Hidup Berjemaah
SECARA kodrati, manusia merupakan makhluk sosial yang bermasyarakat. Manusia saling membutuhkan, tidak bisa hidup sendirian. Hidup berjemaah (berkelompok) merupakan thabi’atun al-kaun, gharizah, atau sudah dari sananya.
Allah SWT berfirman, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antaramu adalah yang paling bertakwa..."(Q.S. Al Hujuraat: 13).
Tidak ada satu pun profesi di dunia ini yang bisa dilakukan sendiri karena pasti membutuhkan bantuan serta peran serta orang lain. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk hidup menyendiri, menyepi jauh dari hiruk pikuk masyarakat. Rasulullah saw. bersabda, "Orang mukmin yang bergaul bersama manusia dan bersabar atas gangguannya, lebih utama daripada orang mukmin yang tidak mau bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguannya," (H.R. Akhmad, Bukhari, dan Abu Daud dari Ibnu Umar).
Namun, kadang banyak pertanyaan, mengapa dalam Alquran tidak ada perintah ’bersatulah wahai kaum Muslimin’? Tidak adanya perintah ini, dikarenakan persatuan merupakan infi’al atau buah dari perbuatan dan tindakan seperti rasa kenyang merupakan hasil dari perbuatan makan. Persatuan merupakan hasil dari berpegang teguh kepada Alquran dan sunah.
Jemaah atau kelompok menurut bahasa, bermakna sekumpulan orang yang memiliki tujuan bersama. Islam mengartikan jemaah, misalnya dalam salat berjemaah, lebih utama daripada salat sendiri. Islam juga memandang jemaah merupakan sekumpulan Muslim yang berhimpun untuk suatu urusan, seperti perkataan Khalifah Umar, "Sesungguhnya, tidak ada Islam kecuali dengan jemaah, dan tidak ada jemaah kecuali dengan imarah, dan tidak ada imarah kecuali dengan ketaatan."
Islam juga mengajarkan umatnya agar memelihara keutuhan jemaah apalagi kehidupan mengalami pasang surut, kadang cerah dan kadang gelap. Sejarah Islam telah membuktikan hal itu, ketika umat Islam berjaya memimpin dunia. Namun adakalanya cahaya Muslim meredup sehingga berada di bawah kepemimpinan kaum kafir.
Ketika menghadapi berbagai hambatan dan gangguan, maka disarankan untuk melaksanakan musyawarah dengan tidak terburu-buru mengambil sikap. "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka," (Q.S. Asy Syura: 38).
Sikap lainnya adalah dengan melakukan tabayun, yakni meneliti kembali kebenaran berita buruk yang dibawa seseorang sehingga kita tidak memvonis orang lain akibat ketidaktahuan atau kekurangan informasi. Dengan tabayun membuat sebuah informasi tidak menjadi fitnah apalagi gibah (desas-desus) dan menjauhkan diri dari sikap buruk sangka (suuzan). "Hai orang-orang yang beriman apabila datang kepadamu orang fasik membawa berita, periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum, tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu," (Q.S. Alhujurat: 6).
Semangat untuk islah (berdamai) juga harus dikembangkan daripada memunculkan konflik ketika menghadapi persoalan. Kunci lainnya, dengan memperbanyak silaturahmi sehingga masalah-masalah dapat dikomunikasikan dan menghindarkan diri dari upaya adu domba untuk memecah-belah jemaah. Nabi memerintahkan umatnya untuk menyebarluaskan salam (keselamatan), bersedekah dengan makanan, menjalin silaturahmi, dan salat di sepertiga malam ketika orang-orang lain lelap tertidur. Insya Allah dengan cara demikian, kita semua akan masuk surga.
Setiap Muslim yang hidup dalam kelompok, seharusnya mengembangkan tolong-menolong (ta’awun) dalam kebaikan dan ketakwaan. Sikap individualis (ananiyah) atau mementingkan diri sendiri, bukanlah cermin dari seorang Muslim. "Engkau akan melihat orang mukmin dalam hal saling menyayangi, mencintai, dan melindungi sesama mukmin, ibarat sebuah tubuh yang jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka sekujur tubuhnya ikut merasakan demam," (H.R. Bukhari)
Dalam hadis lain disebutkan, "Mukmin dengan mukmin itu, ibarat bangunan yang satu dengan lain saling mendukung (saling menguatkan)," (H.R. Bukhari dari Abi Musa).
Di lain pihak, Muslimin juga sebaiknya menjauhi perbedaan, terutama menyangkut masalah ibadah meskipun ada yang membolehkan dua sampai tiga cara, sebaiknya diambil cara yang sama. Demikian pula perbedaan dalam sikap politik, pandangan ekonomi, dan lain-lain, sebaiknya diusahakan untuk mengurangi perbedaannya meski tak bisa dihindari. Sekecil apa pun perbedaan sering menganggu keharmonisan dan persaudaraan. Nabi Muhammad mengingatkan, "Janganlah kamu berbeda-beda, nanti hati kamu berbeda-beda (berselisih)," (H.R. Muslim)
Perlu juga diluruskan, pengertian istilah jamaatul Muslimin yang kerap diidentikkan atau disalahartikan, layaknya Jemaah Islamiyah (JI). Jemaah merupakan kumpulan orang yang berpegang teguh kepada apa-apa yang dipegang kuat oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Yakni, Alquran dan sunah.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar