Melanjutkan Gairah Ramadan
Iman itu naik turun. Karena itu, engkau harus selalu berupaya menyegarkan dan memperbaikinya. (Hadis)
Pascaperayaan dan liburan Idulfitri, umat Islam kembali melanjutkan kehidupan keseharian. Berbeda dari hari sebelum Idulfitri atau saat Ramadan, kali ini umat Islam sudah bebas dari tanggung jawab melaksanakan puasa wajib. Secara fisik, tentu berbeda dibandingkan dengan hari-hari saat Ramadan. Lalu, bagaimana secara spiritual?
Inilah yang selayaknya menjadi titik perhatian umat Islam. Ramadan dengan segala aktivitasnya boleh berlalu. Namun, semangat dan gairah spiritual Ramadan selayaknya terus melekat. Sekurang-kurangnya, ada grafik naik dibandingkan dengan sebelum memasuki bulan suci Ramadan. Dengan demikian, ada dinamika atau peningkatan kualitas kesadaran keagamaan yang diharapkan membawa perbaikan terhadap peningkatan kualitas aktivitas sosial. Bila tidak, sungguh terasa mubazir waktu satu bulan Ramadan yang penuh warna itu.
Memang, tidak mudah menjaga apalagi melanjutkan gairah dan semangat spiritual Ramadan. Ada atmosfer dan kondisi sosial berbeda yang memungkinkan terjadinya penurunan gairah dan semangat spiritual. Di bulan Ramadan, dorongan melaksanakan kewajiban puasa yang disertai janji-janji mendapat nilai spiritual, mudah mewujud menjadi energi besar yang membuat seseorang menjadi begitu bersemangat. Di hari biasa seperti sekarang ini, ketika atmosfer sosial biasa-biasa saja, dorongan atau etos tak sekuat saat Ramadan.
Oleh karena itu, perlu ada prioritas-prioritas aktivitas spiritual agar semangat dan gairah spiritual Ramadan tetap berlanjut. Atau kalau terjadi penurunan semangat spiritual, tidak anjlok terlalu jauh. Setidaknya, ada empat hal yang diharapkan dapat terus melanjutkan kegairahan spiritual dan sosial selama Ramadan.
Pertama, melanjutkan kebiasaan salat subuh tepat waktu serta berjamaah di masjid, seperti saat Ramadan. Suasana kebersamaan salat subuh di masjid, tak berbeda jauh dengan suasana masjid saat Ramadan. Secara psikologis, kondisi ini akan terus menyegarkan semangat beribadah. Apalagi bila seusai puasa, ada perenungan mendalam yang membuat seseorang seperti kehilangan momen Ramadan. Suasana salat subuh diharapkan dapat memuaskan dahaga rasa kehilangan momen Ramadan dan menggerakkan seseorang untuk terus memperoleh suasana Ramadan yang indah itu.
Kedua, dengan menyempatkan waktu melaksanakan puasa sunah, Senin dan Kamis. Ini penting, tidak hanya pada tataran aktivitas fisik mencerminkan kelanjutan puasa. Secara psikologis, sikap dan perilaku pengendalian puasa juga mewujud dalam kehidupan keseharian. Seseorang seperti terus disegarkan ingatannya untuk selalu mengendalikan dan menjaga diri. Berupaya terus untuk tidak melakukan hal-hal yang terlarang agama karena sedang menunaikan puasa.
Ketiga, meneruskan aktivitas kepedulian sosial yang selama Ramadan begitu intens dilakukan. Ini sangat tidak mudah walau tidak memerlukan kesiapan fisik khusus. Ego dan kepentingan sendiri kadang lebih mengemuka ketimbang berempati dan peduli pada orang lain. Apalagi ketika diri sendiri sedang menghadapi begitu banyak kesulitan.
Di bulan Ramadan, di samping kondisi fisik yang membuat seseorang peduli dan berempati pada orang lain, juga dipengaruhi atmosfer sosial serta janji-janji pahala, sehingga mudah sekali umat Islam mengulurkan tangan membantu saudaranya. Ketika situasi dan kondisi yang kondusif itu tak ada, kemungkinan terjadi penurunan kepedulian sangat terbuka.
Diperlukan pemahaman dan keyakinan luar biasa untuk menumbuhkan dan melanjutkan sikap peduli sesama pasca-Ramadan. Bahwa kepedulian sosial bukanlah semata-mata sebagai bagian dari Ramadan. Justru, antara lain, untuk membangkitkan kepedulianlah Islam mewajibkan melaksanakan puasa. Kepedulian bukan pelengkap puasa, tetapi justru menjadi salah satu tujuan utama seseorang diwajibkan berpuasa. Umat Islam diwajibkan berpuasa agar bangkit semangat kepeduliannya.
Tujuan puasa, yang eksplisit ditegaskan, agar umat Islam menjadi takwa, secara riil antara lain harus terwujud pada sikap peduli, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dalam keadaan kaya maupun sedang pailit. (Q.S. 3:134)
Secara gamblang, terpapar di sini bahwa salah satu bentuk riil dari keberhasilan seseorang melaksanakan ibadah puasa adalah meningkatnya kepedulian sosial. Bangkit dan meningkatnya semangat kebersamaan, kesamaan, dan persaudaraan. Tumbuh subur sikap memberi dan pedulinya. Bila semangat mengulurkan tangan ini berkembang indah, insya Allah, terbuka kemungkinan berkurangnya sikap meminta dan mengambil (korupsi) hak orang lain.
Terakhir dan yang terpenting adalah, tekad untuk meningkatkan kualitas spiritual dan sosial pasca-Ramadan. Bahwa seusai Ramadan bukanlah belantara bebas dari kungkungan dan kembali ke lingkungan tanpa batas. Ramadan adalah tahapan, proses menuju tingkatan kualitas hidup yang lebih baik secara spiritual maupun sosial. Berakhirnya Ramadan berarti satu jenjang--yang di dalamnya ada proses pembinaan--terlewati untuk selanjutnya menuju tahapan hidup yang lebih baik.
Belum terlambat untuk meluruskan pemikiran bahwa Ramadan bukanlah momen penjara sosial, tetapi pembinaan yang seharusnya saat Ramadan, seusai mampu meningkatkan kualitas hidup umat Islam. Bila kesadaran ini tumbuh, rasanya lebih mudah melanjutkan gairah dan semangat spiritual dan sosial Ramadan. Insya Allah.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar