Pertaruhan Pasangan Sipil-Militer
TIGA pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sudah memegang tiket Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2009. Ada pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Jusuf Kalla-Wiranto, dan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto.
Tak bisa dimungkiri, kemampuan figur, dukungan marketing politik (pencitraan) dan logistik akan menjadi "senjata pamungkas" untuk meraih simpati pemilih yang jumlahnya mencapai 171 juta orang. Namun, tiga pasangan kandidat yang akan berkompetisi tampaknya tidak akan lepas dari pakem primordialisme serta kombinasi sipil-militer. Hal yang menarik adalah masih relevankah kekuatan sipil-militer maupun aspek primordial dapat mendongkrak pasangan kandidat di Pilpres 2009?
Dari tiga pasangan capres-cawapres itu, Yudhoyono-Boediono merupakan pasangan Jawa-Jawa dan kombinasi militer-sipil. Begitu juga dengan Megawati-Prabowo yang relatif masih ada unsur Jawa-Jawa serta sipil-militer. Pasangan Kalla-Wiranto agak berbeda, karena memadukan unsur primordial luar Jawa-Jawa, walaupun masih mengandung sipil-militer.
Kepemimpinan nasional pertama merepresentasikan kekuatan Jawa-luar Jawa, yakni pada figur Soekarno yang berasal dari Jawa (Jatim dan Bali) dan M. Hatta (Sumatera Barat/Padang). Faktor primordial ini juga mewarnai dua kali kepemimpinan nasional di era reformasi, yakni duet Megawati Soekarnoputri (Jawa)-Hamzah Haz (Kalimantan/Banjar) dan duet Susilo Bambang Yudhoyono (Jawa)-Jusuf Kalla (Sulawesi).
Pengamat politik Universitas Airlangga Surabaya, M. Asfar mengatakan, aspek primordialisme dalam Pilpres 2009 masih relatif kuat di kalangan pemilih di luar Pulau Jawa. Sehingga faktor primordial Jawa-luar Jawa selalu mengiringi dinamika isu capres-cawapres sejak Indonesia merdeka.
Menurut Asfar, jumlah pemilih di luar Pulau Jawa sekitar 40% dari suara nasional. Rinciannya, pemilih di Sumatera sekitar 20%, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur lainnya sekitar 20%. Sedang 60% pemilih lainnya berada di Jawa. Ia pun menilai di kalangan pemilih di luar Pulau Jawa, sentimen primordial itu masih kuat. Sebaliknya, di kalangan pemilih Jawa, sentimen primordial itu semakin menipis.
"Makanya, kalau ada figur luar Jawa dengan tingkat kapabilitas bagus dan memadai, ya tetap berpeluang dipilih pemilih Jawa. Jadi, ukuran yang paling penting adalah kemampuan figur. Dengan makin rendahnya sentimen Jawa dan luar Jawa di kalangan pemilih Jawa, sebenarnya Kalla berpeluang merebut suara signifikan di kalangan pemilih Jawa," kata Asfar.
Sementara itu, cendekiawan Muslim Abdurrahman, mengatakan bahwa kunci kemenangan bukan karena aspek kultur, melainkan agenda ekonomi yang mampu mengangkat derajat dan martabat rakyat. Muslim tidak menafikan adanya sentimen kedaerahan yang masih melekat pada komunitas tertentu terhadap figur capres-cawapres yang berlaga di Pilpres 2009.
"Tiga pasang kandidat yang berlaga di pilpres ini kini tidak lagi terkategorisasi Jawa-luar Jawa. Dan, hanya satu pasang di antara yang lainnya yang masih mempertimbangkan aspek keterwakilan kedaerahan, Jawa-luar Jawa, yakni pasangan Kalla-Wiranto. Tapi kuncinya, sejauh mana pemimpin mampu menyentuh persoalan dasar rakyat, seperti kemiskinan dan nasib rakyat kecil," kata Muslim.
Pendapat yang sama disampaikan Ketua Dewan Integritas Bangsa yang juga pemimpin Pondok Tebuireng Jombang, K.H. Salahuddin Wahid (Gus Solah). Ia pun menilai, pemilih di Jawa, nilai primordial Jawa dan luar Jawa tak menjadi faktor penting. Hal itu berbanding terbalik dengan pemilih di luar Jawa.
"Dalam pilpres 2009 ini, nilai primordial itu tetap berpengaruh. Mungkin, 10 tahun ke depan (Pilpres 2019) baru tak ada pengaruh itu (primordial Jawa dan luar Jawa)," ujar Gus Solah.
Pendapat berbeda justru dikemukakan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saeful Mujani yang mengatakan bahwa suku bangsa dan kedaerahan tidak punya pengaruh berarti terhadap perilaku pemilih dalam menentukan capres dan cawapres. Justru saat ini para pemilih menentukan pilihannya karena faktor psikologis dan rasional. Mereka akan memilih capres dan cawapres karena persepsi tentang calon dan tokoh, masalah ekonomi, dan bukan karena asal usul kedaerahan mereka.
"Berdasarkan hasil survei update kami tanggal 27 April-3 Mei, Yudhoyono-Boediono dominan di kelompok suku bangsa Jawa, Sunda dan lainnya. Juga di wilayah Jawa-Bali maupun wilayah lainnya," kata Saeful.
Mungkin karena faktor itulah incumbent Yudhoyono memilih Boediono yang berasal dari Jawa, dibandingkan pasangan Kalla-Wiranto yang mengombinasikan Jawa-Luar Jawa. "Yudhoyono sangat percaya sekali survei loh. Tentunya survei yang kredibel," ujar salah satu sumber di lingkaran dalam istana.
Sipil-militer
Indonesia mulai membangun kembali demokrasi modern. Namun dikotomi sipil-militer masih menjadi dagangan capres/cawapres di Pilpres 2009. Apalagi penguatan sipil sudah menjadi keniscayaan pascareformasi.
Merunut ke belakang, pada era demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin, kepala negara dan semua kepala pemerintahan adalah orang sipil murni. Di era Orde Baru dominasi militer dalam sistem politik Indonesia memang sangat nyata.
Kombinasi sipil-militer pun muncul di era reformasi dan Pemilu 2004. Dari lima pasangan capres-cawapres 2004, ada tiga pasangan calon yang merupakan kombinasi sipil-militer. Mereka adalah SBY-JK (militer-sipil), Wiranto-Salahuddin Wahid (militer-sipil), dan Hamzah Haz-Agum Gumelar (sipil-miiter).
Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional, Umar S. Bakry mengatakan, faktor kombinasi sipil-militer masih dibutuhkan meskipun tidak dominan. Bahkan, kombinasi sipil-militer maupun militer sipil masih jauh lebih kuat terhadap kombinasi Jawa-luar Jawa.
Umar mengatakan, dalam berbagai survei dan wawancara mendalam dengan responden, kombinasi sipil-militer maupun militer-sipil, masih menjadi harapan ideal pemilih. Alasannya, kombinasi sipil-militer atau militer sipil bisa menjaga keamanan negara dan kegamangan bangsa serta menjaga pilar pembangunan demokrasi.
"Hasil survei terakhir kami, ada empat model yang jadi pilihan responden. Urutan pertama adalah kombinasi militer-sipil (dipilih 70,7 persen responden), setelah itu sipil-militer (60,7 persen), sipil-sipil (58,9 persen), dan terakhir militer-militer (56,6 persen)," kata Umar.
Umar pun mengatakan kombinasi militer-sipil lebih berpeluang menang atas kombinasi yang lainnya. Namun sosok figur sipil yang kuat seperti Jusuf Kalla bisa saja meruntuhkan asumsi itu. "Kalla, apabila dipoles dengan pencitraan yang tepat, bisa mengalahkan Yudhoyono-Boediono yang kombinasi militer-sipil," kata Umar.
Dari segi kombinasi sipil-militer dan Jawa-luar Jawa tentunya akan menjadi pertaruhan pasangan Yudhoyono-Boediono bahwa kedua aspek itu tidak berpengaruh terhadap pemilih. Jika pasangan Yudhoyono-Boediono itu menang di Pilpres 8 Juli mendatang, maka mereka akan mencetak rekor bahwa aspek primordialisme pasangan capres-cawapres kemungkinan besar sudah tidak ada pengaruhnya terhadap respons perilaku pemilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar