Roh Macan

NASIB macan tutul jawa (Panthera padus melas) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ternyata jauh lebih baik dibandingkan dengan harimau di Hutan Sancang Garut Selatan maupun Hutan Pasir Ipis di Sukabumi Selatan. Kamera pengintai (camera trap) berhasil merekam dua satwa langka dewasa di kawasan TNGHS belum lama ini. Hasil rekaman juga berhasil mengungkap bahwa di jalur jelajah hewan yang kerap dilintasi manusia di kawasan seluas 113,357 hektare yang membentang di Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak masih hidup satwa langka yang populasinya berkisar 41 ekor hingga 45 ekor .

Paling tidak, hasil rekaman tersebut membuktikan keberadaan satwa liar tersebut di TNGHS bukan sekadar legenda atau mengacu kepada jejak maupun ceceran kotorannya. Macan tutul jawa masih ada dan terlihat tidak kekurangan pangan. Sayangnya, masih ada yang menganggap binatang itu sebagai objek buruan yang eksotis sehingga populasinya cenderung menurun. Padahal walaupun berbahaya, sebenarnya hewan itu tidak akan masuk kampung untuk memangsa binatang peliharaan atau manusia jika tidak kelaparan. Hewan itu sebenarnya predator binatang yang menjadi musuh petani.

Berbeda halnya dengan nasib penghuni hutan daerah selatan Jabar. Harimau di kedua rimba tersebut hilang tanpa jejak semenjak habitatnya gundul dijarah manusia tak bertanggung jawab di awal era reformasi. Konon binatang itu mengungsi ke kawasan TNHGS. Apakah penampakan macan tutul jawa yang berhasil direkam merupakan binatang pengungsi?

Seorang narasumber yang juga berprofesi sebagai paranormal tak bersedia menjelaskan. Ketika didesak agar menunjukkan bukti jejak proses pengungsian maupun saksi, ia malah berkelit bahwa satwa itu bukan sembarang binatang, melainkan keturunan Prabu Siliwangi yang ”menghyang”.

Ia justru mewanti-wanti, jika harimau sancang atau pasir ipis benar-benar mengungsi merupakan pertanda baik. Sangat berbahaya kalau rohnya bergentayangan dan merasuki sebagian jiwa manusia Indonesia. Indikasi ke arah itu, kata narasumber paranormal tadi, sudah mulai tampak. Banyak bangsa ini wujudnya manusia, tetapi perilakunya sebagaimana digambarkan Thomas Hobbes, homo homini lupus. Tak ubahnya berperilaku seperti harimau, siapa yang kuat itulah pemenang, tak memedulikan nilai kebenaran dan keadilan. Jika perlu mengerahkan massa untuk memaksakan kehendaknya. Bila berdiskusi, bersuara sangat keras seakan ingin semuanya mendengar karena merasa paling benar. Tentu saya tidak percaya dengan pendapat paranormal tersebut.

Yang pasti, di awal kemerdekaan negeri ini ada tokoh bernama Mr. Kasman Singodimedjo, seorang anggota Konstituante dari Partai Masyumi. Banyak yang berpendapat, sesuai dengan namanya, dia singa di atas meja. Pemaknaan itu bukan berarti dia berbicara keras dalam arti harfiah saat berdiplomasi memaksakan kehendaknya di lembaga parlemen saat itu. Keterkenalan dia justru karena kepiawaiannya berdiplomasi, terutama saat merumuskan dasar negara dalamUndang-Undang Dasar 1945, walaupun di akhir kariernya pada era Orde Lama sempat ditahan. Mr. Kasman seorang anggota parlemen piawai, tetapi menjunjung tinggi etika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar