Berkeluh Kesah

KETIKA berkumpul dengan teman atau sahabat, apalagi sahabat lama, tentu yang dibicarakan seputar pekerjaan, keluarga, atau masa depan. Pembicaraan lainnya yang kerap muncul adalah berkeluh kesah.

Soal keluh kesah ini dalam sebuah ayat Alquran memang dinyatakan sebagai ciri khas manusia. "Sesungguhnya manusia itu diciptakan dalam keadaan berkeluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir." (QS. Al-Ma’arij: 20-21)

Ketika manusia mendapatkan cuaca panas akan mengeluh betapa panas dan berdebu hari ini. Namun, ketika hujan turun muncul keluhan baru karena hujan membuat banjir, longsor, jalanan becek, atau minimal tubuh basah kuyup.

Kita semua melakukan keluh kesah tersebut setiap saat tanpa menyadarinya. Tahukah Anda semakin sering kita mengeluh, maka semakin sering pula kita mengalami hal tersebut. Sebagai contohnya, seorang teman selalu mengeluh mengenai pekerjaan. Sudah beberapa kali dia pindah kerja dan setiap kali dia bekerja di tempat baru, dia selalu mengeluhkan mengenai atasan atau rekan-rekan sekerjanya. Akhirnya, terbentuk suatu pola tertentu yang sudah dapat diprediksi, dia akan selalu pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan berikutnya sampai dia belajar untuk tidak mengeluh.

Mengeluh adalah hal yang sangat mudah dilakukan dan bagi beberapa orang hal ini menjadi suatu kebiasaan dan parahnya lagi mengeluh menjadi suatu kebanggaan. Bila Anda memiliki dua teman, yang pertama selalu berpikiran positif dan yang kedua selalu mengeluh. Anda akan lebih senang berhubungan dengan yang mana?

Orang yang sering berkeluh kesah mungkin bisa mendapatkan simpati dari kita, tetapi tidak akan membuat kita memiliki lebih banyak teman. Bahkan, keluhan tidak akan menyelesaikan masalah kita dan bisa membuat kita kehilangan teman.

Mengapa kita mengeluh? Kita mengeluh karena kita kecewa bahwa realitas yang terjadi tidak sesuai dengan harapan kita. Das sollen, yang seharusnya, berbeda dengan das sein, kenyataan dalam kehidupan.

Lantas, bagaimana kita mengatasi hal ini? Caranya, sebenarnya, gampang-gampang susah. Kita hanya perlu bersyukur. Penulis percaya di balik semua hal yang kita keluhkan pasti ada hal yang dapat kita syukuri. Sebagai gambaran, Anda mengeluhkan pekerjaan, namun tahukah Anda berapa banyak jumlah pengangguran yang ada di Indonesia?

Sekarang ini hampir enam puluh persen orang Indonesia pada usia kerja produktif tidak bekerja. Jadi, bersyukurlah Anda masih memiliki pekerjaan dan penghasilan.

Bisa juga Anda mengeluh karena disuruh lembur atau disuruh melakukan kerja ekstra. Tahukah Anda bahwa sebenarnya atasan percaya kepada kemampuan Anda? Kalau Anda tidak mampu, tidak mungkin atasan memerintahkan kerja lembur atau memberikan pekerjaan tambahan. Bersyukurlah karena Anda telah diberikan kepercayaan oleh atasan. Bisa jadi bila Anda lebih rajin bisa mendapatkan promosi lebih cepat dari yang diperkirakan.

Bersyukurlah. Niscaya lebih banyak pelajaran dan percayalah hidup Anda akan lebih mudah dan keberuntungan senantiasa selalu bersama. Karena Anda dapat melihat hal-hal yang selama ini mungkin luput dari pandangan karena terlalu sibuk mengeluh.

Setidaknya kita membiasakan diri untuk bersyukur atas semua kejadian minimal sekali dalam sehari. Bersyukurlah atas pekerjaan, kesehatan, keluarga, atau apa pun yang dapat Anda syukuri. Bahkan, ketika mendapatkan ujian, hambatan, tantangan, atau masalah tetaplah bersyukur karena ada "skenario besar" Tuhan di balik ujian tersebut yang bisa jadi akan membuat derajat dan kemampuan Anda terasah.

Jangan mengeluh bila Anda menghadapi kesulitan dan tidak membiasakan diri untuk ikut-ikutan mengeluh bila sedang bersama teman-teman yang sedang mengeluh. Beri tanggapan yang positif apabila teman menceritakan keluhannya atau tidak berkomentar sama sekali.

Selalu berpikir positif dan lihatlah perubahan dalam hidup Anda. Semakin banyak Anda bersyukur kepada Tuhan atas apa yang Anda miliki, maka semakin banyak hal yang akan Anda miliki untuk disyukuri.
Presiden Merakyat

Ketika tiga pasangan calon presiden mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), saya ingat Presiden Iran Ahmadinejad. Bukan kagum terhadap keteguhannya dalam mengembangkan teknologi nuklir, tetapi sikap keseharian dan kesederhanaan yang luar biasa. Ahmadinejad memosisikan diri tidak lebih dari seorang pelayan kecil.

Kesederhanaan Ahmadinejad dapat dilukiskan, ia telah memberikan karpet mewah yang ada di istana ke sebuah masjid yang ada di ibu kota Iran. Sementara itu, karpet yang digunakan di istana hanyalah karpet biasa. Masih di lingkungan istana, dia menyuruh pegawai sekretariat untuk merombaknya. Ruangan tamu dibuat lebih sederhana, begitu juga dengan meja dan kursi. Dalam beberapa kesempatan, sang presiden juga bergabung dengan petugas kebersihan kota untuk membersihkan jalan di sekitar rumah dan istana.

Harta yang dimiliki Ahmadinejad adalah mobil Peugeot 504 buatan tahun 1977 dan satu rumah kecil warisan ayahnya empat puluh tahun lalu. Rekening tabungannya nol dan penghasilan yang diterima hanyalah gaji sebagai dosen sebesar kurang dari Rp 2.500.000,00 (250 dolar AS). Selama menjadi presiden, ia tidak pernah mengambil gajinya sebagai presiden, tetapi uang itu dikembalikan ke negara.

Jangan berharap para menteri Iran hidup mewah dengan menghiasi setiap akhir pekan bermain golf. Presiden Iran juga meminta menterinya hidup sederhana. Mereka diminta membuat kontrak politik yang benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat. Ahmadinejad juga mengalihkan pesawat kepresidenan menjadi pesawat angkutan barang (cargo) dengan alasan untuk menghemat pengeluaran negara. Presiden memilih terbang dengan pesawat biasa di kelas ekonomi.

Kalau harus tidur di hotel, sang presiden tidak tidur dengan ruangan dan tempat tidur mewah. Alasannya, ia tidak tidur di tempat tidur, tetapi tidur di lantai beralaskan matras sederhana atau karpet, dan sepotong selimut. Selama ini, dia memilih tidur di rumahnya yang sederhana.

Banyak cerita lainnya, soal keseharian orang nomor satu di pemerintahan Iran. Saat ekonomi Iran memang kurang baik karena embargo dari negara Barat, Ahmadinejad benar-benar berusaha menyatu kehidupannya dengan rakyat. Dia merasakan bagaimana kesedihan dan penderitaan rakyat, bukan dalam sekadar slogan.

Sekalipun istana dan kendaraan digunakan presiden bukan mobil mewah, tidak berarti kewibawaannya di mata rakyat hilang. Rakyat masih tetap menaruh hormat dan peluang untuk kembali menang dalam pemilihan presiden kedua sekarang, cukup besar.

Teman saya mengirim e-mail tentang Presiden Iran bersamaan dengan pendaftaran tiga pasangan presiden ke KPU. Tentu ada pesan lain yang ingin dia sampaikan. Pesan yang ditangkap, apakah tiga pasangan presiden yang mendaftar ke KPU mampu sederhana? Apakah mereka dapat memahami serta menyatukan jiwanya dengan keadaan rakyat?

Sulit menjawab pertanyaan ini. Karena, semua itu dikembalikan kepada komitmen calon presiden kita. Akan tetapi, bangsa ini berharap komitmen presiden terpilih benar-benar untuk mengutamakan kepentingan rakyat, bukan sebatas slogan saat kampanye.
Pertaruhan Pasangan Sipil-Militer

TIGA pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sudah memegang tiket Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2009. Ada pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Jusuf Kalla-Wiranto, dan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto.

Tak bisa dimungkiri, kemampuan figur, dukungan marketing politik (pencitraan) dan logistik akan menjadi "senjata pamungkas" untuk meraih simpati pemilih yang jumlahnya mencapai 171 juta orang. Namun, tiga pasangan kandidat yang akan berkompetisi tampaknya tidak akan lepas dari pakem primordialisme serta kombinasi sipil-militer. Hal yang menarik adalah masih relevankah kekuatan sipil-militer maupun aspek primordial dapat mendongkrak pasangan kandidat di Pilpres 2009?

Dari tiga pasangan capres-cawapres itu, Yudhoyono-Boediono merupakan pasangan Jawa-Jawa dan kombinasi militer-sipil. Begitu juga dengan Megawati-Prabowo yang relatif masih ada unsur Jawa-Jawa serta sipil-militer. Pasangan Kalla-Wiranto agak berbeda, karena memadukan unsur primordial luar Jawa-Jawa, walaupun masih mengandung sipil-militer.

Kepemimpinan nasional pertama merepresentasikan kekuatan Jawa-luar Jawa, yakni pada figur Soekarno yang berasal dari Jawa (Jatim dan Bali) dan M. Hatta (Sumatera Barat/Padang). Faktor primordial ini juga mewarnai dua kali kepemimpinan nasional di era reformasi, yakni duet Megawati Soekarnoputri (Jawa)-Hamzah Haz (Kalimantan/Banjar) dan duet Susilo Bambang Yudhoyono (Jawa)-Jusuf Kalla (Sulawesi).

Pengamat politik Universitas Airlangga Surabaya, M. Asfar mengatakan, aspek primordialisme dalam Pilpres 2009 masih relatif kuat di kalangan pemilih di luar Pulau Jawa. Sehingga faktor primordial Jawa-luar Jawa selalu mengiringi dinamika isu capres-cawapres sejak Indonesia merdeka.

Menurut Asfar, jumlah pemilih di luar Pulau Jawa sekitar 40% dari suara nasional. Rinciannya, pemilih di Sumatera sekitar 20%, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur lainnya sekitar 20%. Sedang 60% pemilih lainnya berada di Jawa. Ia pun menilai di kalangan pemilih di luar Pulau Jawa, sentimen primordial itu masih kuat. Sebaliknya, di kalangan pemilih Jawa, sentimen primordial itu semakin menipis.

"Makanya, kalau ada figur luar Jawa dengan tingkat kapabilitas bagus dan memadai, ya tetap berpeluang dipilih pemilih Jawa. Jadi, ukuran yang paling penting adalah kemampuan figur. Dengan makin rendahnya sentimen Jawa dan luar Jawa di kalangan pemilih Jawa, sebenarnya Kalla berpeluang merebut suara signifikan di kalangan pemilih Jawa," kata Asfar.

Sementara itu, cendekiawan Muslim Abdurrahman, mengatakan bahwa kunci kemenangan bukan karena aspek kultur, melainkan agenda ekonomi yang mampu mengangkat derajat dan martabat rakyat. Muslim tidak menafikan adanya sentimen kedaerahan yang masih melekat pada komunitas tertentu terhadap figur capres-cawapres yang berlaga di Pilpres 2009.

"Tiga pasang kandidat yang berlaga di pilpres ini kini tidak lagi terkategorisasi Jawa-luar Jawa. Dan, hanya satu pasang di antara yang lainnya yang masih mempertimbangkan aspek keterwakilan kedaerahan, Jawa-luar Jawa, yakni pasangan Kalla-Wiranto. Tapi kuncinya, sejauh mana pemimpin mampu menyentuh persoalan dasar rakyat, seperti kemiskinan dan nasib rakyat kecil," kata Muslim.

Pendapat yang sama disampaikan Ketua Dewan Integritas Bangsa yang juga pemimpin Pondok Tebuireng Jombang, K.H. Salahuddin Wahid (Gus Solah). Ia pun menilai, pemilih di Jawa, nilai primordial Jawa dan luar Jawa tak menjadi faktor penting. Hal itu berbanding terbalik dengan pemilih di luar Jawa.

"Dalam pilpres 2009 ini, nilai primordial itu tetap berpengaruh. Mungkin, 10 tahun ke depan (Pilpres 2019) baru tak ada pengaruh itu (primordial Jawa dan luar Jawa)," ujar Gus Solah.

Pendapat berbeda justru dikemukakan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saeful Mujani yang mengatakan bahwa suku bangsa dan kedaerahan tidak punya pengaruh berarti terhadap perilaku pemilih dalam menentukan capres dan cawapres. Justru saat ini para pemilih menentukan pilihannya karena faktor psikologis dan rasional. Mereka akan memilih capres dan cawapres karena persepsi tentang calon dan tokoh, masalah ekonomi, dan bukan karena asal usul kedaerahan mereka.

"Berdasarkan hasil survei update kami tanggal 27 April-3 Mei, Yudhoyono-Boediono dominan di kelompok suku bangsa Jawa, Sunda dan lainnya. Juga di wilayah Jawa-Bali maupun wilayah lainnya," kata Saeful.

Mungkin karena faktor itulah incumbent Yudhoyono memilih Boediono yang berasal dari Jawa, dibandingkan pasangan Kalla-Wiranto yang mengombinasikan Jawa-Luar Jawa. "Yudhoyono sangat percaya sekali survei loh. Tentunya survei yang kredibel," ujar salah satu sumber di lingkaran dalam istana.

Sipil-militer

Indonesia mulai membangun kembali demokrasi modern. Namun dikotomi sipil-militer masih menjadi dagangan capres/cawapres di Pilpres 2009. Apalagi penguatan sipil sudah menjadi keniscayaan pascareformasi.

Merunut ke belakang, pada era demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin, kepala negara dan semua kepala pemerintahan adalah orang sipil murni. Di era Orde Baru dominasi militer dalam sistem politik Indonesia memang sangat nyata.

Kombinasi sipil-militer pun muncul di era reformasi dan Pemilu 2004. Dari lima pasangan capres-cawapres 2004, ada tiga pasangan calon yang merupakan kombinasi sipil-militer. Mereka adalah SBY-JK (militer-sipil), Wiranto-Salahuddin Wahid (militer-sipil), dan Hamzah Haz-Agum Gumelar (sipil-miiter).

Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional, Umar S. Bakry mengatakan, faktor kombinasi sipil-militer masih dibutuhkan meskipun tidak dominan. Bahkan, kombinasi sipil-militer maupun militer sipil masih jauh lebih kuat terhadap kombinasi Jawa-luar Jawa.

Umar mengatakan, dalam berbagai survei dan wawancara mendalam dengan responden, kombinasi sipil-militer maupun militer-sipil, masih menjadi harapan ideal pemilih. Alasannya, kombinasi sipil-militer atau militer sipil bisa menjaga keamanan negara dan kegamangan bangsa serta menjaga pilar pembangunan demokrasi.

"Hasil survei terakhir kami, ada empat model yang jadi pilihan responden. Urutan pertama adalah kombinasi militer-sipil (dipilih 70,7 persen responden), setelah itu sipil-militer (60,7 persen), sipil-sipil (58,9 persen), dan terakhir militer-militer (56,6 persen)," kata Umar.

Umar pun mengatakan kombinasi militer-sipil lebih berpeluang menang atas kombinasi yang lainnya. Namun sosok figur sipil yang kuat seperti Jusuf Kalla bisa saja meruntuhkan asumsi itu. "Kalla, apabila dipoles dengan pencitraan yang tepat, bisa mengalahkan Yudhoyono-Boediono yang kombinasi militer-sipil," kata Umar.

Dari segi kombinasi sipil-militer dan Jawa-luar Jawa tentunya akan menjadi pertaruhan pasangan Yudhoyono-Boediono bahwa kedua aspek itu tidak berpengaruh terhadap pemilih. Jika pasangan Yudhoyono-Boediono itu menang di Pilpres 8 Juli mendatang, maka mereka akan mencetak rekor bahwa aspek primordialisme pasangan capres-cawapres kemungkinan besar sudah tidak ada pengaruhnya terhadap respons perilaku pemilih.