Telur di Ujung Jarum

Bahkan saat hitung cepat sejumlah lembaga survei belum 50%, elite partai besar dan partai menengah telah kian terbuka berebut kursi RI 1 dan RI 2. Elite KPU tidak beda. Mereka pun tampak kian sibuk menyiapkan pemilihan presiden yang memang kewajibannya.

Tentu presiden, wakil presiden, dan pemilihannya penting bagi Indonesia. Akan tetapi, itu semua penting demi daulat dan harkat warga. Kewajiban ini bisa diingkari. Maka, penting jualah adanya lembaga legislatif. Kehadirannya memungkinkan lembaga eksekutif mendapat asupan dan bisa dikontrol sehingga kebutuhan demi kebutuhan warga terpenuhi. Akan tetapi, anggota legislatif juga berpotensi tak memenuhi kewajibannya. Jika demikian, lembaga legislatif jadi biang mala. Oleh karenanya, pileg nyata perlu diadakan dan dengan benar. Begitu pula Pileg 9 April 2009 lalu. Malah jika dilihat dari perjalanan demokrasi kita, Pileg 9 April 2009 itu lebih penting lagi.

Kini, berbagai bencana sosial dan kemarahan alam kian kerap menggasak kita. Ini buah pohon yang puluhan tahun dirawat politik antihumanisasi. Pada era Soekarno, memang ada Pemilu 1955 yang diikuti warga hingga 91,41%. Prosesnya bebas, jujur, adil, lancar, dan damai. Tetapi sejak 1956, Soekarno perlahan mendirikan Demokrasi Terpimpin. Laiklah Hebert Feith dan Robert Cribb menunjuk demokrasi tersebut sebagai pengotoriteran Soekarno. Hatta yang meletakkan jabatan wakil presiden pada 1946 karena, seperti kata John Ingelson, "tidak ingin mengambil bagian dalam penggusuran demokrasi parlementer yang diperjuangkannya sejak 1920-an", menulis dalam "Demokrasi Kita" (Pandji Masyarakat, 1/5/1960) bahwa yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari umur Soekarno sendiri.

Soekarno memberedel Pandji Masyarakat, tetapi dia pun lalu "diberedel" Soeharto. Hanya, Soeharto, seperti ditulis William Liddle, membikin berbagai jenis peraturan "untuk mengatur bukan hanya MPR dan DPR, tetapi juga dalam mengelola jalannya pemilihan, partai, media, kelompok kepentingan, dan badan lainnya. Hasil bersihnya ialah menciptakan kesan -- tetapi bukan kenyataan -- adanya pengawasan rakyat terhadap pemerintah sesuai dengan the rule of law". Lazim jika Liddle bilang, demokrasi di era Soeharto adalah penipuan dan menyesatkan.

Soeharto bisa diturunkan pada 21 Mei 1998. Sejak itu berlangsung Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Pemilu 2004 lebih maju dari pemilu sebelumnya. Pemilu ini untuk pertama kalinya memberi kesempatan kepada warga memilih langsung anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden. Akan tetapi, Pileg 2009 lebih maju lagi. Pada 2004, anggota legislatif bukan saja dipilih langsung, tetapi gumantung pada nomor urut. Kini penentuan berdasarkan nomor urut dihapus. Warga lebih mungkin membuat lembaga legislatif kerja selaku pengemban amanat warga, bukan pemuas nafsu elite partai.

Mungkin karenanya KPU menyebut hak pilih warga jadi kewajiban warga. Warga yang tak memilih dicap tak bertanggung jawab, yang memilih dinilai pembangun bangsa. Malah ada yang menyatakan bahwa tak memilih adalah haram. Akan tetapi, yang unggul dalam Pileg 2009 bukanlah Partai Demokrat, melainkan golput. Malah golput kini di atas golput di 2004.

Dari mana golput datang? Sebagian dari yang memilih tak memilih. Tautannya dengan buruknya kerja KPU memang agak sukar diendus. Akan tetapi, mereka melakukannya justru demi membenahi budaya politik yang destruktif. Maka, mereka bisa punya tautan pula dengan KPU yang merupakan bagian dari budaya politik yang hegemonik.

Sebagian lagi nyata bertaut dengan KPU. Mereka tak bisa memilih sebab tak ada dalam DPT. Padahal, yang jumlahnya jutaan ini punya hak pilih dan telah menunjukkan kesalahan pendataan kepada pihak berwenang, tetapi ikhtiarnya sia-sia. Pun banyak warga kehilangan hak pilih sebab diopname dan atau tengah menunggui keluarga yang sakit. Mereka mau memilih dan telah memenuhi syarat. Akan tetapi, di rumah sakit tak ada TPS khusus/keliling seperti di 2004.

Hal serupa menerpa perantau. Mereka tak bisa mudik karena perlu waktu berhari-hari dan dana besar. Mereka lalu berniat mencontreng di rantau. Mereka sudah punya kartu A 5, tetapi mereka tetap tak boleh mencontreng. Banyak juga yang hak pilihnya sia-sia sebab salah mencontreng karena memang tak paham cara mencontreng yang benar. Tak sedikit malah yang kaget melihat bentuk, ukuran, dan isi surat suara. Ini karena mereka tak pernah dapat penjelasan ihwal Pemilihan Legislatif 2009.

Anda pun bisa dengan mudah menambah daftar warga kehilangan hak pilih, tetapi itu saja sudah tanda bahwa KPU sebagai pemungkin pileg berlumur masalah. Beragam masalah selaiknya diselesaikan dulu. Pun penyelesainnya tak cuma meminta maaf. KPU lebih baik jujur dan adil seperti halnya asas pemilu.

Memang itu tak mudah, tetapi dasar pemilu adalah penghormatan hak politik warga dan pengupayaan agar hak tersebut digunakan. Di Indonesia, hak yang dijamin UUD 1945 dan UU Hak Asasi Manusia ini puluhan tahun dikubur. Akibatnya, bangsa ini amburadul. Maka, melupakan raibnya hak politik warga berarti melanjutkan projek penghancuran bangsa. Hidup mayoritas kita pun yang sudah serupa telur di ujung tanduk tak mustahil jadi serupa telur di ujung jarum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar