Potret Kinerja DPR
Kinerja DPR periode 2004-2009, khususnya dalam bidang legislasi, sangat buruk dan mengecewakan. Dibatalkannya sejumlah pasal dalam UU Pemilu dan beberapa UU lain oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sepanjang 2009, mengindikasikan ada yang tak beres dalam proses pembuatan UU yang dilakukan DPR selama ini.Tidak sedikit UU yang dihasilkan tumpang tindih dengan UU lainnya. Semua merupakan bukti nyata ketidakcermatan anggota legislatif dalam meramu produk UU ke dalam sistem yang komprehensif dan juga cermin dari buruknya kualitas legislasi DPR.
Bila ditinjau dari segi kuantitas, UU yang dihasilkan DPR periode 2004-2009 masih jauh di bawah target Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dari 284 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang harus disahkan, hingga akhir masa baktinya DPR hanya menyelesaikan 175 UU. DPR juga kurang jeli menetapkan UU apa yang harus diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Mencermati realitas tersebut, sebagai pihak yang memberi mandat, rakyat pantas kecewa. Realitas ini memberikan pelajaran amat berharga kepada kita. Ternyata, menguatnya peran dan fungsi legislasi DPR tidak mampu mengubah kinerja DPR menjadi lembaga pembuat UU yang baik.
Pascaperubahan UUD 1945 terjadi perubahan mendasar terhadap fungsi legislasi DPR. Jika sebelum perubahan UUD 1945, berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, DPR hanya mempunyai fungsi legislasi semu dalam proses pembentukan UU (pseudo wetgever). Setelah perubahan pertama UUD 1945, rumusan yang terdapat dalam Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) mengalami perubahan yang signifikan, sehingga berimplikasi menempatkan DPR sebagai lembaga utama pemegang kekuasaan pembuatan UU (primaire wetgever). Dominasi DPR dalam proses legislasi diperkuat dengan hadirnya Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945.
Jika dicermati, setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi penyebab buruknya kinerja DPR di bidang legislasi. Pertama, lemahnya kesadaran konstitusionalisme dari DPR sehingga dalam proses pembuatan UU, DPR tidak memperhatikan secara cermat kaidah-kaidah hukum dalam batang tubuh UUD 1945. Semestinya, DPR dalam menyusun suatu UU wajib memperhatikan dengan cermat UUD 1945.
Kedua, semrawutnya Prolegnas disebabkan ketidakjelasan politik hukum nasional yang ada. Sehingga akhir kepentingan politik yang diusung berbagai pihak lebih mendominasi dalam proses pembuatan UU.
Ketiga, dalam melaksanakan proses pembuatan UU, DPR tidak didahului dengan melakukan penelitian dan pengkajian akademis secara mendalam. Hal itu, berimplikasi pada banyak produk legislasi yang dihasilkan cepat usang karena tidak mampu mengikuti dinamika perkembangan zaman.
Ada sejumlah strategi untuk memperbaiki fungsi legislasi DPR. Pertama, mengkaji dan menata ulang Prolegnas. Sebab, Prolegnas 2004--2009 dapat dikatakan tidak berorientasi pada menghasilkan UU yang berkualitas melainkan pada kuantitas. Ini tercermin dalam Prolegnas 2004--2009 yang menargetkan 284 UU. Berarti setiap tahunnya DPR mesti menyelesaikan empat UU per bulannya. Tentu pekerjaan ini sangat berat bagi DPR dan mustahil DPR dapat menghasilkan UU yang berkualitas.
Kedua, hendaknya DPR sebelum melaksanakan proses pembuatan suatu RUU terlebih dahulu menyusun naskah akademik. Menurut Ann dan Robert Siedman (2001) penyusunan naskah akademik (the concept paper) merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pembentukan undang-undang (law making process). Naskah akademik diperlukan untuk menjelaskan secara lebih terbuka kepada seluruh stakeholder tentang signifikasi kehadiran sebuah RUU.
Ketiga, DPR harus lebih memaksimalkan peran serta masyarakat. Bukankah dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan adanya kewajiban melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan UU. Selain itu, dalam Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR Pasal 139-141 menyebutkan, masyarakat dapat memberikan masukan baik lisan maupun tertulis kepada DPR dalam rangka penyiapan dan pembahasan suatu RUU.
Keempat, perlu bagi DPR untuk melibatkan pakar hukum sebagai tim pengkaji (constitutional panel review) dalam setiap pembahasan RUU. Dengan begitu, DPR diharapkan dapat membuat legitimasi produk UU semakin kuat dan dapat mengurangi ketidakcocokan dengan UUD 1945. Kiranya DPR dapat menggandeng pihak-pihak yang kompeten sesuai dengan spesifikasi UU yang akan dibuat.
Terakhir, kita berharap agar DPR dapat secepatnya memperbaiki kualitas kerjanya dalam bidang legislasi. Karena kita tidak ingin UU yang dibuat DPR terus menuai gugatan, bahkan menjadi mainan karena tidak menjaga hak-hak konstitusional rakyat yang dilindungi dalam UUD 1945.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar