Spiritualitas Pulang Kampung
Hari-hari ini suasana masyarakat Indonesia diwarnai dengan kesibukan pulang ke kampung halaman untuk merayakan Lebaran. Bicara kampung halaman, bukan sekadar desa yang dibedakan dengan kota tempat merantau. Juga bukan hanya bicara wilayah rural yang tertinggal dibandingkan dengan wilayah urban yang maju. Bicara kampung halaman ialah bicara satu-satunya faktor awal dan musabab segalanya yang hidup, yakni tanah. Kebetulan halaman juga identik dengan tanah, pekarangan di sekitar rumah. Pulang ke kampung halaman berarti pulang ke tanah. Tentu bukan dalam makna kematian, meski memang semuanya akan kembali ke tanah (kubur). Pulang ke tanah juga bermakna kembali ke asal kehidupan dari mana kita disemai dan menjadi besar.
Orang Aborigin di Australia menganggap tanah sebagai tulang punggungnya dan sumber segala-galanya. Dalam filosofi Cina, tanah menjadi salah satu unsur penentu. Simbol gunungan pada tradisi pewayangan menggambarkan lima unsur alam, yakni tanah, air, api, angin, dan ruang. Semuanya ingin mengatakan, hargai dan pelihara tanah, land is sacred. Pulang ke kampung halaman ialah untuk me-recharge energi kehidupan kita yang selama merantau low-batt.
Halaman bukan wilayah pribadi seperti di kota dengan tembok tinggi dan anjing penjaga. Halaman adalah wilayah publik di mana ketika kembali ke kampung kita diposisikan kembali kepada kebersamaan dan saling ketergantungan yang melengkapi. Tidak ada halaman yang begitu egois di desa, dari kawinan, sunatan, menjemur padi, bercengkerama di senja hari, tempat bermain petak umpet di malam hari, bahkan bukan suatu yang aneh halaman menjadi kuburan keluarga. Halaman juga bukan hanya monopoli manusia belaka; sapi, kambing, ayam, burung, bebek, dan lain-lain, bebas berekspresi di halaman. Berbagai pepohonan, tanaman buah, palawija, perdu, dan rumput juga berhak hidup di halaman. Kembali ke kampung halaman ialah kembali kepada kesatuan itu, yang mungkin selama di kota atau perantauan terkotak-kotakkan. Hutan beton dan jalan tol adalah hak kendaraan dan manusia kota, tidak untuk pepohonan atau musang hutan.
Pulang kampung dengan begitu bukan hanya pulang kepada kebersamaan dan silaturahmi dengan sanak saudara di kampung, tetapi juga pulang kepada totalitas kehidupan asal yang melingkupi. Tanah, air, flora, fauna, hutan, danau, sungai, sawah-ladang, udara bersih, dan seterusnya. Dengan begitu, pulang kampung lebih dari pamer sukses di desa. Pulang kampung adalah kesadaran akan gerakan hijau (green action) yang menarik silaturahmi antarsanak saudara, kebersamaan dengan sesama tanpa pandang bulu dan koeksistensi yang saling menghidupi dengan lingkungannya. Jangan cuma bawa blackberry, bawa juga bibit pohon (luar negeri) yang kita beli di kota untuk keanekaragaman hayati di desa. Jangan cuma rindu dengan keluarga tanpa tanyakan kabar pohon sawo yang ditanam di samping rumah.
Di kampung berlaku hukum kita memetik buahnya tetapi juga memelihara pohon dan menyemai sisa bijinya. Kampung halaman tidak bisa didekati dengan cara pandang faktor produksi yang bisa dieksploitasi sesukanya. Ketika kita kembali ke kota jangan cuma membawa oleh-oleh kampung, bawa juga bibit pohon suren, trembesi, alpukat, arumdalu, agar kota tidak monokultur. Ayam cemani atau fauna lokal boleh juga dibawa agar peradaban kota lebih prolingkungan semua yang hidup (biosentris) dan bukan hanya promanusia (antroposentris).
Secara substansi setiap manusia memang harus pulang. Lebaran bicara kembali ke fitrah, pulang kampung juga tak jauh dari kembali ke fitrah kehidupan, yakni tanah. Memang akhir dari kembali ke tanah ialah kematian, tetapi awal dan yang memelihara kehidupan juga ada di tanah. Pulang kampung dengan begitu harus dimaknai bukan hanya merayakan Lebaran, tetapi juga merayakan fitrah manusia sebagai mahluk hidup yang merupakan bagian dari alam raya.
Pulang kampung menyadarkan bahwa manusia rentan, makanya ia perlu pulang untuk mengingat kembali hukum-hukum alam, di mana manusia hanya salah satu dari keanekaragaman hayati mahluk hidup. Pulang kampung harus bisa meletakkan tanah sebagai "ibu bumi" kita. Mumpung bulan masih penuh dengan berkah dan ampunan, silaturahmi terbuka 24 jam dan kembali ke fitrah menjadi tujuan, pulang kampung jangan hanya wisata hari raya atau menengok kerabat. Pulang kampung lebih dari relaksasi, ia mestinya menjadi rejuvenasi dari cara pandang dikotomis urban maju-rural tertinggal menjadi kesinambungan. Kehidupan urban tanpa basis kampung halaman dimana tanah sebagai titik pertumbuhan dan kehidupan hanya akan membawa kepada kesengsaraan. Kampung halaman dan tanah sebagai basisnya hanya mengenal kesatuan kehidupan alam raya yang saling melengkapi. Inilah spiritualitas pulang kampung yang perlu disadari. Ia memikirkan, merasakan, dan mengikhtiarkan segala apa pun yang tumbuh dan hidup di kampung halaman entah itu hubungan antarkerabat, sesama, flora, fauna, mata air, danau, sungai, udara, dan lain-lain, yang bergerak menuju kualitas semakin baik sebagai ukuran kehidupan yang makin sempurna. Ayo mudik, lestarikan dan berdayakan tanah, lingkungan, dan kehidupan kampung halaman kita.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar