”Awet Rajet” Kabinet Koalisi

Di mana pun (kecuali di Indonesia?), yang namanya kabinet koalisi itu terjadi di negara yang menganut sistem kabinet parlementer sebagai akibat dari sistem multipartai. Di Indonesia, sistem konstitusional UUD 1945 yang menganut sistem kabinet presidensial, sejauh ini belum nyambung dengan kenyataan ultra multipartai. Lain lagi di United Kingdom (Britania Raya), di sana berlaku sistem kabinet parlementer meskipun hanya terdapat dua partai besar (Partai Buruh dan Partai Konservatif). Kalaupun Partai Liberal di Inggris berdiri lagi (pernah bubar pada awal abad ke-20 dan dilanjutkan oleh Partai Buruh), tampaknya Inggris tidak akan mengubah sistem kabinetnya, mengingat faktor tradisi di sana sangat kuat di berbagai bidang kehidupan. The great British tradition, itulah kebanggaan orang-orang Inggris! Kita?

Di mana pun (kecuali di Indonesia?), yang berkoalisi dalam kabinet koalisi itu adalah parpol seideologi atau setidaknya seplatform (kerangka dasar program). Parpol pemenang dalam pemilu menjadi primus inter pares (yang perdana di antara yang sama) dalam kabinet koalisi. Pemimpinnya menjadi perdana menteri. Itu adalah posisi formal parpol pemenang dalam struktur formal kabinet koalisi. Lain lagi persoalannya kalau menyangkut soal wibawa dan kompetensi dari parpol pemenang. Kualitas kabinet koalisi ditentukan oleh kualitas parpol dan menteri-menteri yang tergabung di dalamnya: karakter, reputasi, kompetensi, komitmen, jam terbang. Sesuai dengan hakikat dari suatu koalisi politik, kabinet koalisi bisa mulus dalam satu periode atau bisa juga bubar di perjalanan. Itu biasa.

Di Indonesia, perlu inventarisasi sejarah dan politik. Pernahkah terjadi ada monopoli kekuasaan satu parpol dalam kabinet koalisi, atau sebatas dominasi (hegemoni) saja? Selain itu, juga pernahkah ada kabinet nasionalis saja atau Islam saja? Politik kontemporer di Indonesia sekarang, tampaknya tidak ada yang berani memberikan hanya satu warna ideologi-politik dalam kabinet.

Dilihat dari kualitas menteri-menterinya, kalangan masyarakat terpelajar kota menilai, lebih bisa diharapkan Kabinet Indonesia Bersatu I (KIB I) daripada KIB II. Perjalanan KIB I relatif mulus, KIB II sudah dipertanyakan sejak awal proses pembentukannya. Dalam ukuran hari, DPR jalanan sudah terjadi di beberapa kota di tanah air.

Dilihat dari integritas (karakter) kalangan elite parpol dan orang-orang yang dipasang jadi menteri KIB II, bisakah koalisi Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan belakangan Partai Golkar membentuk koalisi yang harmonis, solid, dan kompak sampai lima tahun? Praktik politik quick yielding (koreh-koreh cok) seketika, sulit diharapkan mampu membangun pemerintahan pusat yang kompeten untuk menyejahterakan rakyat lahir batin. Lebih parah lagi kalau pucuk pimpinan negara menjadi semakin hilang wibawa di mata dan hati sebagian masyarakat intelektual kota, di antaranya karena orang-orang tertentu yang di bawah standar, yang dimanfaatkan untuk melakukan macam-macam lobi politik.

Mengapa penggarisbawahan pada masyarakat terpelajar kota? Karena apakah itu demokrasi atau revolusi, semuanya dimulai dari kota. Pepatah kita mengatakan, ”raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah”. Kalau gonjang-ganjing, kemelut, sengketa, konflik politik terus berlarut-larut, itu namanya politik awet rajet! Awet rajet adalah keadaan dan/atau hubungan yang dipaksakan diteruskan, tetapi sudah tanpa cinta, kasih, duriat, simpati, apalagi empati. Itu saja.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar