Stop Gibah!

kesempurnaan dan kenikmatan luar biasa yang diberikan Allah kepada manusia adalah kemampuan berbahasa, berbicara, dan berkomunikasi secara baik. Kemampuan berkomunikasi dan berbicara ini jika tidak dijaga dengan baik oleh sang pengguna lidah, akan terpeleset kepada pembicaraan-pembicaraan yang dilarang oleh agama, sehingga menimbulkan kerusakan hubungan sosial, karakter pribadi, dan memicu permusuhan atarsesama. Itu karena manusia tidak pandai menjaga lisannya dan penyakit yang sering menimpa lisan kita adalah gibah.

Seolah telah menjadi makanan lezat sehari-hari, gibah adalah roti manis santapan kita ketika sarapan pagi di rumah, menu utama ketika makan siang, dan pengiring yang paling asyik sebelum tidur. Rasanya, aktivitas sehari-hari tidak sempurna kalau tidak membicarakan kejelekan, keburukan, dan kelemahan orang lain. Hal ini diperkuat dengan tayangan-tayangan infotaiment yang nyata-nyata telah menggiring kita untuk menciptakan lingkungan rumah, kantor, kantin, dan tempat kita berkumpul, sebagai ruangan gibah yang mengasyikan. Parahnya lagi, disadari atau tidak, gibah hampir menjadi kebutuhan lisan kita setiap hari. Padahal Allah SWT telah memperingatkan dalam firman-Nya, "… Dan janganlah di antara kamu yang menggunjing (meng-ghibbah) sebagian yang lainnya, apakah ada di antara kamu memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik…." (Q.S. Al-Hujurat : 12)

Kata gibah merupakan musytaq dari al-ghib, artinya lawan dari tampak, yaitu segala sesuatu yang tidak diketahui bagi manusia, baik yang bersumber dari hati atau bukan dari hati. Maka, gibah bisa diartikan membicarakan orang lain tanpa sepengetahuannya, baik isi pembicaraan itu disenanginya ataupun tidak disenanginya, kebaikan maupun keburukan. Jika didefinisikan secara umum, gibah terjadi jika seorang Muslim membicarakan saudaranya sesama Muslim tanpa sepengetahuannya, tentang hal-hal keburukannya dan yang tidak disukainya, baik dengan tulisan maupun lisan, terang-terangan maupun sindiran.

Sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa Nabi saw. pada suatu hari bersabda, "Tahukah kalian apa itu gibah? Para sahabat menjawab, ’Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Maka Nabi saw. berkata, ’Engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang tidak disukainya.’ Para sahabat berkata, ’Bagaimana jika pada diri saudara kami itu benar ada hal yang dibicarakan itu?’ Nabi saw. menjawab, ’Jika apa yang kamu bicarakan benar-benar ada padanya maka kamu telah menggibahnya, dan jika apa yang kamu bicarakan tidak ada padanya maka kamu telah membuat kedustaan (fitnah) atasnya.’" (H.R. Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Sudah menjadi kebiasaan kita, jika ada teman datang membawa berita tentang seseorang, kita akan dibuat penasaran untuk mendengarkan lalu berkomentar sesuka hati, tentang seseorang yang menjadi objek pembicaraan. Kita dibuat terlena dan tidak merasa dosa dengan apa yang kita bicarakan. Kita langsung percaya dengan apa yang dikabarkan oleh saudara kita, tanpa mempertimbangkan dan mengadakan check and recheck (tabayyun) terlebih dahulu.

Dalam firman-Nya, Allah SWT telah memberi penjelasan, "Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu." (Q.S. Al-Hujurat : 6)

Selain karena tidak adanya tabayyun terhadap orang yang membawa berita, lingkungan juga sangat memengaruhi terciptanya gibah. Lingkungan yang terbiasa dengan hal-hal sepele akan mendorong terciptanya gibah. Orang-orang yang terbiasa disibukkan dengan hal kecil dan tidak mengetahui masalah-masalah besar yang dihadapi umat, akan terus mencari-cari kesalahan orang lain karena banyaknya waktu yang dimilikinya. Seandainya waktu tersebut digunakan untuk mengurus masalah-masalah umat yang sudah sedemikian gawat maka tidak akan ada waktu baginya untuk menggibah. Hal ini pula dimungkinkan karena tidak mengerti tentang prioritas amal yang harus dilakukan.

Orang yang suka menggibah adalah orang yang penuh dengan kedengkian dan iri hati. Ketika kedengkian telah bersarang di dalam hati maka matahari yang terang bersinar akan terlihat gelap gulita. Tanaman yang indah merona akan tampak buruk dan sumpek. Tidak ada kebaikan yang terlihat. Yang terlihat bagi orang seperti ini adalah kelemahan, keburukan, dan kejelekan saudaranya, yang akan dijadikan bahan gunjingan kepada semua orang yang ditemuinya.

Seorang penggibah biasanya suka menutupi kelemahan dirinya. Jangan sampai kelemahannya itu diketahui orang lain, sehingga ia berusaha menjelekkan orang lain. Hal ini dilakukannya karena ia merasa akan kalah pengaruh dan ketenaran dari orang yang digibahnya. Maka ia menggibah orang tersebut, untuk menutupi kekurangannya dan kelompoknya, sehingga orang-orang memujinya dan menganggapnya alim.

Padahal, Allah telah memperingatkan, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengejek kaum yang lain, karena boleh jadi yang diejek itu lebih baik dari kamu (di sisi Allah)…. Dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri (saudara sesama Muslim) dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk setelah kalian beriman, dan barangsiapa yang tidak segera bertaubat, maka itulah orang-orang yang zalim." (Q.S. Al-Hujurat : 11)

Akibatnya, jalinan persaudaraan di antara sesama Muslim menjadi rusak, ikatan kepercayaan semakin retak, dan permusuhan semakin merajalela. Mulut yang seharusnya dipenuhi dengan zikir, malah penuh dengan caci maki, perpecahan, dan silang sengketa yang tidak putus-putusnya di kalangan Muslim, yang kesemuanya itu bukan akhlak yang islami.

Padahal, Allah SWT telah memerintahkan kepada orang-orang beriman agar memperkuat persaudaraan di antara mereka dan menyatakan bahwa persaudaraan itu sebagai salah satu tanda keimanan. Artinya, seorang Muslim seharusnya menjaga kehormatan sesama Muslim yang lain. Alangkah indahnya hidup sesama Muslim, jika kita renungkan sabda Rasulullah saw., "Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya sesama Muslim maka Allah SWT akan membelanya dari neraka kelak di hari Kiamat." (H.R. Tirmidzi dan Ahmad)

"Ketika aku dimirajkan, aku melihat ada satu kaum yang memiliki kuku-kuku panjang dari tembaga, sedang mencakari muka-muka dan dada-dada mereka sendiri. Maka aku bertanya pada Jibril, siapa mereka ini? Jibril menjawab, ’Mereka adalah orang-orang yang suka memakan daging manusia dengan merusak kehormatan mereka’." (H.R. Abu Daud dan Ahmad)

Dengan demikian, karena Muslim adalah saudara maka kewajiban kita adalah menjaga kehormatannya. Aib saudara kita adalah aib diri kita sendiri. Ketika kita menceritakan aib saudara kita sesama Muslim, itu berarti menceritakan aib diri kita sendiri. Dengan begitu, kita akan berusaha menjaga lisan kita, karena sesungguhnya keselamatan manusia diukur sejauh mana ia mampu menjaga lisannya. Rasulullah saw. bersabda, "Muslim dengan Muslim lainnya itu bersaudara, tidak boleh mengkhianati, mendustakan, dan menghina. Setiap Muslim dengan Muslim lainnya haram kehormatan, harta, dan darahnya. Takwa itu di sini! (Nabi saw. menunjuk pada dadanya). Cukup disebut seorang itu jahat jika ia mencaci saudaranya sesama Muslim." (H.R. Muslim).***