Memahami Musibah

Tahun 2009 lalu disebut-sebut sebagai tahun musibah. Di negeri kita sendiri, yang sangat membuat kita sedih, di antaranya kejadian gempa di Jawa Barat dan Sumatra Barat. Atas bencana-bencana tadi, tentu saja yang paling mendasar harus kita kembalikan kepada keimanan. Kita mesti meyakini bahwa rentetan kejadian bencana atau musibah itu adalah sesuatu yang telah Allah SWT agendakan, tersusun jelas dalam rencana-Nya. ”Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami (Allah) menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (Q.S. al-Hadid: 22).

Bahkan tidak hanya berlaku pada kejadian-kejadian besar sebagaimana telah disebutkan di atas, tetapi juga menyangkut kejadian-kejadian yang sepele dalam pandangan kita seperti tentang jatuhnya selembar daun dan sebutir biji-bijian dari pohon. ”Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (Q.S. Al-An’am: 59).

”Musibah” dalam sebuah definisi disebutkan, Kullu amrin makruhun (segala sesuatu yang tidak diinginkan). Sementara yang disebut dengan ”nikmat” tentu adalah kebalikannya, yaitu sesuatu yang diinginkan semua orang. Jadi antara nikmat dan musibah adalah sesuatu yang berlawanan. Tidak akan mungkin bertemu keduanya dalam satu kejadian. Demikian, umumnya pandangan kita.

Namun jika melihat cara berpikir Ummar bin Khattab, ternyata berlawanannya antara musibah dan nikmat itu bisa dipadukan pada satu peristiwa. ”Tidak ada musibah yang menimpa aku, kecuali memberi kenikmatan,” kata Ummar. Pertama, selama musibah tersebut bukan merupakan musibah agama. Ummar melihat jika kehancuran moral manusia sudah terjadi di mana-mana, manusia tidak lagi hidup berdasarkan kepada norma-norma ilahiiyah, permisifisme atau menghalalkan segala cara, rasa malu berbuat dosa sudah tidak ada, bahkan merasa bangga dengan perbuatan-perbuatan dosanya, maka inilah yang disebut musibah agama.

Inilah musibah atau bencana besar. Besar karena dampaknya yang luar biasa serta besar karena untuk memperbaikinya memerlukan waktu yang sangat panjang karena dampaknya yang bisa jadi akan turun-temurun. Ongkos untuk memperbaikinya pun tak terukur besarnya. Itu pun belum tentu bisa. Dahsyatnya akibat dari kehancuran moral ialah akan menghancurkan berbagai tatanan kehidupan lainnya, termasuk akan hancurnya segala hal yang telah dihasilkan oleh jerih payah manusia dalam membangun negerinya.

Jika kita melihat kepada kehancuran sarana dalam bentuk jalan, rumah atau gedung-gedung akibat gempa, itu adalah sesuatu yang bisa diperbaiki dalam waktu dan biaya yang bisa diperkirakan jumlahnya. Jika kehancuran moral manusia sudah merajalela, maka bencananya akan menimpa kepada siapa pun, bahkan termasuk kepada orang-orang yang tidak berbuat dosa sekalipun. ”Dan takutlah kamu semua terhadap suatu bencana yang tidak hanya akan menimpa kepada orang-orang zalim saja. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya” (Q.S.Al-Anfal: 25).

Kedua, kata Ummar, semua musibah itu menjadi ringan dan memberi kenikmatan selama musibah tersebut tidak lebih besar dari musibah yang menimpa orang lain. Suatu hari, ada seseorang ditimpa penyakit. Oleh karena di rumah atau di kampung itu hanya dia yang mengalami sakit, terpikirlah bahwa dia sedang mendapat musibah yang dirasakan berat. Saat berbaring merasakan sakit, dia melihat tayangan di televisi tentang sebuah rumah sakit yang penuh dengan orang yang ditimpa berbagai penyakit yang berat-berat. Lalu terpikirlah oleh dia bahwa ternyata ada orang-orang yang ditimpa penyakit yang lebih berat daripada dirinya. Seketika itu pula dia merasakan bahwa untung penyakitnya tidak lebih berat daripada penyakit yang menimpa orang lain.

Ketiga, kata Ummar, musibah menjadi terasa ringan dan memberi kenikmatan karena dengan musibah tersebut Allah menjanjikan pahala atau pengganti yang lebih baik. Dalam konteks spiritual bahwa musibah itu menimpa kita kemudian kita sabar menerimanya, maka hal itu akan menjadi penghapus dosa-dosa kita. Jangankan tertimpa oleh sebuah musibah besar, sekecil apa pun musibahnya akan dikalkulasikan sebagai penghapusan dosa. ”Seorang Muslim yang ditimpa oleh keresahan dan kesusahan; oleh keletihan dan kesakitan; oleh kesedihan dan gangguan sekalipun, gangguan itu hanya berupa duri yang mengenainya, maka Allah menghapuskan dengannya kesalahan-kesalahannya” (H.R. Bukhari).

Kemudian dari sisi spiritual juga bahwa musibah yang menimpa dan kemudian disikapi dengan sabar akan mengantarkan ketinggian derajat spiritual orang yang mengalaminya. Ibnu Abas r.a., sahabat Rasul saw. yang digelari syaikhul mufassirin (guru para ahli tafsir) mengatakan, ”Kesabaran dalam Alquran ada tiga macam; pertama, kesabaran untuk menunaikan kewajiban-kewajiban karena Allah, hal ini mempunyai tiga ratus derajat; kedua, kesabaran untuk tidak melanggar larangan-larangan Allah, hal ini mempunyai enam ratus derajat; ketiga, kesabaran dalam menghadapi musibah pada pukulan pertama, hal ini mempunyai sembilan ratus derajat.”

Kalau musibah itu adalah sebuah ujian, maka apa pun bentuknya, manusia beriman harus memahami bahwa dirinya akan ditimpa ujian tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan Allah bahwa musibah itu adalah sebuah kensicayaan. Suatu peristiwa yang semua orang akan mengalaminya. Hari-hari ini mungkin kita sedang menyaksikan berbagai musibah sedang menimpa orang lain nun jauh di sana. Cepat atau lambat, besok atau lusa, kita akan mendapat giliran pula. Kita tidak bisa menghindar. Namun meskipun tidak bisa dihindari, jangan dulu kita cemaskan.

Dengan keimanan, mari persoalannya kita kembalikan kepada yang mempergilirkan musibah tadi, yakni Allah swt. Ternyata Allah pun memberi ruang kepada kita. Seandainya musibah itu adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dihindari tetapi mungkin bisa untuk dikurangi, sebagaimana dalam firman-Nya yang menjadi tuntunan doa bagi kita, ”Ya Allah, Rabb kami, jangan Engkau beri kami cobaan yang kami tak akan sanggup menerimanya” (Q.S. Al-Baqarah: 287).

Jadi, jika musibah itu adalah sebuah keniscayaan dalam hidup, semoga musibah yang akan menimpa itu bukan musibah yang di luar kemampuan kita. Ikuti apa yang menjadi harapan kita dengan amal-amal baik kepada sesama. Gemarlah bersedekah karena sedekah itu menjadi salah satu penutup datangnya bencana dan kejahatan. Wallahualam.***