Empat Pilar Kunci Membangun Umat
DALAM sebuah kitab kuning (kitab klasik) yang berjudul “Durrotun Nasihin” (Mutiara Nasihat) yang ditulis oleh Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad asy-Syakir al-Khaubury, halaman 17 dijelaskan, ”Bahwasannya peradaban umat manusia di dunia ini akan tegak, kuat nan abadi, manakala di dalamnya ditopang dengan empat pilar, yang satu sama lainnya saling menguatkan.”
Pertama, dengan ilmunya para ulama. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertakwa. Dengan ilmunya, para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia kehormatannya.
Abu al-Aswad al-Duwaly melukiskan, ”Jika para raja adalah penguasa bagi sekalian manusia, para ulama adalah penguasa yang mengatur raja.” Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau Allah memosisikan ulama di atas rata-rata manusia pada umumnya. Allah SWT berfirman, ”Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada azab akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakhlaklah yang dapat menerima pelajaran.” (Q.S. 39;9)
Al-Ghozali, pemikir besar Islam memberikan wejangan menarik untuk para ulama. ”Ulama seharusnya mampu menjaga jarak dengan penguasa (umara). Ulama yang baik dan lurus tidak berminat mendatangi umara/birokrat selama ada celah untuk menghindarinya. Di sisi lain, ulama yang baik adalah mereka yang dekat dan selalu hadir di tengah-tengah umatnya, memberikan wejangan dan siraman rohani yang sejuk dan menyejukkan, juga menjadi teladan dan panutan bagi umatnya serta komitmen dengan nilai-nilai kemartabatan yang diajarkan Rasulullah saw.”
Kata Al-Ghozali, seperti dikutip oleh M. Firman, ”Ulama dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia dikenal sebagai ulama ”su”, menjadikannya sebagai tangga untuk meraih pangkat dan kedudukan. Sementara itu, ulama akhirat adalah ulama yang sadar betul akan ilmu yang dimilikinya. Ulama ini memiliki ciri-ciri, antara lain, tidak memanfaatkan ilmu hanya untuk mencari keuntungan duniawi, konsekuen dengan ucapannya, tidak tergesa-gesa memberi fatwa, mementingkan kata hati, selalu yakin dan memiliki pertimbangan yang masak terhadap sesuatu yang baru.
Berkaitan dengan ulama ”su” itu, ada ilustrasi menarik yang dikemukakan oleh Ibn Mas’ud katanya, ”Kelak akan datang suatu masa tatkala hati manusia asin, ilmu tidak bermanfaat lagi. Saat itu, hati ulama laksana tanah gundul dan berlapiskan garam. Meski disiram hujan, tidak setetes pun air tawar yang segar dapat diminum dari tanah itu.”
Kedua, dengan adilnya para umara (penguasa). Nabiyullah Musa a.s. pernah bertanya kepada Allah SWT. ”Ya Tuhan, siapakah di antara hamba-Mu orang yang paling adil?” Allah menjawab, ”Wahai Musa, di antara hamba-Ku orang yang paling adil adalah pemimpin yang memperlakukan umatnya (rakyat)-nya persis seperti memperlakukan kepada keluarganya sendiri.”
Syekh Ahmad Musthafa al-Marogi di dalam tafsirnya yang sangat fenomenal, tafsir al-Marogi jilid 2, halaman 166-167 menjelaskan yang dimaksud dengan umara. (1) Para hakim, jaksa, penasihat hukum, dan pengacara, hendaklah mereka berlaku adil dan amanah. Sekali mereka memperjualbelikan perkara, umatlah yang menjadi korbannya, dan keberkahan hidup tidak akan tampak di muka bumi. (2) Para ilmuwan dan cendekiawan, hendaklah mereka mengamalkan ilmunya untuk kemajuan dan kebaikan umatnya. (3) Pihak keamanan (TNI dan Polri), hendaklah mereka menjadi pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat atau umatnya. (4) Pimpinan partai dan pimpinan organisasi kemasyarakatan, hendaklah mereka berjuang untuk kesejahteraan dan kemakmuran umatnya. (5) Zuama, orang-orang yang senantiasa membantu kesulitan umatnya dan memberi nasihat manakala umat ada dalam kesusahan.
Ketiga, dengan dermawannya kaum aghniya. Umat ini akan damai, makmur, dan sejahtera, manakala kaum aghniya-nya dermawan, mau membantu saudaranya yang membutuhkan. Allah berfirman, ”Kai laayakuuna duulata bainal aghnia.” Artinya, ”... agar kekayaan tidak hanya beredar di antara orang kaya di antaramu.” (Q.S. 59: 7)
Keempat, dengan doanya kaum duafa. Mereka akan berdoa kepada Tuhannya demi kemajuan pemimpinnya. Syekh Ja’far al-Barzanji dalam buku sastranya (kitab Barzanji) melukiskan dengan jelas, tegas, dan lugas, Rasulullah saw., sangat mencintai kaum duafa (orang fakir). Apabila di antara mereka mendapatkan musibah, beliaulah yang pertama menjenguk dan berdoa untuk kesembuhannya. Rasulullah saw. bersabda, ”Tidaklah termasuk orang beriman, yakni orang yang setiap hari perutnya kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (H.R. Imam Buchari).
Mukhtarol Hadis, halaman 144, dan hadis riwayat at-Thobroni dari Dhomiroh, bahwasannya Rasulullah saw, bersabda ”Bukanlah termasuk umatku orang yang tidak peduli (tidak sayang) kepada saudaranya yang kecil, dan tidak hormat kepada yang besar, tidaklah dia termasuk orang beriman sehingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri.”
Empat belas abad lalu, Rasulullah saw. telah mengingatkan kita bahwa keempat pilar itu harus bersatu, yaitu ulama, umara, aghniya, dan fuqara. Orang Sunda bilang, ”Sareundeuk saigel, sabobot sapihanean, kacai jadi saleuwi ka darat jadi salebak, sapapait samamanis, sabagja ulah cilaka.”
Dunia ini akan hancur kalau tidak ada ulama. Rasulullah saw. bersabda, ”Apabila kehidupan ini tidak ada ulama, manusia akan binasa seperti binatang, bahkan akan lebih kejam daripada binatang. Kedua, manusia akan hancur kalau tidak ada umara. Satu sama lain akan saling membunuh, yang kuat membunuh yang lemah seperti serigala membunuh domba. Ketiga, kaum aghniya, kalau orang-orang kaya tidak berlaku dermawan, maka kaum duafa akan sengsara, karena hak-hak mereka dirampas. Keempat, kaum duafa, kalau tidak ada doanya kaum duafa maka kaum aghniya (orang kaya) akan bangkrut.” Dengan demikian, rumus membangun umat, kuncinya, dengan ilmunya ulama, dengan adilnya umara (penguasa), dermawannya kaum aghniya (orang kaya), dan doanya kaum duafa (orang miskin nan lemah).
Rasulullah saw., pemimpin yang arif dan bijaksana. Ketika seorang sahabat bernama Abdur Rachman bin ‘Auf (muhajirin) sudah tidak punya apa-apa lagi karena harta kekayaannya ditinggalkan di Mekah, beliau mempertemukannya dengan Sa’ad bin Robi (Ansor), seorang konglomerat. Sa’ad menawarkan jasa kepada Abdur Rachman agar hartanya yang banyak itu dibagi dua dengan dia. Abdur Rachman menolak. Dalam pikirannya, dia tidak mau menyusahkan orang lain. Lalu, dia berkata kepada Sa’ad, ”Wahai Sa’ad, tolong saya beri pinjam modal buat usaha. Saya mau jualan (bisnis) kecil-kecilan.” Akhirnya hanya selang beberapa tahun, Abdur Rachman sudah hidup mandiri bisa membeli rumah, ladang bahkan sudah sejahtera, bisa menghidupi anak istri dan keluarganya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar