Ibu Segala Mudik
Ramadan akan berakhir. Kita sedih ditinggalkannya. Akankah kita berjumpa lagi dengannya kelak? Meski kaum Muslim di seluruh dunia menunaikan saum, Ramadan kita tetap beda. Suatu ritus penting yang menandai keunikannya adalah mudik. Setiap bangsa punya tradisi mudik dalam hari-hari penting mereka. Apa sesungguhnya makna mudik bagi kita?
Sebenarnya setiap hari pun kita mudik, dari tempat kerja ke rumah kita. Mahasiswa yang kuliah atau pegawai yang bekerja di luar kota boleh jadi mudik sebulan sekali. Salah satu alasannya adalah keterasingan di pengembaraan. Dalam masyarakat pascaindustri, terjadi erosi pola-pola sosial; komunikasi tatap muka tradisional digantikan oleh komunikasi via teknologi komunikasi yang menghilangkan jati diri dan keintiman dengan sesama. Di kota-kota besar khususnya, banyak orang merasa tak berdaya karena tercabut dari akar budaya mereka, dan semakin anonim, karena mereka hidup di perkotaan yang berubah pesat. Benar Arnold Dashefsky (1976) bahwa kemajuan masyarakat masa ini telah menimbulkan keterasingan yang tinggi secara perseorangan dan perubahan besar secara sosiokultural, yang mendorong orang-orang mencari sumber keamanan yang nostalgik, hangat, dan menyenangkan, seperti kelompok etnik.
Secara sosiologis, mudik Lebaran berfungsi melestarikan identitas kaum Muslim, menyegarkan kenangan masa kecil, dan sekaligus merupakan mekanisme untuk mengukuhkan kembali jati diri mereka yang bersifat primordial. Bisa dipahami bila saat mudik orang menziarahi makam orang tua atau leluhur, untuk menegaskan kembali "asal muasal kita" yang berkaitan dengan agama ataupun kesukuan. Bagi kebanyakan orang, mencantelkan diri pada suatu budaya dan atau agama yang unik adalah niscaya. Menurut John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990), ketika orang-orang diterpa perubahan, kebutuhan akan kepercayaan spiritual menguat. Ilmu dan teknologi tidak mengajarkan kepada kita apa makna hidup. Agamalah yang menjelaskan hal itu.
Kesukuan, di samping agama, secara tradisional merupakan aspek terpenting konsep diri kita. Howard F. Stein dan Robert F. Hill (1977) menyebutnya inti diri (the core of one`s self), sedangkan George De Vos (1975) melukiskannya dalam arti sempit sebagai "perasaan kontinuitas dengan masa lalu, perasaan yang dipupuk sebagai bagian penting definisi diri." Alex Haley dalam novelnya Roots secara dramatik melukiskan Antoinette Harrel-Miller, ibu rumah tangga berkulit hitam AS yang melakukan tes DNA untuk melacak nenek moyangnya. Warga New Orleans ini menangis karena bahagia setelah ia mengetahui bahwa nenek moyangnya adalah orang-orang Tuareq Nomadik yang bermukim di Nigeria dan beberapa bagian Afrika Barat.
Konsep diri sebenarnya juga diajarkan dalam Islam, tetapi bukan konsep diri kultural yang artifisial. Konsep diri dalam Islam adalah konsep diri yang sejati, yakni kita adalah hamba Allah yang harus taat dan patuh kepada-Nya. Inti konsep diri kita adalah roh yang suci. Maka jika kita mendefinisikan mudik dunia adalah kembali ke akar budaya, mudik sejati yang saya sebut sebagai ibu segala mudik adalah pulang ke haribaan Allah SWT. Kita dulu adalah roh yang suci, "Bukankah Aku Tuhanmu?" tanya Allah ketika kita masih roh. Lalu kita menjawab: "Ya kami bersaksi bahwa Engkau Tuhan kami" (Al-Araf:172). Nabi saw. pernah bersabda, "Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya."
Di dunia ini pada akhirnya kita tak bisa pergi ke mana-mana, kecuali kepada Allah. "Ke mana kalian akan pergi" (At-Takwir:26). "Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah" (Al-Baqarah:156). Sedangkan dunia ini sendiri akan binasa, "Semua yang ada di bumi akan binasa. Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan" (Ar-Rahman:26-27). Maka kepergian itu haruslah kita persiapkan. Persiapan itu harus jauh melebihi persiapan mudik sementara seperti ketika kita mudik Lebaran. Intinya kita harus pergi dengan jiwa suci ketika kita dipanggil Allah, "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku" (Al-Fajr:27-30).
Kumail, sahabat Ali ra pernah bercerita, "Suatu hari Ali sampai di suatu tempat kosong dan mendekati kuburan dan berkata, ’Wahai penghuni kubur! Wahai engkau yang hidup dalam kesunyian, bagaimana nasibmu di dunia sana?’ Ali melanjutkan, ’Berita dari pihak kami adalah bahwa semua kekayaan yang kau tinggalkan di sini telah dibagi-bagikan; anak-anakmu kini menjadi yatim; janda-jandamu telah lama menikah lagi. Sekarang berilah kami kabarmu.’ Ali kemudian berpaling kepadaku, kata Kumail, dan berkata, ’Wahai Kumail. Bila saja mereka dapat berbicara, mereka akan memberi tahu kita bahwa bekal terbaik untuk menuju akhirat adalah takwa.’ Air mata Ali bercucuran. Ali menambahkan, ’Wahai Kumail, kuburan adalah penampung amalan-amalan kita; namun orang hanya menyadarinya setelah mati.’"
Selamat berlebaran. Mohon maaf lahir dan batin.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar