Bulan Syakban

"Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadan. Dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat semua amal kepada Rabbul Alamin. Dan aku suka untuk diangkat amalan aku sedangkan aku dalam keadaan berpuasa" (H.R. An Nasai)

TAK terasa, kita sudah berada di depan gerbang bulan Ramadan, yakni bulan Syakban. Artinya, tidak lama lagi kita akan menghadiri bulan yang sangat dirindukan seluruh umat muslim, yakni bulan suci. Bulan penuh hamparan berkah, bulan penuh ampunan, bulan ibadah, bulan jihad, dan bulan di mana segala amal ibadah akan mendapat pahala berlipat ganda. "Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Syakban. Dan sampaikanlah usia hingga memasuki bulan Ramadan".

Bulan Syakban merupakan bulan ibadah istimewa bagi Rasulullah, selain bulan Ramadan. Imam An Nasai meriwayatkan sebuah hadis, Usamah bin Zaid r.a. berkata kepada Rasul SAW, "Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan dari bulan-bulan yang ada, seperti puasamu di bulan Syakban".

Mari tanamkan kesadaran dan tekad untuk tidak melalaikan bulan Syakban dan menjadikan kita berada dalam kondisi baik saat amal-amal kita diangkat kepada Allah SWT. Para shalafushalih mengatakan bulan Syakban sebagai bulannya para qurra (pembaca Alquran).

Adalah Habib bin Abi Tsabit yang apabila masuk bulan Syakban mengatakan, "Inilah bulannya para qurra". Sementara Amr bin Qais apabila masuk bulan Syakban menutup tokonya pada waktu-waktu tertentu dan meluangkan waktu khusus untuk membaca Alquran.

Bulan ini adalah masa pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadan. Semoga kita sudah bisa memasuki Ramadan dalam kesiapan iman yang memadai, untuk meraih sebanyak-banyaknya pahala ibadah di bulan suci itu. Mari lalui bulan ini dengan lebih menekankan kualitas dan memperbanyak kuantitas ibadah kepada Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda, "Syakban adalah bulanku. Barang siapa berpuasa satu hari pada bulanku ini, surga miliknya".

Di bulan Syakban, sebagian umat muslim akan teringat masa-masa kecil yang penuh kenangan. Seperti malam-malam nisfu dengan menjalankan salat sunah dua rakaat, membaca Surat Yasin tiga kali, lalu bertahlil ramai-ramai. Suasana kampung pada saat-saat seperti ini terasa indah. Apalagi setelah air bening yang sudah didoakan diperebutkan anak-anak kecil. Bukan dengan keyakinan memperpanjang umur, tapi sekadar perlambang bahwa malam itu rahmat Allah turun berlimpah-limpah bagai air dan kita sudah siap menghirupnya.

Subhannallah

Syakban yang suci, perlahan berlalu dengan tenang, menyobek kabisat demi kabisat. Orang semakin sibuk, karena bagi sebagian orang, ngurus pekerjaan makin sukar. Dunia pendidikan, meski gratis, tapi masih banyak membuat orang tuasiswa "tergopoh-gopoh" memenuhi kebutuhan dana pihak sekolah. Masalah-demi masalah muncul dan menyita perhatian masyarakat. Kesempatan untuk mendapatkan keberkahan hidup pun semakin menjauh. **
Makna Kemerdekaan

KEMERDEKAAN dari segala bentuk penjajahan memang sudah tidak ada di negeri kita ini. Namun, masih banyak warga yang belum bisa merasakan nikmatnya kemerdekaan. Bahkan, tidak sedikit dari mereka "dijajah" lagi oleh bangsa sendiri yang memberhalakan materi, sehingga kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya.

Mereka yang belum merasakan nikmatnya kemerdekaan tidak jarang terperosok ke lembah kemiskinan struktural. Mereka miskin secara materi, miskin pengetahuan, miskin nilai-nilai keagamaan, miskin wawasan sosial, dan kemiskinan-kemiskinan lainnya. Sementara orang-orang di kota yang kerap berteriak-teriak untuk memerangi kemiskinan, tingkah lakunya justru menggusur orang-orang miskin. Mereka menjadikan orang miskin sebagai objek untuk kepentingan dirinya, kelompok atau golongannya.

Kalau kita perhatikan, hari kemerdekaan ini tampak kurang dimiliki umat Islam layaknya seperti hari-hari besar Islam (Maulud Nabi, Isra Miraj, dan Tahun Baru Hijriah). Sebagai tolok ukur sederhana, kita perhatikan sangat langka mesjid atau musala memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah tidak ada hubungan antara Islam dengan kemerdekaan. Peringatan dan perayaan kemerdekaan terasa enggan dikaitkan dengan agama.

Padahal kemerdekaan republik ini telah melahirkan banyak mujahid Islam yang gugur sebagai syuhada. Perjuangan kemerdekaan dilakukan pejuang-pejuang muslim yang termotivasi ajaran-ajaran Islam yang mengajarkan untuk tidak menerima segala bentuk penjajahan. Mereka-mereka yang berjuang lahir dari pemahaman dan memiliki konsep ketauhidan.

Konsep yang mendasar dalam ajaran Islam untuk manusia adalah kemerdekaan, pembebasan diri dari meng-ilah-kan sesama makhluk dan untuk semata-mata hanya mengilahkan Allah yang terdeklarasikan dalam setiap saat dan setiap waktu dari seorang pribadi muslim dalam kalimat "Laa ilaha illallah (Tiada tuhan selain Allah)", tidak ada yang perlu ditakuti selain diri-Nya.

Penjabaran lebih lanjut dalam kalimat syahadah ini adalah pembebasan dari eksploitasi sesama manusia, pembebasan dari segala bentuk penjajahan suatu bangsa terhadap bangsa lain dalam bentuk ekonomi, politik, dan intervensi kepentingan urusan dalam negeri. Istilah merdeka (al hurriyah) tercanum dalam Alquran dikaitkan dengan status kondisi seseorang yang terbebas perbudakan (hamba merdeka) seperti pada Surat al Baqarah ayat 178, juga dengan kata at Tahrir yang bermakna memerdekakan yang tercantum pada Surat al Maidah ayat 89, al Mujadilah ayat 3, dan an Nisa ayat 92.

Dengan demikian, makna kemerdekaan secara individu adalah terbebas dari dominasi dan penguasaan orang lain (budak), dan secara kelompok atau bangsa terlepas dari dominasi penguasaan bangsa lain (istiqlal).

Oleh karena itu, umat Islam Indonesia harus mensyukuri nikmat kemerdekaan ini, selayaknya seperti mensyukuri nikmat-nikmat lainnya. Alquran juga menyebutkan bahwa kemerdekaan dalam makna kebebasan telah menjadi hak yang diberikan Allah kepada manusia. Semoga kemerdekaan ini bisa mendorong kita mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan itu. **
Tips & Trick
6 Langkah 'Tambal' Lubang di Power Point

Berita buruk! Menurut keterangan Microsoft, para cracker telah mulai menyerang pengguna Power Point. Ada 14 lubang pada Power Point yang bisa disusupi. Dari 14 lubang tersebut, hanya satu yang telah diserang, sementara 13 lainnya sangat rentan dibobol.

Berita baiknya, Microsoft telah menyiapkan sebuah security update, yang sudah dapat di-download dan diinstall para pengguna Power Point.

Berdasar buletin milik Microsoft, berikut ini adalah versi Power Point yang diserang:

Microsoft Office PowerPoint 2002, Microsoft Office PowerPoint 2003, Microsoft Office PowerPoint 2007, Microsoft Office 2004 (Mac), dan Microsoft Office 2008 (Mac); Open XML File Format Converter (Mac); semua versi PowerPoint Viewer, dan Microsoft Office Compatibility Pack bagi Word, Excel, dan PowerPoint 2007 Format File; Microsoft Works 8.5; dan Microsoft Works 9.0.

Dari data di atas, jika kita memasang security update pada versi-versi tersebut kita boleh sedikit lega. Pasalnya update keamanan terbaru dari Microsoft telah mampu ‘menambal’ lubang-lubang tersebut.

Bagaimana cara 'menambal' lubang itu? Cara untuk 'menambal' lubang pada Power Point ternyata sangat mudah.

Dikutip dari Venturebeat, Rabu (13/05/2009) Matt Watchinski, Senior Director Vulnerability Research SourceFire, memberi 6 langkah mudah untuk ‘menambal’ lubang tersebut.

1. Buka internet explorer, versi berapapun.
2. Akses update.microsoft. com. Selanjutnya akan terbuka halaman baru dengan perintah “Download and install updates for your computer.”
3. Jika sudah, klik “View available updates.”
4. Windows akan menunjukkan daftar update yang harus dilakukan. Lihatlah sub-judul yang menunjukan update bagi Office 2007 atau versi apapun yang kita miliki.
5. Ikuti perintah instalasi security update tersebut.
6. Jika kita telah menginstall Office, namun tidak melihat adanya peringatan security update untuk Power Point, berarti security update tersebut telah terpasang pada PC kita.
Kemampuan TNI-AD Tangani Terorisme Harus Dimanfaatkan



Jakarta - Dalam penanggulangan terorisme, kemampuan personel TNI Angkatan Darat sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh bangsa ini. Hanya saja, TNI terikat aturan dan bergerak atas permintaan Polri.

"TNI-AD punya tiga peran yang seharusnya dimanfaatkan oleh bangsa ini," kata Kepala Dinas Penerangan AD, Brigjen TNI Christian Zebua, di kantornya Jl Veteran, Jakarta, Selasa (18/8/2009).

Tiga peran yang dimaksudkan Christian adalah, pertama kemampuan deteksi dini, pencegahan dini, dan lapor cepat melalui Desk Anti Teror yang sudah terbentuk mulai dari pusat sampai daerah sampai tingkat Kodim, Koramil, dan Babinsa.

"Babinsa ini yang akan memberdayakan mitranya, yaitu masyarakat. Diharapkan masyarakat berani melapor bila ada hal-hal yang mencurigakan, atau berani melawan dan menangkap bila itu benar teroris," jelasnya.

Kemampuan kedua, lanjut Christian, pasukan AD memiliki kemampuan memukul atau menanggulangi terorisme. Kemampuan ini sudah dimiliki satuan Detasemen-81 Penanggulangan Teror Kopassus. Sementara di Kostrad sendiri ada tiga bataliyo Raider antiteror, Pleton Pengintai Tempur (Tontaipur).

"Sementara di setiap Kodam kita memiliki satu batalion antiteror," ujarnya.

Kemampuan ketiga, AD juga memiliki ahli penjinak bom dan bahan peledak. Semua ini berada di bataliyon Zeni Tempur (Zipur) dan Detasemen Zeni Tempur
(Denzipur).

"Apakah kemampuan ini mau dimanfaatkan oleh negara atau tidak? Nah, ini kan pertanyaannya," ungkap Christian.

Namun begitu, Christian menegaskan, TNI-AD siap membantu polisi dalam menangani terorisme. Hanya saja bila semua jeli melihat UU TNI, disebutkan fungsi TNI selain perang di antaranya dalam memerangi terorisme, bukan hanya membantu.

"Tapi dengan keluarnya Keppres untuk membantu polisi. Jadi lebih tinggi mana, UU dan Keppres? Itulah dinamika. Kita selalu diikat dengan aturan dan bergerak atas permintaan polisi," pungkasnya.
TAS RANSEL BERBAHAYA

Semua orang pasti mengenal dan gemar mengenakan tas ransel. Selain simpel dan praktis, tas enis ini juga banyak memuat keperluan barang-barang pribadi, mulai dari komputer, buku-buku, hingga pakaian sekalipun.

Tapi untuk saat ini tampaknya pemakaian tas ransel harus dipertimbangkan masak-masak lagi. Terutama jika digunakan untuk tas sekolah anak-anak.

Karena menurut hasil riset yang dilakukan Dr Mary Ellen Franklin, terapis fisik dan fisiologi olahraga dari Medical College of Georgia, menyatakan bahwa nyeri punggung sering dialami anak-anak yang masih dalam pertumbuhan di usia 11-16 tahun.

Untuk mengetahui berapa besar pengaruh tas ransel pada punggung anak, dr Mary melakukan studi kasus pada murid-murid berusia 10-13 tahun.

Hasil penelitiannya, semakin berat beban tas ransel yang berada di punggung si anak, semakin sulit mereka menggerakkan tubuh untuk naik ke alat timbangan. Dan ketika mereka turun dari alat timbangan, ada kecenderungan beban cukup berat bertumpu di bagian punggung mereka.

Kondisi seperti inilah yang mengakibatkan terjadinya cedera pada punggung anak. Karena ketika menggendong tas ransel dengan beban lebih dari 15% berat tubuh si anak, rangka tubuh mereka akan spontan condong ke depan sehingga menekan tulang belakang secara tidak normal.

Posisi tubuh seperti ini akan menyebabkan kepala anak maju atau menunduk. Dan saat anak menegakkan kepalanya ketika berjalan, tulang lehernya akan lebih menegang dan tertekan.

Akibatnya, selain mempengaruhi pertumbuhan tulang belakang, posisi ini lama kelamaan juga menimbulkan rasa nyeri pada leher.

Penggunaan tas ransel dengan beban yang berat juga bisa mengakibatkan skoliosis. Skoliosis adalah cekungan tulang belakang yang abnormal ke arah samping. Ketidaknormalan ini bisa terjadi pada leher, dada, maupun pinggang.

Semoga berguna untuk yang masih sekolah / kuliah / bekerja.
MENGENAL ULOS BATAK

JENIS DAN TATA CARA PENGGUNAANNYA

Pada jaman dahulu sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar, ulos adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya disebut “hande-hande” sedang bagian bawah disebut “singkot” kemudian bagian penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”.
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.

Proses pembuatan ulos batak.

Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos.

Untuk memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon) dimasukkan kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan berwarna hitam kebiru-biruan yang disebut “itom”.

Periuk tanah (palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya. Kemudian cairan yang berwarna hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu diaduk hingga larut. Ini disebut “manggaru”. Kedalaman cairan inilah benang dicelupkan.
Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang sampai bertahun.

Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat. Ini disebut “mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali atau dipinggiran sungai/danau.

Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk “diunggas” agar benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi nasi hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan.
Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.
Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.

Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang sama. Yang membedakan adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan tertentu. Misalnya bagi anak dara, yang sedang belajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa” ini disebut “mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak).
Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.

Jenis Ulos

1. Ulos Jugia.

Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”.
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).

Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkalan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.

Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu jumlah besar.

2. Ulos Ragi Hidup.

Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak .
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.

Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang mengatakan “martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang punya hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata putus (putusan terakhir).
Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.

Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”.

Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di Tula (hari tengah dua puluh).

Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.

Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.

3. Ragi Hotang.

Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos “Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.

4. Ulos Sadum.

Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan).
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.

5. Ulos Runjat.

Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos “edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).

Kelima jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan (simpanan) yang hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai hingga tidak perlu dicuci dan biasanya cukup dijemur di siang hari pada waktu masa bulan purnama (tula).

6. Ulos Sibolang.

Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos “saput” atau ulos “tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.

Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai sebagai ulos pangupa atau parompa.

7. Ulos Suri-suri Ganjang.

Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu ulos ini diperguakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan sipemakai layaknya memakai dua ulos.

8. Ulos Mangiring.

Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila mampe goar untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang maratur”.

9. Bintang Maratur.

Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan” (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya relatif sama.

10. Sitoluntuho-Bolean.

Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang tanah guna menanam benih.

11. Uos Jungkit.

Ulos ini jenis ulos “nanidondang” atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga Raja-raja untuk hoba-hoba yang dipakai hingga dada. Juga dipakai pada waktu menerima tamu pembesar atau pada waktu kawin.

Pada waktu dahulu kala, purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari India lewat Bandar Barus. Pada pertengahan abad XX ini, permata tersebut tidak ada lagi diperdagangkan. Maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara “manjungkit” (mengkait) benang ulos tersebut. Ragi yang dibuat hampir mirip dengan kain songket buatan Rejang atau Lebong. Karena proses pembuatannya sangat sulit, menyebabkan ulos ini merupakan barang langka, maka kedudukannya diganti oleh kain songket tersebut. Inilah sebabnya baik didaerah leluhur si Raja Batak pun pada waktu acara perkawinan kain songket ini biasa dipakai para anak gadis/pengantin perempuan sebagai pengganti ulos nanidondang. Disinilah pertanda atau merupakan suatu bukti telah pudarnya nilai ulos bagi orang Batak.

12. Ulos Lobu-Lobu.

Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Karenanya tidak pernah diperdagangkan atau disimpan diparmonang-monangan, itulah sebabnya orang jarang mengenal ulos ini. Bentuknya seperti kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut ulos “giun hinarharan”. Jaman dahulu para orang tua sering memberikan ulos ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.

Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang belum disebut disini. Menurut orang-orang tua jenis ulos mencapai 57 jenis.

Seperti telah diterangkan, ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara adat batak, karena itu tidak mungkin kita bicarakan adat batak tanpa membicarakan hiou, ois, obit godang atau uis yang kesemuanya adalah merupakan identintas orang Batak.

Penerima Ulos

Menurut tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos sejak lahir hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos “na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan falsafah dalihan na tolu. Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut ulos “parompa” dahulu dikenal dengan ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang disebut ulos “marjabu” bagi kedua pengantin (saat ini desebut ulos “hela”).
Seterusnya yang ketiga adalah ulos yattg diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut ulos “saput”.

I. Ulos Saat Kelahiran.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama apakah anak yang lahir tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua apakah anak tersebut anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga. 1. Bila yang lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan anak sulung maka yang mampe goar disamping sianak, hanyalah orangtuanya saja (mar amani… ). 2. Sedang bila anak tersebut adalah anak sulung dari seorang anak sulung pada satu keluarga maka yang mampe goar disamping sianak, juga ayah dan kakeknya (marama ni… dan ompu ni… ).

Gelar ompu… bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan “si”, maka gelar yang diperoleh itu diperdapat dari anak sulung perempuan (ompung bao).
Bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung laki-laki (Ompung Suhut).

Untuk point pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan dua buah ulos yaitu ulos parompa untuk sianak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya. Untuk sianak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri-suri ganjang atau ulos sitoluntuho.
Untuk point kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak tiga buah, yaitu ulos parompa untuk sianak, ulos pargomgom untuk ayahnya, dan ulos bulang-bulang untuk ompungnya.

Seiring dengan pemberian ulos selalu disampaikan kata-kata yang mengandung harapan agar kiranya nama anak yang ditebalkan dan setelah dianya nanti besar dapat memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Disampaikan melalui umpama (pantun). Pihak hula-hula memberikan ulos dari jenis ulos bintang maratur, tetapi bila hanya sekedar memberi ulos parompa boleh saja ulos mangiring.

II. Ulos Saat Perkawinan

Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat menyediakan ulos “si tot ni pansa” yaitu; 1. Ulos marjabu (untuk pengantin), 2. Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki, 3. Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah, 4. Ulos simolohon diberikan kepada iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki. Bila belum ada yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya. Ulos yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus disediakan oleh pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan).

Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan (sihunti ampang) hanya bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.

Sering kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut “ragi-ragi ni sinamot”. Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebahagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama (pantun) dalam suku Batak disebut “malo manapol ingkon mananggal”. Pantun ini mengandung pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat.
Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima “goli-goli” dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya (margoli-goli) sehingga undangan umum (ale-ale) dengan dalih istilah “ulos holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.

Tata cara pemberian.
Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua pengantin yang disebut “ulos marjabu”. Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara terlipat.

Sedangkan ulos pargomgom (untuk pangamai) dapat diterima menurut tata cara yang biasa, dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom). Dalam penyampaian ulos biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-kata yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan penyampaian beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk kepada umum dengan mengucapkan “h o r a s” tiga kali.

Selanjutnya menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki atau yang mewakilinya dalam hal ini seiring dengan penyampaian umpasa dan kata-kata petuah. Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos si tot ni pansa kepada pamarai dan simolohon. Biasanya pemberian ini disampaikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara nenek).
Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang (paman) pengantin laki-laki.

Tata cara urutan pemberian ulos adalah sebagai berikut; 1. Mula-mula yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan, 2. Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan termasuk tulang rorobot, 3. Kemudian disusul pihak dongan sabutuha dari orang tua pengantin perempuan yang disebut paidua (pamarai), 4. Kemudian disusul oleh oleh pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan, 5. Dan yang terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari paranak dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak parboru dan 1/3 dari paranak. Bahagian ini disampaikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada tulang/paman pengantin laki-laki, inilah yang disebut “tintin marangkup”.

III. Ulos Saat Kematian.

Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang ialah ulos yang diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status memurut umur dan turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya.

Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang disebut “parolang-olangan” biasanya dari jenis parompa.
Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos “tujung”.
Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan (sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei”.

Ulos “jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang meninggal (martilaha martua).

Khusus tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak “tulang”, sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan kemenakan (berenya).
Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.

Tata cara pemberiannya.
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah hula-hula mendengar khabar tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang menyediakan ulos saput. Pemberiannya diiringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara membuka (mengungkap) tujung yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat dikubur, pada saat itu juga ada dilaksanakan mengungkap tujung, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.

Hula-hula menyediakan beras dipiring (sipir ni tondi), air bersih untuk cuci muka (aek parsuapan), air putih satu gelas (aek sitio-tio). Pelaksanaan acara mengungkap tujung umumnya dibuat pada waktu pagi (panangkok ni mata ni ari). Setelah pihak hula-hula membuka tujung dari yang balu, dilanjutkan dengan mencuci muka (marsuap). Anak-anak yang ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya, kemudian dilanjutkan dengan penaburan beras diatas kepala yang balu dan anak-anaknya.

Memberi ulos panggabei.
Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei. Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit). Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona tulang, bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat lama, adakalanya mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena inilah acara puncak kehidupan orang yang terakhir.

Yang Memberikan Ulos

Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak hula-hulalah yang memberikan ulos kepada parboru/boru (dalam perkawinan). Tetapi diwilayah Pakpak / Dairi dan Tapanuli Selatan, pihak borulah yang memberikan ulos kepada kula-kula (kalimbubu) atau mora. Perbedaan spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna ulos dalam upacara adat.

Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan “dalihan na tolu” (tungku/dapur terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam adat batak ialah dongan tubu, boru, hula-hula harus saling membantu dan saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah : 1. Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot). 2. Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten laki-laki yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan). 3. Pihak pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).

Ale-ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah diluar tohonan Dalihan na tolu (pemberian ale-ale tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya diberikan dalam bentuk kado dan lain-lain).

Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan dari sipenerima ulos.