Reformasi Faset Kedua Menegakkan Republik
Reformasi 1998 menandai perubahan dari rezim otoritarian menuju era demokrasi. Kekuasaan monolitik yang mengekang kebebasan, didekonstruksi untuk menciptakan tatanan baru yang menempatkan warga negara sebagai subjek politik. Inilah, esensi gerakan reformasi yang digelorakan seluruh komponen bangsa ketika itu.
Jika Pemilu 1999 tonggak awal menjalankan agenda reformasi, maka genap satu dasawarsa reformasi ditempuh. Namun, di tengah keberhasilan yang diraih, masih meninggalkan banyak persoalan menyelimuti kehidupan kepolitikan. Yang paling menyesakkan dada, politik melenceng jauh dipahami sebatas manipulasi, komersialisasi atau sesuatu yang berkonotasi kotor.
Situasi ini sangat berbahaya, karena dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada politik dan institusi politik. Gugatan terhadap demokrasi melalui sikap apatis sebenarnya wujud ketidakpercayaan itu. Akhirnya, mereka mencari jalan sendiri lewat pemikiran-pemikiran sempit, primordial, dan absolut.
Di titik ini, dibutuhkan metapolitik baru, yakni menegakkan republik dalam melanjutkan reformasi faset berikutnya. Mengingat, tidak bisa memberi beban terlalu berat pada demokrasi yang juga membawa paradoksnya. Demokrasi merupakan penanda kosong (empty signifier) yang dihuni oleh siapa pun, tanpa kecuali mereka yang antidemokrasi. Kontestasi merebut arena demokrasi lewat pemilihan suara terbanyak (mayority vote) misalnya, memungkinkannya tergelincir pada tirani mayoritas.
Menegakkan republik memiliki makna sepadan dengan kembalinya politik selaras pemahamannya yang luhur. Politik dalam pandangan republik sejatinya keutamaan umum (common goods). Politik yang mengedepankan kemaslahatan publik di atas kepentingan privat, dan politik yang dilandasi nilai-nilai kebajikan bukan politik ”dagang sapi” atas dasar transaksional.
Menegakkan republik tidak berarti menggantikan jalan demokrasi, akan tetapi justru meneguhkan demokrasi sekaligus mengatasi kelemahan-kelemahannya. Sebab, republik sesuatu yang konstan sepanjang kedaulatan negara eksis, sementara demokrasi dapat diabaikan kalau sudah melanggar republik.
Agenda reformasi
Menegakkan republik sebagai metapolitik reformasi faset kedua semakin memiliki relevansinya, saat dihadapkan dengan kenyataan politik dewasa ini. Agenda reformasi sesungguhnya mengoreksi rezim otoritarian yang ditopang oleh ABRI (TNI/Polri), Birokrasi, dan Golkar. Tiga institusi itu selama Orde Baru berkuasa melakukan hegemoni terhadap kehidupan kepolitikan, sehingga kekuasaan terpusat secara monolitik tidak ada perimbangan, apalagi kontrol terhadap kekuasaan.
Oleh karena itu, tuntutan reformasi terhadap TNI adalah mencabut dwi-fungsi TNI dan pemisahan Polri dari institusi TNI, melaksanakan reformasi birokrasi untuk menghilangkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sudah menahun di tubuh birokrasi, dan deliberasi politik dengan sistem multipartai agar berkembang partisipasi publik.
TNI dan Golkar memang tidak lagi dominan menjadi instrumen kekuasaan. Tetapi, kalau dicermati segitiga penopang kekuasan itu tetap ada, hanya bertransformasi dalam bentuk lain. TNI digantikan oleh kekuatan korporasi, dan oligarki partai politik mengubah posisi determinan Golkar. Sementara, birokrasi belum tuntas melakukan reformasinya. Jadi, kalau Orde Baru ditopang oleh ABRI, birokrat, dan Golkar, maka sekarang segitiga institusi kekuasaan dominan adalah korporasi, birokrasi, dan oligarki partai politik.
Semoga, memasuki tahun 2010 di tengah pesimisme publik memandang politik membawa keyakinan baru tumbuhnya optimisme bersama, demi tegaknya Republik Indonesia yang kita cintai. Republik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan solidaritas. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar