Memanfaatkan Nikmat Allah SWT

SETIAP zaman, orang berlomba-lomba mencari kenikmatan duniawi, baik berskala kecil melalui upaya mencari nafkah perseorangan, maupun berskala besar melalui kekuatan bangsa dan negara. Dalam perlombaan tersebut, sering terjadi berbagai benturan, mulai dari konflik pribadi hingga kobaran perang. Seolah-olah takut kehabisan, takut tidak kebagian, iri kepada keberhasilan orang lain, menyesali ketidakmampuan diri sendiri, dan aneka sikap serta tindakan serbajelek.

Padahal, Allah SWT memberikan nikmat kepada umat manusia dan segenap makhluk-Nya dalam jumlah tak terbatas. Unlimited. Tak mungkin dapat dihitung satu per satu. Dinyatakan dalam Q.S. Ibrahim ayat 34: "Dan Dia telah memberikan kepadamu dari segala apa yang kamu mohonkan. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan suka mengingkari (nikmat Allah)."

Seandainya semua air di lautan dijadikan tinta untuk menuliskan sabda Allah SWT, mencakup rahmat, nikmat, pertolongan, peringatan, seruan kepada haq, dan lain-lain, lautan akan kering sebelum semuanya berhasil dicatat. Bahkan, jika didatangkan tinta tambahan sebanyak itu pula, tetap tidak akan cukup. Itulah bukti kebesaran Allah SWT dengan limpahan nikmatnya yang sangat-sangat tidak terbatas (Sayed Hosen Nashr, tafsir Q.S. Al Kahfi:109).

Menurut sabda Nabi Muhammad saw., hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim, Allah SWT memiliki seratus rahmat (nikmat). Satu rahmat diturunkan di muka bumi. Dibagikan kepada semua makhluk-Nya dari jenis manusia, jin, hewan, dan tumbuhan. Dengan rahmat yang satu itu, di antara para makhluk, tumbuh rasa sayang-menyayangi. Termasuk keledai liar yang mengasihi anaknya. Adapun 99 rahmat lagi, disediakan Allah SWT untuk di akhirat. Dengan rahmat yang 99 tersebut, Allah SWT mengasihi hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.

Allahu Akbar. Betapa agung kemahakuasaan Allah SWT. Hanya dengan satu persen rahmat-Nya di dunia, telah membuat manusia melimpah ruah dengan berbagai kekayaan alam, berupa tambang emas, perak, minyak, mutiara, dan jutaan jenis mineral lain, baik yang sudah dieksplorasi, maupun yang masih dicari-cari. Yang memberi manfaat bagi hidup dan kehidupan perseorangan, masyarakat, rakyat, bangsa, dan negara.

Namun, dalam menyikapi nikmat karunia tak ternilai itu, manusia terbagi ke dalam tiga kelompok.

Pertama, kelompok yang bersyukur. Mensyukuri nikmat Allah SWT untuk digunakan di jalan yang benar, sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Sikap syukur paling sederhana, adalah mengucapkan "alhamdulillah" (segala puji bagi Allah), setiap mendapat kenikmatan. Sikap syukur yang lebih luas, diwujudkan dalam bentuk taat kepada Allah, mematuhi dan melaksanakan segala perintah-Nya, sekaligus meninggalkan segala larangan-Nya.

Jika mendapat nikmat kekuasaan, digunakan untuk menegakkan keadilan, melindungi orang-orang yang lemah teraniaya, membangun sarana-sarana kepentingan umum penuh ikhlas dan pengabdian, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jika mendapat nikmat kekayaan, sebagian kekayaan itu, minimal 2,5%, dikeluarkan untuk zakat, infak, sedekah, jariyah, dan amal kebajikan sosial lainnya. Orang yang mensyukuri nikmat, akan mendapat tambahan nikmat berlipat ganda (Q.S. Ibrahim:7).

Kedua, kelompok yang kufur. Kelompok ini menggunakan nikmat yang mereka terima dari Allah SWT, berupa kekuasaan atau kekayaan, untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Menentang aturan Allah dan Rasul-Nya. Mereka asyik melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT, sekaligus meninggalkan segala perintah-Nya. Kelompok tersebut adalah yang dimaksud dalam Q.S. Ibrahim:7, mendapat azab amat pedih (inna adzabi lasyadid). Azab yang mungkin mereka terima langsung di dunia dan pasti akan diterima di akhirat kelak.

Ketiga, kelompok bimbang dan ragu, tak punya pendirian tetap. Ibarat pucuk bambu, mengarah ke mana angin bertiup. Jika mendapat nikmat, mereka bergembira ria. Bahkan, lupa sama sekali untuk bersyukur. Namun, jika ditimpa kekurangan, mereka menggerutu, putus asa. Firman Allah SWT, "Sebagian manusia ada yang menyembah Allah, di pinggir-pinggir saja (ragu-ragu, tidak sungguh-sungguh), sehingga kalau mendapat kebaikan, bersenang hati, tapi kalau mendapat cobaan, berputar ke belakang. Orang-orang demikian, akan mendapat kerugian di dunia dan akhirat.Itulah kerugian yang nyata." (Q.S. al Hajj:11).

Kelompok semacam ini jika mendapat kesenangan, merasa disayang dan dimuliakan Allah. Tetapi, apabila mendapat ujian kesulitan, rezekinya surut. Ia merasa dihinakan oleh Allah SWT (Q.S. al Fajr:15-16). Karena kelompok ini hanya mampu menilai apa-apa yang tampak di permukaan, yang dapat diraba, dibaca, dan dicatat. Serbamaterialistis. Sedangkan yang bersifat batin, yang simbolis, spiritualis, diabaikan sama sekali. Bahkan, tidak dipercaya sama sekali.

Memburu kesenangan fisik material bersifat duniawi, sudah merupakan bagian dari fitrah makhluk. Tidak dapat dihindarkan lagi. Namun, bagi orang-orang yang mampu bersyukur, terdapat batas-batas norma dan kewajaran, menyangkut cara dan tujuan setelah mendapat hasil buruan. Yaitu menempuh cara halal dan baik, serta bertujuan mencapai rida Allah SWT. Sehingga, segala hasil yang dicapai, semata-mata untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada-Nya.

Mengingat hari akhir merupakan bagian tak terpisahkan dari kesibukan hidup di dunia. Apalagi, porsi kenikmatan ukhrowi tersedia 99%, yang semuanya dapat diperoleh melalui ketaatan kepada Allah SWT melalui ibadah ritual kepada-Nya dan ibadah sosial, berbuat amal kebaikan kepada sesama makhluk-Nya.***