Transformasi Hercy
Dalam lintasan sejarah negeri ini, peran Hercy tak kenal henti, baik untuk misi militer maupun sipil. Hercy merupakan sebutan untuk pesawat jenis C-130 Hercules yang menjadi legenda di kalangan militer maupun sipil. Deru suara mesinnya yang khas itu menyiratkan nilai perjuangan yang tak kenal lelah dalam menjelajahi wilayah udara ibu pertiwi. Kecelakaan Hercy di Magetan yang sangat memilukan itu harus menjadi momentum untuk membenahi secara esensial tulang punggung alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI AU.
Sudah waktunya negeri ini melakukan transformasi pesawat transportasi militer sesuai dengan tantangan zaman. Hal itu bertujuan mengganti peran Hercy yang sudah tua tetapi masih perkasa dalam tugas. Sebagai negara kepulauan yang tantangannya lebih besar mestinya Indonesia tidak kalah langkah dengan Malaysia yang lebih dahulu melakukan transformasi pesawat transportasi militernya dengan jenis Airbus A400M. Dilihat dari spesifikasi dan kelasnya, A400M dimaksudkan untuk menggantikan produk lama seperti Lockheed C-130 Hercules dan Transall C-160. Pesawat A400M memiliki jarak tempuh dua sampai tiga kali jarak tempuh dari Lockheed C-130J. Serta memiliki maximum payload (bobot angkut) dua kali lebih besar. Transformasi pesawat transportasi militer di negeri ini tidak cukup dengan reengine atau refurbish pesawat-pesawat Hercules TNI AU ke Singapura dengan skema pembiayaan yang kurang menguntungkan.
Generasi personel TNI AU yang pernah mengecap kejayaan Swa Buana Paksa para era 60-an sebenarnya memiliki solusi teknologi dan daya inovasi yang luar biasa dalam menangani C-130 Hercules. Baginya, Hercy telah menjadi kekasih hati sekaligus saksi sejarah. Daya inovasi itu antara lain terlihat dari pesawat bernomor A1301 yang tiada lain Hercy seri B pertama yang dimiliki bangsa Indonesia. Penerbangan terakhir pesawat A1301 juga memberikan makna personel TNI AU memiliki semangat "ngulik" atau inovasi yang luar biasa. Pada 1987, pesawat A1301 mengalami kerusakan cukup parah saat landing di Bandara El Tari Kupang. Karena keterbatasan peralatan dan suku cadang, dengan segala cara teknisi TNI AU melakukan perbaikan yang sifatnya sangat sementara (temporary use only) agar pesawat bisa terbang kembali ke pangkalan induk. Karena kecintaan kepada Hercy dan faktor nilai perjuangan, personel TNI AU berusaha menerbangkan A1301 dengan sayap "dummy" yang dipinjam dari Hercy yang lain. Akhirnya, dengan "one way ticket to hell", A1301 bisa kembali dan ditempatkan di Lanud Husein Sastranegara, selanjutnya difungsikan sebagai simulator sekaligus monumen perjuangan TNI AU.
Kecelakaan fatal pesawat Hercules TNI AU di Magetan dan beberapa kali insiden sebelumnya, seperti abnormal landing di Pangkalan Udara Wamena harus menjadi pelajaran mahal yang terakhir. Bangsa Indonesia tidak perlu terjebak dalam polemik tentang anggaran militer untuk alutsista yang jauh dari mencukupi. Upaya peningkatan kemampuan pertahanan melalui kebijakan, strategi, dan perencanaan pertahanan yang mengarah kepada pembentukan minimum essential force mesti disesuaikan dengan kemajuan zaman serta rintangan ke depan yang menyangkut ancaman negara dan potensi bencana alam.
Kondisi kesiapan kekuatan alutsista matra udara yang tertumpu pada pesawat tempur, pesawat angkut, helikopter, serta pesawat jenis lain masih menyedihkan. Secara garis besar, jumlah 246 unit pesawat dengan kondisi siap operasi 51%. Dalam rangka meningkatkan kekuatan pertahanan, minimum essential force mestinya diupayakan melalui pengadaan alutsista baru dengan skema pembiayaan yang ideal yang disertai dengan peningkatan proporsi keterlibatan pemasok lokal dalam rangka pemberdayaan industri pertahanan nasional. Upaya repowering atau retrofing terhadap alutsista berumur tua harus melalui audit teknologi sehingga upaya itu bisa lebih berdaya guna dan bebas dari penyimpangan atau pemborosan dana.
Hal penting lainnya, meningkatkan kesiapan rata-rata seluruh jenis pesawat transportasi atau angkut milik TNI AU yang tingkat kesiapannya baru 34%. Postur pesawat transportasi terdiri atas pesawat C-130 KC Tanker (2 pesawat), C-130B (10), dan C-130H (10), F-27 TS (6), CN-235 (6), Casa-212 (7). Supaya tidak terjadi stagnasi, ada baiknya dua pesawat C-130 VIP yang jarang digunakan dikembalikan untuk kegiatan operasional sehari-hari. Untuk mempertahankan tingkat kesiapan alutsista, setiap tahun dibutuhkan anggaran sekitar Rp 6,2 triliun. Ironisnya, alokasi anggaran yang diterima hanya Rp 350 miliar (5,6%).
Transformasi pesawat transportasi militer merupakan faktor sangat penting. Transformasi itu menuju multirole function yang dapat dioperasikan tidak hanya untuk misi-militer, melainkan berbagai operasi kemanusiaan. Prinsip transformasi adalah meneguhkan military transport aircraft dengan tantangan terkini. Utilitas utama untuk operasi militer yang mampu membawa pasukan, senjata, dan peralatan militer jenis terkini. Bisa juga untuk keperluan aerial refuelling (mengisi bahan bakar pesawat tempur di udara), strategic airlift (alat angkut operasi militer strategis), tactical airlift (alat angkut operasi taktis), serta memiliki kemampuan mendarat di landasan darurat untuk berbagai medan. Banyak jalan untuk transformasi pesawat transportasi TNI AU. Jika Bung Karno pada 1960-an mampu mendapatkan pesawat unggulan AS, C-130 Hercules produksi pertama dan dioperasikan secara gemilang dalam berbagai peristiwa penting, mestinya generasi sekarang mampu mempersembahkan kepada ibu pertiwi jenis pesawat yang lebih mutakhir.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar