Pengorbanan dan Kebahagian

BERJUTA pertanyaan pasti menghampiri ketika menyaksikan seseorang akan berangkat haji atau minimal berkurban. Mengapa jemaah haji harus rela menyerahkan uangnya yang mencapai Rp 40 juta, bahkan bisa lebih?

Padahal, tinggal di Mekah dan Madinah jauh dari menyenangkan karena pemondokan jemaah haji rata-rata jauh, berebut mencari bus, harus berdesak-desakan saat beribadah, belum lagi budaya dan makanan yang tidak cocok. Bukankah lebih baik uang untuk haji diinvestasikan yang tentu dapat lebih mendatangkan uang lebih banyak?

Demikian pula dengan ibadah kurban. Mengapa manusia ikhlas menyerahkan sejumlah uangnya untuk membeli hewan kurban yang nantinya sedikit, bahkan tidak dinikmati sama sekali? Bukankah lebih baik uang Rp 1,5 juta tersebut dipergunakan untuk keperluan lainnya?

Ibadah haji, termasuk ibadah kurban, merupakan lambang dari puncak ketangguhan pribadi dan puncak ketangguhan sosial. Niat utama kedua ibadah itu adalah untuk selalu tetap dalam orbit Allah selain kepedulian sosial kepada sesama. Itulah kebahagiaan hakiki yang bersumber dari Sang Maha Penyayang sehingga harta pun dengan ikhlas diserahkan.

Setiap manusia pasti ingin memperoleh kebahagiaan sepanjang hidupnya. Apa pun yang dilakukan seseorang, baik disadari maupun tidak, sesungguhnya selalu menuju pada satu muara yakni bahagia.

Ada beragam cara manusia dalam mendapatkan kebahagiaan. Sebagian mencarinya dengan berusaha mendapatkan materi dan kekayaan sebanyak mungkin. Inilah yang disebut dengan physical happiness (kebahagiaan fisik) yang dicapai saat seseorang merasa bahagia ketika mendapat gaji besar, bonus tahunan, mobil mewah atau rumah megah, penampilan dan wajah yang cantik dan rupawan, atau pakaian dan perhiasan yang indah.

Physical happiness membuat seseorang terjebak pada pola hidup konsumerisme. Ia menjadi sangat konsumtif karena mengejar kebahagiaan dengan memiliki materi.

Ada pula orang yang merasa bahagia ketika mendapatkan pujian, penghargaan, atau pengakuan atas prestasi yang diraih. Itulah yang dinamakan emotional happiness. Riuhnya tepukan, piagam dan medali penghargaan, serta pujian dari masyarakat luas akan membuatnya begitu bahagia.

Physical dan emotional happiness cenderung sulit untuk dipenuhi karena sifat manusia selalu merasa tidak pernah puas. Kita bisa melihat pada pemberitaan di media massa soal maraknya kasus korupsi. Hampir semua pelaku korupsi tingkat tinggi adalah orang yang berada di tingkat ekonomi menengah ke atas, bukan orang miskin yang seharusnya butuh harta.

Selain itu, mengejar physical dan emotional happiness lebih sering berujung pada kekecewaan bahkan stres dan depresi. Pada pemilihan calon legislatif lalu, kita bisa melihat banyaknya orang yang menjadi sakit jiwa dari mulai yang ringan hingga berat ketika mereka gagal terpilih, bahkan bunuh diri.

Keinginan untuk memiliki jabatan tinggi agar mendapat penghasilan dan penghargan yang lebih tinggi, malah berujung mengenaskan. Sementara sebagian pejabat atau wakil rakyat yang berhasil menduduki jabatan malah berupaya mengejar materi dengan berbagai cara agar bisa menutupi pengeluarannya.

Lebih memprihatinkan lagi bila melihat kondisi remaja dan generasi muda yang gagal dalam upaya mencari kebahagiaan. Tingginya jumlah pengguna narkoba merupakan bukti nyata bahwa banyak orang yang keliru memaknai arti kebahagiaan. Mereka terjebak pada kebahagiaan semu sehingga lari pada dugem, clubbing, gaya hidup konsumerisme, atau obat terlarang yang jelas sangat merusak dan menghancurkan diri.

Banyak orang yang tidak menyadari sesungguhnya kebahagiaan amat dekat dan tak perlu biaya mahal untuk menggapainya, yakni spiritual happiness. Kebahagiaan spiritual adalah ketika seseorang mampu memaknai untuk apa mereka diciptakan, apa tujuan hidup mereka, dan mau kemana mereka kelak.

Berbeda dengan physical dan emotional happiness yang selalu ingin memperoleh atau menerima, spiritual happiness justru membuat seseorang ingin selalu memberi. Seorang nenek akan sangat bahagia ketika bisa memberikan uang kepada cucunya. Ia merasa bahagia justru ketika memberi, bukan menerima, hingga ketika dilarang memberi justru akan sedih.

Physical dan emotional happiness membutuhkan biaya besar, pemborosan, dan kesenjangan sosial karena umumnya manusia makin serakah dan sibuk mengejar kepentingannya dirinya sendiri tanpa peduli orang lain. Korupsi, pembalakan hutan, pemalsuan obat, atau perusakan alam adalah perilaku manusia yang hanya mengejar kebahagiaan duniawi. Oleh karena itu, physical dan emotional happiness yang berlebihan dapat merusak bangsa karena sumber daya alam yang terbatas diperebutkan banyak orang yang serakah dan selalu merasa tidak puas. Sementara spiritual happiness justru membuat orang berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan, saling memberi, dan tolong-menolong.

Solusi bagi masalah bangsa yang tengah dilanda krisis adalah menyadarkan tentang spiritual happiness. Mengatasi korupsi yang telah mengakar di bangsa ini dengan hanya penegakan hukum sama dengan mengatasi lumpur Lapindo yang hanya membangun tanggul. Sementara sumber lumpurnya tidak diatasi sehingga tanggul tetap jebol.

Perlu adanya program yang dapat menyadarkan masyarakat akan spiritual happiness bukan sebatas mengejar materi dan kedudukan. Spiritualitas akan menuntun manusia untuk menyadari bahwa kebahagiaan sesungguhnya dirasakan ketika memberi, bukan saat menerima. Memberi adalah jati diri manusia karena ia adalah cerminan dari Sang Pencipta yang memiliki sifat Al Wahab yaitu "Yang Maha Memberi". ***