Lima Komitmen
ALQURAN menegaskan, setiap Muslim sekurang-kurangnya mempunyai lima keterikatan atau komitmen dengan Islam, yakni keterikatan iman, amal, ilmu, dakwah, dan sabar. Hal itu terangkum dalam Q.S. Al ‘Ashr, ”Demi Waktu. Setiap manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan saling menasihati dalam jalan ketakwaan serta saling menasihati dalam kesabaran.”
Semakin panjang usia seseorang, makin besar pula (kemungkinan) kerugian yang akan dideritanya. Dalam saling menasihati terkandung pengertian ilmu bagi mereka yang mendapat wasiat/nasihat. Sementara bagi yang menyampaikan nasihat terkandung makna dakwah.
Iman merupakan sesuatu yang tidak bisa dilihat indra dan amal batin yang tidak bisa diamati. Namun ada beberapa indikator yang menunjukkan seseorang beriman atau tidak, yakni pada komitmen amal, ilmu, dakwah, dan sabar. Maknanya, kualitas iman seseorang akan tampak dalam ilmu, amal, dakwah, dan kesabarannya dalam menjalani kehidupan.
Tak benar apabila ada yang mengatakan ”sebenarnya orang itu beriman, tetapi salat Subuh selalu kesiangan” atau ”imannya luar biasa, hanya semangat belajarnya kurang”. Tidak benar pula apabila ada orang mengaku beriman, tetapi tidak bisa menahan amarah atau tidak bersabar menghadapi ujian. Itu menunjukkan iman orang itu belum kuat.
Apabila kita membuat persentase dari keempat sikap tadi (amal, ilmu, dakwah, dan sabar), masing-masing bernilai 25 persen. Kita bisa mengukur berapa persenkah iman yang ada dalam diri kita. Apabila seseorang baik amal, ilmu, dan tinggi semangat dakwahnya, tetapi tidak bersabar, kira-kira keimanannya baru 75 persen. Demikian juga bila ilmunya masih kurang, amal lemah, tetapi dakwahnya cukup kuat, maka bisa jadi imannya baru 25 persen.
Dengan demikian, iman bisa menebal dan menipis bergantung pada keadaan dan pembinaan. Dengan amal sungguh-sungguh, kita pasti memperoleh kepuasan rohani dan hidup terasa lebih nikmat. Banyak orang yang merasakan kenikmatan saat salat Tahajud di tengah malam.
Imam Al Ghazali yang terkenal dengan Kitab Ihya Ulumuddin-nya dan telah sampai pada tingkatan saadah atau bahagia saat berdialog dengan Allah, pernah ditanya murid-muridnya. ”Mengapa Tuan Guru menangis? Apakah ada persoalan yang menyakitkan hati?” Lalu, Imam Al Ghazali menjawab, ”Aku sedih karena tidak melaksanakan salat Tahajud tadi malam.” Murid-muridnya malah bingung. ”Tidak mendirikan salat Tahajud Anda menangis, padahal banyak yang tidak salat Tahajud dan tidak pernah menangis,” kata muridnya. ”Justru dengan salat Tahajud aku menemukan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup,” kata Imam Al Ghazali.
Selain melalui amal, keimanan juga bisa dipertebal dengan ilmu karena akan bertambah, yakin akan kebenaran Islam. Tentu kita harus memperhatikan sumber ilmunya karena pelajaran tauhid sampai kini belum mampu secara maksimal menumbuhkan keyakinan para siswa/mahasiswa. Ketika ditanya alasan masuk Islam, maka rata-rata siswa/mahasiswa tak bisa menjawabnya.
Jalan lain mempertebal keimanan dengan dakwah. Secara umum dakwah setara dengan jihad yang kini disalahartikan. Jihad identik dengan kekerasan dan perang. Padahal, jihad bermakna perang hanya sebagian kecil dari makna jihad yang luas. Memerangi hawa nafsu adalah jihad. Tidak melakukan maksiat, seperti korupsi, juga jihad.
Setidaknya Alquran menyebut empat aspek keimanan. Pertama, keyakinan Islam sebagai satu-satunya agama yang benar (Q.S. Ali Imran: 18 dan 85). Seseorang yang mengatakan semua agama adalah baik, maka harus diragukan keislamannya. Kita harus mengatakan Islam agama yang benar dengan tetap menjaga toleransi kepada agama lain.
Kedua, kita harus yakin Islam merupakan agama universal yang bukan hanya dibawa Nabi Muhammad, melainkan nabi-nabi sebelumnya. Perbedaan di antara nabi adalah pada tataran syariat dan menyangkut hubungan antarmanusia.
Ketiga, keyakinan Islam sebagai agama terakhir dan tidak ada lagi ajaran sesudahnya. Kalau pun ada ”produk” baru sebatas ijtihad atau inovasi alim ulama yang tetap bersandar kepada Alquran dan hadis. ”Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kucukupkan nikmat-Ku kepadamu dan Kuridai Islam sebagai agamamu.” (Q.S. Al Maidah: 3)
Keempat, keyakinan akan syariat yang dibawa Nabi Muhammad merupakan penyempurna bagi syariat yang dibawa para nabi sebelumnya. Alquran banyak memuat ayat yang berisi koreksi terhadap kesalahan-kesalahan syariat terdahulu, seperti persoalan yang menyangkut Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Isa, dan nabi-nabi lainnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar