Mendahulukan Orang Lain
IBNU Athaillah berpendapat, "Tanda orang yang zuhud terhadap dunia terbagi dua, yaitu tanda ketika memiliki harta dan tanda ketika tidak memilikinya. Ketika memiliki harta, orang yang zuhud selalu mendahulukan orang lain dan ketika tidak memilikinya, ia selalu bersikap lapang dan menerima apa adanya. Orang yang mendahulukan kepentingan orang lain, berarti mensyukuri nikmat keberadaan. Dan orang yang merasa lapang ketika tidak punya, berarti mensyukuri nikmat ketiadaan. Itulah buah pemahaman dan makrifat. Sebab, anugerah Allah tidak hanya berupa pemberian harta, Dia tidak memberi pun merupakan salah satu bentuk anugerah-Nya."
Ibnu Athaillah berkesimpulan seperti tersebut, setelah ia meneliti kehidupan para sahabat Rasulullah saw. Karena keimanan dan makrifatnya yang tinggi, mereka berani berkorban untuk orang lain. Harta bahkan jiwa dikorbankan, bukan karena ingin mendapatkan balasan, tapi mereka melakukannya sebagai wujud keimanannya kepada Allah. Mereka sangat yakin, dengan berbuat baik kepada orang lain, akan mendapat rida Allah SWT.
Suatu malam, Rasulullah saw. kedatangan beberapa orang tamu. Beliau tak bisa menjamunya. Kemudian, beliau menawarkan kepada para sahabatnya. Abu Thalhah dan Ummu Sulaim segera menyambut tawaran Rasulullah saw. tersebut. Padahal pada malam itu, di rumahnya hanya tersedia jatah makanan bagi keluarga mereka.
Ketika pulang ke rumahnya, mereka segera menidurkan anak-anaknya. Lalu dengan sengaja, lampu minyaknya agak diredupkan, mereka pura-pura makan di ruangan lain, agar tamu mereka bisa makan dengan tenang. Akhirnya, sepanjang malam mereka lewatkan dengan menahan lapar, sementara si tamu merasa hilang lapar dan dahaganya.
Perilaku Abu Thalhah tersebut menjadi sababun nuzul (sebab turunnya) Q.S. 59:9. "Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung."
Para ulama ahli ahlak menyebut pengorbanan para sahabat Rasulullah saw. dalam mendahulukan kepentingan orang lainsebagai itsar, kebalikannya adalah atsarah, egois, individualis.
Mendahulukan kepentingan orang lain merupakan wujud kesempurnaan iman seseorang kepada Allah SWT. Mendahulukan kepentingan orang lain juga merupakan akhlak mulia yang bernilai tinggi di hadapan Allah SWT. Para ahli akhlak menggolongkannya sebagai akhlak mahmudah (akhlak terpuji) yang berada di urutan paling atas. "Orang yang paling sempurna keimanannya di antara kalian adalah yang paling mulia akhlaknya." (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Al Hakim)
Ibnu Qayyim berpendapat, itsar identik dengan kedermawanan. Menurut dia, terdapat sepuluh macam kedermawanan, yakni dengan mengorbankan jiwa demi tegaknya kebenaran dan keadilan, dengan kekuasaan (mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan dirinya), dengan kesenangan (melayani kepentingan orang lain), dengan mengajarkan ilmu, dengan jabatan yang dimilikinya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dengan kekuatan badan, dengan tidak membalas kejelekan terhadap orang yang berbuat zalim, dengan kesabaran dalam menghadapi berbagai masalah, dengan berupaya keras memiliki akhlak mulia, dan dengan mengeluarkan harta benda demi kepentingan orang lain.
Diakui ataupun tidak, pada saat ini, itsar merupakan perilaku yang sangat mahal di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pola hidup masyarakat pada saat ini sudah mengarah kepada egoisme, mementingkan diri sendiri, tak peduli lagi dengan kepentingan orang lain.
Contoh kecil, dalam sebuah bus kota atau bus antarkota terpampang sebuah stiker, "Utamakan tempat duduk bagi lansia, wanita hamil, dan anak-anak." Namun, stiker hanya hiasan. Sekalipun di hadapan orang yang tengah duduk berdiri seorang nenek, wanita hamil, ataupun anak-anak, mereka pura-pura tidur, tak peduli lagi dengan orang lain yang kepayahan.
Demikian pula di sebuah kantor pelayanan jasa yang banyak dikunjungi orang, terpampang tulisan, "Demi kenyamanan bersama, terima kasih Anda tidak merokok di ruangan ini." Namun yang terjadi, stiker hanya dianggap sebagai tulisan penghias dinding. Para perokok tak memedulikannya lagi, bahkan tak peduli lagi dengan orang-orang yang batuk-batuk di sampingnya, karena asap rokok yang keluar dari mulutnya.
Di jalan raya sama saja. Para pengendara sudah tak memedulikan lagi orang lain, sekalipun orang lain dalam bahaya. Suara sirene ambulans atau pemadam kebakaran yang meraung-raung meminta jalan sudah tak dihiraukannya lagi. Padahal, sirine ambulans atau pemadam kebakaran dinyalakan bukan untuk gaya-gayaan, tapi memang sedang tergesa-gesa meminta diberi jalan, agar cepat sampai ke tujuan dan segera dapat menolong orang yang sedang dalam bahaya.
Sungguh suatu kemuliaan apabila kita dapat menghidupkan dan menerapkan kembali itsar dalam kehidupan keseharian kita. Dengan perilaku itsar, insya Allah persatuan, persaudaraan akan kembali terjalin kokoh, bukan saja di kalangan umat Islam, tapi di antara sesama manusia. Lebih dari itu, itsar merupakan satu langkah mulia untuk membuktikan keluhuran dan kemuliaan ajaran Islam. Selayaknya kita memohon perlindungan kepada Allah, agar dijauhkan dari sikap egois dan melupakan kepentingan orang lain.