Menjauhi Gibah
Gibah secara bahasa merupakan musytaq dari al-ghib, artinya lawan dari tampak, yaitu segala sesuatu yang tidak diketahui manusia baik yang bersumber dari hati maupun yang bukan dari hati. Gibah menurut istilah yaitu membicarakan keburukan sesama Muslim, baik dengan tulisan maupun lisan, terang-terangan maupun sindiran.
Dalam Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisy rahimahullah menyebutkan bahwa makna gibah adalah menyebut–nyebut saudaramu yang tidak ada di sisimu dengan perkataan yang tidak disukainya, baik yang berhubungan dengan kekurangan badannya seperti badannya pendek dan lainnya, maupun yang menyangkut nasabnya seperti ayahnya berasal dari rakyat jelata, orang fasik, dan lainnya. Atau yang menyangkut akhlaknya, seperti, ”Dia akhlaknya buruk dan orangnya sombong.” Atau yang menyangkut pakaiannya, seperti pakaiannya longgar, lengan bajunya terlalu lebar, dan lain-lain.
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad saw. bersabda, ”Tahukah kalian apa itu gibah?” Para sahabat menjawab, ”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Maka kata Nabi saw. berkata, ”Engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang tidak disukainya.” Kata para sahabat, ”Bagaimana jika pada diri saudara kami itu benar ada hal yang dibicarakan itu?” Nabi saw. menjawab, ”Jika apa yang kamu bicarakan benar-benar ada padanya, maka kamu telah menggibahnya. Jika apa yang kamu bicarakan tidak ada padanya, maka kamu telah membuat kedustaan atasnya.” (H.R. Muslim/2589, Abu Daud 4874, Tirmidzi 1935)
Membicarakan kejelekan orang lain, baik dengan sengaja maupun tidak, terkadang sudah menjadi kebiasaan orang. Termasuk ketika ada orang yang bertamu, gibah dijadikan sebagai menu utama dalam menjamunya, atau menjadi ”buah tangan” ketika tamu pulang.
Berkenaan dengan gibah, Allah SWT berfirman dalam Alquran Surat Alhujurat (49) ayat 12 yang artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang.”
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, ”Sungguh telah disebutkan (dalam beberapa hadis) tentang gibah dalam konteks celaan yang menghinakan. Oleh karena itu, Allah menyerupakan orang yang berbuat gibah seperti orang yang memakan bangkai saudaranya.” Sebagaimana firman Allah dalam ayat di atas, sesungguhnya ancamannya lebih dahsyat dari gambaran tadi karena ayat ini sebagai peringatan agar menjauh dari perbuatan gibah.
Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, ”Pada malam Isra Miraj, aku melewati suatu kaum yang berkuku tajam yang terbuat dari tembaga. Mereka mencabik-cabik wajah dan dada mereka sendiri. Lalu aku bertanya pada Jibril, ”Siapa mereka?” Jibril menjawab, ”Mereka itu suka ’memakan daging manusia’, suka membicarakan dan menjelekkan orang lain. Mereka inilah orang-orang yang gemar akan gibah!” (dari Abu Daud yang berasal dari Anas bin Malik r.a)
Begitulah Allah dan Rasul-Nya mengibaratkan orang yang suka menggibah dengan perumpamaan yang sangat buruk. Hal tersebut untuk menjelaskan kepada manusia, betapa buruknya tindakan gibah. Gibah bisa datang melalui televisi, berbagai pertemuan, obrolan di warung belanjaan, bahkan melalui pengajian. Untuk menghindari gibah tidak mudah, kita harus ekstra hati-hati. Ada beberapa cara untuk menghindari gibah, di antaranya sebagai berikut.
1. Berpikirlah sebelum berbicara. Sebelum berbicara, alangkah lebih baiknya memikirkan dahulu apa yang akan dibicarakan. Bukan saja topiknya, tetapi dari sisi tujuan, manfaat, dan mudarat dari pembicaraan kita. Berarti otak harus digunakan dalam keadaan sesantai apa pun. Seperti halnya Nabi Muhammad saw. biasa memberi jeda sesaat untuk berpikir sebelum menjawab pertanyaan.
2. Berbicara sambil berzikir. Maksudnya, selalu menghadirkan ingatan kepada Allah SWT sehingga pembicaraan kita terkontrol.
3. Tingkatkan rasa percaya diri. Membicarakan keburukan orang lain biasanya untuk menutupi kelemahan diri pribadi. Atau, mengikuti pembicaraan temannya walaupun mengandung gibah. Untuk itu, perlu tingkatkan diri untuk mengendalikan pembicaraan ke arah positif tanpa disertai gibah.
4. Buang penyakit hati. Kebanyakan gibah tumbuh karena didasari rasa iri, benci, dan ketidakikhlasan menerima kenyataan bahwa orang lain lebih berhasil atau lebih beruntung dari kita. Berusahalah untuk membuang perasaan tersebut dan menghadirkan bahwa semuanya ada yang mengatur, yaitu Allah SWT. Selanjutnya, tingkatkan ikhtiar dan doa sambil berserah diri kepada Yang Mahakuasa.
5. Introspeksi diri. Dalam arti, seandainya kita yang digibahkan orang lain maka kita akan merasa tidak suka. Untuk itu, pertahankan diri untuk tidak melakukannya karena akan menyakiti hati yang digibahkan.
6. Usahakan untuk menghindari, kalau tidak bisa lebih baik diam atau pergi. Hindari segala sesuatu yang mendekatkan pada gibah, seperti acara-acara bernuansa gibah di televisi dan radio atau media lainnya. Jika kita terjebak dalam situasi gibah, ingatkanlah penggibah tersebut. Jika tidak mampu, setidaknya diam dan tidak menanggapi gibah tersebut, atau memilih pergi dengan cara yang santun dan selanjunya ”menyelamatkan diri”.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar