Baiat dan Taat
AKHIR-AKHIR ini, muncul kembali istilah imam dan baiat. Apalagi kedua istilah tersebut kerap dihubung-hubungkan dengan aksi-aksi terorisme sehingga seseorang yang sudah dibaiat akan melaksanakan "ketaatan buta" kepada seseorang yang dianggap pemimpinnya.
Kita perlu meluruskan kembali makna imam (imamah) dan baiat ini. Islam mengajarkan dalam kaitan untuk mengangkat imam atau pemimpin. Maka Rasulullah memerintahkan agar dari tiga orang harus diangkat seorang pemimpin yang dipercayai dan ditaati. "Tidak halal bagi orang yang berada di tengah sahara, kecuali diangkat salah seorang di antaranya menjadi pemimpin mereka." (H.R. Ahmad dari Ibnu Mas`ud)
Hal kedua yang harus diperhatikan dalam pengangkatan imam adalah baiat sebagai bagian integral dalam kehidupan berjemaah dan perwujudan kesiapan umat untuk mematuhi aturan pemimpinnya. Dalam Kitab Lisaanul Arab dijelaskan, baiat merupakan transaksi atas ijab jual beli serta atas sumpah setia dan ketaatan. Baiat merupakan sumpah setia dan ketaatan.
Dari definisi tersebut, jelaslah kalau baiat bukanlah proses islamisasi atau pengislaman seseorang dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan imam. Baiat adalah perjanjian antara yang dipimpin (umat) dan yang memimpin (imam) untuk melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya, serta aturan-aturan lain yang tidak bertentangan dengan aturan Allah dan rasul.
Ada banyak baiat yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah. Pertama, baiat Aqabah Ula pada tahun ke-11 kenabian, tepatnya pada musim haji dengan enam orang dari Yatsrib (Madinah) menyatakan masuk Islam. Tahun berikutnya, datang lagi dua belas orang ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dengan tata cara jahiliah. Mereka bertemu Rasulullah di Aqabah, Mina, lalu berbaiat untuk berjanji setia kepada nabi. Baiat itu juga berisi tidak akan membunuh anak-anak, tidak akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, dan tidak durhaka dalam mengamalkan kebajikan.
Kedua, baiat Aqabah Tsaniyah (kedua) pada tahun ke-13 kenabian, yakni 73 orang penduduk Madinah datang kepada nabi di Aqabah, Mina, setelah menunaikan ibadah haji. Mereka berbaiat kepada nabi yang isinya antara lain, tetap taat di kala sibuk atau lenggang, berinfak saat lapang dan sempit, amar makruf nahyi munkar, teguh membela kebenaran di jalan Allah tanpa rasa takut cacian dan cemoohan, serta tetap membantu nabi apabila berada di tengah-tengah mereka.
Ketiga, baiatur-ridwan atau baiatus-syajarah yang terjadi pada tahun ke-6 Hijriah, saat Rasulullah ingin menunaikan umrah bersama dengan Ummu Salamah. Perjalanan Rasulullah diikuti sekitar 1.500 sahabatnya. Dalam perjalanan di Hudaibiyah, sekitar enam kilometer menjelang Mekah, rombongan dihadang kaum kafir dan meminta agar tidak melaksanakan umrah.
Lalu, nabi mengutus Utsman bin Affan sebagai diplomat untuk merundingkan kesepakatan dengan kaum kafir Quraisy dan mengajak masuk Islam karena penaklukkan Mekah oleh kaum Muslimin sebentar lagi. Namun tiba-tiba, muncul selentingan bila Utsman telah dibunuh sehingga nabi melakukan baiat agar kaum Muslimin melakukan jihad sampai titik darah penghabisan.
Keempat, baiat di Khandaq dengan ikrar kesetiaan dari sahabat Ansar dalam bentuk syair/ungkapan. "Kami adalah orang-orang yang berbaiat kepada Nabi Muhammad untuk berjihad selama kami hidup."
Kelima, baiat Nisa atau baiatul Mukminat berupa baiat kepada kaum Muslimah yang ikut hijrah dari Mekah ke Madinah, padahal sebagian suaminya masih kafir. Hal ini tecermin dalam Q.S. al Mumtahanah: 12.
Apabila telah diyakini hidup berjemaah hukumnya wajib dan dalam hidup berjemaah diwajibkan adanya imam/pemimpin, maka menaati pemimpin menjadi wajib. "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah, dan ulil amri (pemerintahan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alquran), dan rasul (sunnah)...." (Q.S. an Nisa: 59)
Siapa pun yang telah dipilih menjadi pemimpin, seperti hasil pemilihan umum di Indonesia beberapa waktu lalu, maka wajib didengar dan ditaati. "Dengarkan dan taatilah meskipun kamu dipimpin oleh seorang hamba orang habsy, yang kepalanya seperti kismis." (H.R. Akhmad dan Bukhari)
Kalau pun ada hal-hal yang tidak kita sukai dari seorang pemimpin, maka tidak boleh menghapus ketaatan kepadanya. Nabi Muhammad bersabda,"Apabila kamu mendapatkan pemimpinmu perkara yang kamu tidak sukai, maka bencilah perbuatannya dan janganlah kamu meninggalkan ketaatan kepadanya." (H.R. Muslim)
Begitu luhur ajaran Islam mengenai kewajiban taat kepada Allah, Rasulullah, dan para pemimpin. Seandainya ada suatu perbuatan pemimpin yang tidak berkenan maka kita harus membenci perbuatan tersebut dan mengingatkannya sebagai bagian dari amar makruf nahyi munkar. Jihad paling besar adalah ketika mengingatkan pemimpin yang berbuat zalim. Wallahu a`lam.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar