Saum Ajari Kita Bertawadu
Ibnu Athoillah sempat menganalogikan bahwa amal dan pelakunya ibarat baju dengan pemakainya. Baju yang dipakai sampai kapan pun tidak akan pernah dicuci kalau dianggap masih bersih. Demikian pula manusia, jika menganggap dirinya bersih, mungkin tidak akan bertobat.
Merasa atau rasa rumasa kata orang Sunda, roso rumongso kata orang Jawa, adalah pengakuan yang tulus bahwa dirinya tidak steril dari dosa, banyak kesalahan, dan tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Sementara itu, tahu diri merupakan kesadaran diri terhadap martabat dan posisinya. Kedua sikap ini, merasa dan tahu diri, merupakan gerbang kesadaran memasuki pintu tobat.
Dalam perspektif sufi, tobat sebagai persinggahan awal menuju persinggahan kedua, ketiga, dan seterusnya yang harus dilalui, seperti zuhud, faqr, sabar, syukur, rida, dan tawakal, hingga mencapai rida dan rahmat Allah SWT.
Dalam terminologi akhlak, merasa dan tahu diri disebut tawadu, yaitu rendah hati. Menurut Dr. Zamakhsyari Dhofier, dalam bukunya Tradisi Pesantren, tawadu punya arti lebih luas. Bukan sekadar rendah hati, tetapi adanya pengakuan hati yang tulus terhadap kelebihan orang lain. Dirinya sendiri diposisikan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa; banyak dosa, tidak bersih, serta miskin ilmu dan pengalaman. Yang tinggi ilmunya, baik akhlaknya, saleh, dan jujur, bukan saya atau kami, tetapi dia dan mereka.
Alquran surat al-Kahfi: 110 menuturkan bahwa Rasul saw. yang mulia, menyejajarkan dirinya dengan kita, "…Sesungguhnya, aku ini hanya seorang manusia seperti kamu…." Dari sisi kemanusiaannya, Rasul saw. memang sama dengan manusia pada umumnya, butuh makan, minum, tidur, beristri, beranak; bisa tertawa juga bisa menangis. Walaupun demikian, posisi, martabat, dan tugasnya sebagai Nabi dan Rasul Allah, pasti sangat berbeda jauh dengan kita.
Kalimat, "Aku hanya manusia seperti kamu," pada dasarnya sebagai bukti betapa tingginya akhlak Rasul. Di saat itu, beliau sedang memperlihatkan keteladanannya kepada kita, akan kemuliaan akhlaknya sebagai orang yang rendah hati sebab pada penggalan ayat berikutnya, ada kalimat yang membedakan posisinya dengan kita, "...yang telah menerima wahyu…." Siapa yang menerima wahyu kalau bukan orang-orang suci dan pilihan Allah? Ke-geer-an (baca: tak tahu diri) kalau menyamakan Rasul dengan kita dalam segala hal. Bukankah para filsuf pun mengatakan bahwa "semakin banyak tahu, makin tidak tahu!"
Begitulah tradisi orang-orang berilmu, tidak menampakkan kedalaman ilmunya ketika berkata dirinya tidak tahu apa-apa. Dia tidak bodoh, tetapi menyelimuti kepintarannya. Orang berilmu itu, katanya, seperti padi, semakin berisi semakin merunduk.
Banyak ayat Alquran atau hadis yang melarang kita ujub pada diri sendiri. "Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu." (Q.S. Asy-Syu’aro: 215).
Dalam Quran Surat An-Najm: 32, lebih jelas, Allah melarang kita mengaku bersih. "…Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang-orang yang bertakwa."
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya, Allah telah mewahyukan kepada saya: bertawadulah hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya." (H.R. Muslim)
Kata Rasul saw., orang tawadu itu akan dimuliakan Allah. Sebaliknya, orang yang menganggap diri baik, akan dihinakan. "Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada orang yang tawadu karena Allah melainkan dimuliakan oleh-Nya." (H.R. Muslim).
"Layak sekali bagi Allah, tiada sesuatu di dunia ini yang akan menyombongkan diri melainkan direndahkan oleh-Nya." (H.R. Bukhori)
Kini, kita berada di bulan agung, bulan suci Ramadan. Umat Islam melaksanakan saum. Saum populer disebut puasa, bahasa Indonesianya berarti menahan diri. Menahan diri tidak makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa dalam pengertian seperti ini, menurut Imam Ghozali disebut puasa awam, puasa pada umumnya. Buat kita, puasa bukan hanya urusan makan dan minum. Pemaknaannya harus bergeser ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu memuasakan seluruh raga kita dari dosa dan maksiat. Setelah lulus dari tahap ini, melangkah ke tangga berikutnya, memuasakan rohaniah dari "amrodlul qulub", penyakit hati, seperti iri, dengki, suudzon, ujub, sombong, takabur, menganggap diri lebih baik, lebih suci, bersih, dan orang lain lebih buruk.
Dalam Alquran surat Ali-Imron ayat 12, Allah menegaskan bahwa seluruh manusia akan dihinakan-Nya, kecuali orang yang berhubungan baik dengan Allah dan manusia. Orang yang taat ibadah dan memelihara silaturahmi, tidak termasuk orang yang akan dihinakan-Nya. Maka, kalau ada pertanyaan apakah ibadah-ibadah kita, termasuk puasa, diterima Allah atau tidak? Jawabannya, bergantung kepada apakah ada perubahan dan peningkatan ke arah yang positif kepada Allah dan manusia atau tidak? Jadi, ukuran keberhasilan ibadah kita bukan pada fisik material, tetapi apakah hubungan kita dengan Allah dan manusia lebih baik atau lebih buruk?
Hubungan baik dengan Allah, hablum minallah (ibadah) modalnya, iman, ikhlas, amal yang sesuai dengan syariat dan tadlarru (menghinakan diri dihadapan-Nya). Hubungan baik dengan sesama manusia, hablum minannas (muamalah/silaturahmi), modalnya kesejajaran, kecuali dibedakan dengan iman dan takwa (Q.S. Al-Hujurat: 13); saling menghormati dan tawadu (rendah hati). Tadarru dan tawadu merupakan akhlak mulia sebagai buah dari amal ibadah kita, termasuk puasa. Wallahualam!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar