Marhaban Ramadan

AWAL Ramadan 1430 H/2009 tahun ini, insya Allah akan sama, baik NU, Muhammadiyah, Persis, maupun ormas-ormas Islam lainnya, yakni bertepatan dengan Sabtu (22/8). Kecuali, ada aliran atau kelompok kecil, seperti di Sumatra Barat atau Sulawesi Selatan, yang kadang memiliki perhitungan berbeda.

Dari perhitungan Dewan Hisab dan Rukyat PP Persis, ijtimak (konjungsi) akhir bulan Saban jatuh pada Kamis (20/8), pukul 17.02 WIB. Sedangkan ketinggian hilal waktu Magrib di Palabuhanratu, Sukabumi, mencapai -1 derajat, 42 menit, dan dua detik, sedangkan di Jayapura, Papua, ketinggian hilal -3 derajat, 25 menit, dan 53 detik.

Sedangkan almanak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) menyatakan, perkiraan awal bulan Ramadan jatuh pada Sabtu Pahing (22/8). Hal itu berdasarkan hasil hisab atau perhitungan astronomis, posisi hilal (bulan sabit) pada saat matahari terbenam tanggal 29 Saban atau 20 Agustus, masih berada di bawah ufuk -1 derajat. Kalau secara hisab, jika posisi hilal masih di bawah ufuk, hilal tidak akan bisa dirukyat atau dilihat.

Dengan kondisi itu, secara syar`i, awal bulan ditetapkan berdasarkan kaidah istikmal atau penyempurnaan bulan Saban menjadi tiga puluh hari. Maka awal Ramadan 1430 H, insya Allah jatuh pada Sabtu, 22 Agustus 2009. Demikian pula dengan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melalui Maklumatnya Nomor 06/MLM/I.0/E/2009, mengumumkan penetapan 1 Ramadan 1430 H bertepatan dengan Sabtu Pahing (22/8). Penentuan tersebut, sesuai dengan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Di dalam maklumat tersebut, ijtimak menjelang Ramadan 1430 H terjadi pada Kamis (20/8), pukul 17.02 WIB. Data astronomis yang menjadi dasar penentuan tersebut adalah tinggi hilal pada saat terbenam matahari di Yogyakarta masih -1 derajat atau hilal belum wujud, dan di seluruh wilayah Indonesia, pada saat matahari terbenam hilal berada di bawah ufuk.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Nabi Saw. menyebutkan, Ramadan adalah bulan penuh berkah, penuh ampunan. Ramadan adalah bulan sabar atau bulan melatih kesabaran. Sabar itu tidak ada balasannya, kecuali surga.

Selama Ramadan, kita bukan hanya dilatih untuk bersabar, menahan diri dari lapar, haus, dan dahaga, serta nafsu birahi, sejak subuh hingga maghrib, namun juga dilatih untuk menahan diri dari ucapan dan perbuatan dosa.

Tidak jarang kita menyaksikan orang yang saum hanya dari makan, minum, dan jimak atau senggama, tetapi tidak saum dari perbuatan dosa. Mereka tetap berdusta, menggunjing orang, berkata kasar dan kotor, menghina, memfitnah, menipu, mencuri, korupsi, menzalimi sesama, dan sebagainya. Bahkan, tradisi buruk yang susah diberantas adalah membakar petasan, kembang api, dan sebagainya. Padahal itu jelas-jelas merupakan perbuatan mubazir dan dosa. Nabi Saw. telah mengingatkan dalam sabdanya, "Saum itu bukanlah hanya menahan diri dari makan dan minum , melainkan juga dari perbuatan yang tidak berguna dan perkataan kotor dan tidak senonoh." (H.R. Ibnu Khuzaimah)

Di hadis lain, Nabi Saw. bersabda, "Barangsiapa yang tidak meninggalkan omongan yang kotor (kasar, porno, atau menyakitkan) atau perbuatan dosa, maka bagi Allah tidak ada manfaatnya ia meninggalkan lapar dan dahaga." (H.R. Al-Bukhari)

Sabar juga mengandung pengertian taat kepada aturan dan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Di antara definisi taat menyebutkan, "Taraktu ma ahwa lima ahsya"--meninggalkan keinginan sendiri untuk melaksanakan perintah yang ditakuti yaitu Allah SWT. Taat tidak identik dengan nurut. Jika seseorang lapar lantas diberi makanan kemudian ia memakannya, bukan taat, melainkan nurut.

Taat lebih sering bertentangan dengan keinginan hati. Misalnya, ketika waktu subuh tiba, terdengar azan. Maunya kita terus tidur, tapi kemudian bangun, wudu, dan ke masjid ikut salat berjamaah, maka inilah taat. Seorang pasien dinilai sabar jika ia menaati nasihat dokter. Apa yang disuruh dokter, dikerjakan dan apa yang dilarang dokter, ditinggalkan.

Demikian juga seseorang yang saum dinilai sabar, karena ia telah bisa meninggalkan keinginan dirinya, seperti halnya makan dan minum, serta menahan desakan libido seksual, untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Di siang hari, seseorang yang saum tidak makan dan minum bukan karena tidak ada makanan dan minuman, bukan tidak ada tempat untuk bersembunyi agar tidak diketahui orang, tetapi lebih didasari keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui.

Bukankah jika kita berdusta, mencuri, menipu, iri, dan dengki atau zalim kepada sesama, bukan hanya diri kita sendiri yang tahu, melainkan Allah juga Maha Mengetahui. Bukankah jika dua orang berzina atau menggunjing orang, bukan hanya dia berdua yang tahu, melainkan di samping kiri dan kanannya ada malaikat Raqib dan Atid yang mencatat segala amal kita?

Saum juga melatih diri untuk menjadi manusia yang zuhud, yakni hidup tidak diperbudak dunia. Kecintaan manusia kepada harta benda merupakan karakter dan pembawaan manusia. Islam tidak melarang kita mencintai dunia, namun Islam mengingatkan agar kecintaan kepada dunia, tidak mengakibatkan lupa diri untuk berzikir dan beribadah kepada Allah. Jangan lupa akan batas-batas yang telah digariskan Allah, seperti batas halal dan haram.

Menjelang akhir Ramadan, kita sering menyaksikan banyak orang yang berlomba belanja, dikumpul-kumpul, bahkan cenderung berlebihan dan pamer kekayaan. Sepertinya, ada perasaan tidak sukses Lebaran, jika tidak ganti pakaian, sandal, atau sepatu dan kendaraan. Sepertinya, kuat anggapan di tengah masyarakat kita bahwa saum Ramadan itu, harus ditutup dengan pesta habis-habisan. Bahkan di kalangan orang kurang mampu, terpaksa pinjam. Di manakah hasil dari latihan sabar dan zuhud selama Ramadan?

Kita sambut Ramadan dengan penuh suka cita, layaknya menerima tamu agung. Semoga Ramadan tidak hanya menghasilkan lapar dan dahaga. Wallahu-a`lam.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar