelum-belumnya baru LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) saja. Kemudian JURDIL (jujur dan adil), tapi tidak setara. Sebab para caleg ditentukan oleh elit politik partai, atau bahkan pemerintah sendiri setelah dikonsultasikan, bukan rakyat/warga negara secara langsung. Inilah fenomena baik dalam dua pemilu ini yang pantas diembeli ‘satara’. Semua warga berhak memilih dan menentukan sendiri para calon legislatif yang menjadi wakilnya di parlemen. Yang tak lain itu merupakan hak setara dalam sikap politik.

Fenomena yang lebih menarik dari pemilu kedua ialah SBY dan Partai Demokrat. Partai tengah yang berdiri tahun 2001 yang lalu begitu saja muncul sebagai partai besar nasional mendampingi beberapa partai lama lainnya. Alangkah menariknya pula, saat demokrasi elektoral pemilu ini Partai Demokrat mengungguli partai-partai lainnya, dengan kemenangan yang hampir sempurna. Gejala apakah ini?

Susilo Bambang Yudhoyono (yang akrab disapa SBY) menjalani seni politik yang anggun dalam membesarkan partai ini keluar, dan kedalam seraya mendidik kader dengan sikap bernas dalam berpolitik, santun dalam tindakan, jujur dalam mengelola kelemahan dan kekuatan sendiri. Hingga teranglah dalam seni politik ini, SBY lebih menggunakan insting yang intuitif (mendekati sikap wisesa; wasis dan rumangsa kata orang jawa). Kemudian apa yang diterima dirinya melalui insting-intuitif itu dikelola dengan logika dan mesin politik yang benar; yang mampu menyerap semua aspirasi dari segala arah dari segala warna yang berbeda-beda. Kita bisa lihat hal ini dalam program-program politik pemerintah baik dalam kebijakan-kebijakannya ataupun dalam langkah-langkah pendeknya. Memang memesona untuk dilihat, karena ini (tindakan dan sikap politik SBY sebagai representasi pemerintah) adalah cara dan usaha mengatasi tantangan pemerintahan dan ujian politik dari kawan maupun lawan. Kita sebagai warga sekaligus rakyat merasa tepat memiliki pemimpin yang menggunakan “insting lalu logika” ini di kala perubahan arah politik nasional dan global serta kondisi sosial sedemikian rupa. Ingat saat awal SBY memerintah, negeri ini tak sudah-sudahnya dirundung malang dan duka akibat bencana alam dan ulah manusia (beberapa kecelakaan transportasi dan lumpur lapindo). Dan di jelang akhir periodenya dicegat krisis keuangan internasional yang bermula dari AS.

SBY memang punya ide dan cara sendiri untuk mendorong roda pemerintahan. Berbeda dengan pemimpin-pemimpin terdahulu. Sistematika berpikir dapat dijumpai dan diikuti dalam setiap bahasa pembicaraan dan (apalagi) pernyataan-pernyataannya yang bersifat serius. Cara-cara seperti ini tetap dikemukakan, dan dikedepankan di hadapan publik, dalam pergaulan maupun pemerintahan. Sebab itu adalah ukuran-ukuran umum yang dapat diterima semua kalangan. Entoch cara-cara itu berbungkus insting dan intuisi yang kuat. Sehingga bahasa (suara)nya tidak emosionil, gegabah, atau ngawur kata orang jawa. Inilah ilmu politik atau seni politik Bunga Matahari a la SBY.


Politik Bunga Matahari
Inspirasi Bunga Matahari seakan menjadi idiomatika tindakan dan sikap politik SBY,—Bunga Matahari ini murni peristilah yang dipakai penulis untuk penyederhanaan penggambaran sikap dan tindakan politik itu. Bagaimana peta situasi politik dan keteladanan SBY mengelola figuritas dengan tepat dan benar dalam situasi kepemimpinan politik dalam partai dan pemerintahan mengarah pada satu pola kepemimpinan—yang tegas, berpikir jernih di tengah kekeruhan suasana, bernas, jujur pada kemampuan dan kelemahan (yang berbalik menjadi kekuatan), tidak tergesa dalam sikap dan menerima perubahan dengan cepat. Figuritas ini berbanding lurus dengan sikap politik partai yang tidak menggunakan ‘aji mumpung’.

Politik Bunga Matahari ialah bersikap aspiratif terhadap datangnya tuntutan-tuntutan mendesak, yang bersifat aksidental (seperti akibat bencana) atau permanental; seperti kebijakan-kebijakan pro-rakyat, manakala melihat kondisi sosial ekonomi rakyat tergerus oleh krisis keuangan internasional. Kebijakan-kebijakan pro-rakyat itu antar alain: PNPM, BOS, Raskin, BLT, KUR, dll. Sebagai mana bunga matahari ia selalu menghadapkan diri ke arah sumber cahaya untuk menyerapnya sebagai proses fotosintesis, dimana ini berarti menyikapi keadaan dan meramu kekuatan dan kelemahan menjadi satu tindakan solutif demi kebaikan bagi banyak pihak. Beginilah kepemimpinan dalam kondisi krisis dan tantangan yang bertubi datang silih berganti. Itulah pula siasat yang dalam arti lainnya adalah politik untuk menghadirkan cara-cara dan usaha yang mudah dan memudahkan meraih kesejahteraan bagi rakyat.

Politik Bunga Matahari adalah bagaimana memerankan fungsi sensor cahaya untuk menangkap pesan kehidupan, untuk meramu kelemahan dan kekuatan menjadi kemampuan memecahkan masalah, dan memimpin dengan budi pekerti. Ini insting politik yang dimainkan oleh SBY, saya kira. Dimana setiap ‘pekerjaan politik’ tidak menunggu ditunda untuk dilaksanakan. Sehingga wajarlah menemukan semboyannya dengan satu kata “Lanjutkan!”. Begitulah kerja politik bersinambung demi kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.