Mendalami Nilai Positif Tawakal

"APABILA kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (Q.S. Ali Imran: 159)

Dalam tafsirnya di kitab Fi Zhilal al-quran, ulama besar Islam Sayyid Qutb menjelaskan bahwa ayat di atas (terutama surat Ali Imran ayat 121-179) turun berkaitan dengan peristiwa perang Uhud. Perang ini merupakan perang yang penuh cobaan. Betapa tidak, sebelum menghadapi pasukan Quraisy, pasukan Muslim kehilangan terlebih dulu tiga ratus prajurit yang kembali lagi ke Madinah karena hasutan Abdullah bin Ubay bin Salul.

Pasukan Muslim juga sempat kocar-kacir. Rasulullah sendiri sampai terluka akibat ketidakdisiplinan pasukan pemanah yang tergoda gemerlap harta yang dibawa orang Quraisy. Meski akhirnya pasukan Muslim meraih kemenangan, bahkan sempat mengejar pasukan Quraisy yang lari ke Mekah. Pada peristiwa ini, Allah ingin menegaskan, sebagai orang yang beriman, kita harus yakin bahwa yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam sebuah peperangan "apa pun bentuknya" adalah Allah, dan Allah pasti memberi kemenangan kepada kaum yang beriman.

Sekalipun mereka mendapat kesulitan dan cobaan, itulah awal kemenangan yang dijanjikan. Agar kemenangan itu diraih atas dasar keyakinan pada kebenaran yang hakiki, melalui proses persiapan, dan sarana-sarana yang dibutuhkan sesuai sunatullah. Dengan demikian, akhirnya kemenangan itu menjadi kemenangan yang mulia, bukan kemenangan yang murahan.

Demikian kurang lebih penjelasan Sayyid Qutb mengenai esensi dari sikap tawakal, yaitu berusaha sekuat tenaga dan kemudian menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah SWT.

Tawakal adalah titik persinggungan manusia dengan hakikat besar. "Hakikat tempat kembali segala perkara; kekuatan yang menentukan" (al-quwwah al-failah) di mana kemenangan dan kekalahan bersumber. Kepada Allah-lah pengharapan dan tawakal diarahkan. Tentunya, itu dilakukan setelah kita mempersiapkan diri dan menyesuaikan dengan takdir Allah. "Jika kalian menolong Allah, Allah akan menolong dan meneguhkan posisi kalian". Inilah "keseimbangan" yang diajarkan Islam: "keseimbangan" mutlak antara takdir Allah yang mutlak dan realisasi takdir tersebut di dalam kehidupan manusia melalui aktivitas dan efektivitas tindakannya.

Sunah Allah berlaku melalui proses hukum sebab-akibat (hukum kausalitas). Akan tetapi, bukan "sebab" yang menciptakan "akibat". Yang menciptakan "akibat" adalah Allah. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk melaksanakan kewajibannya dan mengerahkan segenap kemampuannya. Sebesar kewajiban yang telah dilakukannya, sebesar itu pula Allah akan menyusun dan mewujudkan akibatnya. Intinya, "akibat" tetap tidak dapat dilepaskan dengan kehendak dan kekuasaan Allah. Allah sendiri yang mengizinkan "akibat" itu terjadi, kapan, dan bagaimana, sesuai kehendak-Nya.

Namun begitu, keyakinan kepada kekuasaan Allah dan tawakal sepenuhnya kepada Allah bukan berarti menafikan proses mempersiapkan diri dengan segenap kemampuan. Sebagaimana firman-Nya, "Dan persiapkanlah segenap kekuatan kalian untuk menghadapi mereka". Bahkan, orang yang tidak melaksanakan perintah Allah pun dianggap tidak bertawakal.

Kembali ke Rasulullah, beliau sendiri tidak pernah meninggalkan hukum sebab akibat. Beliau mengenakan dua baju zirah ketika Perang Uhud. Beliau tidak pernah keluar untuk berperang tanpa memakai pelindung. Beliau juga menyewa seorang penunjuk jalan ketika hijrah ke Madinah. Beliau menyimpan persediaan makanan pokok setahun untuk keluarganya. Bila bepergian, berjihad, berhaji, atau berumrah beliau selalu membawa bekal.

Bahkan, dalam sebuah hadis, Anas bin Malik pernah berkata, "Seseorang memegangi untanya lantas berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, haruskah aku ikat lalu aku tawakal? Ataukah, aku biarkan saja lalu aku bertawakal?" Rasulullah menjawab, "Ikatlah lalu bertawakallah!" Inilah dalil yang memerintahkan setiap hamba untuk memperhatikan hukum sebab akibat sekaligus menegaskan bahwa bersandar pada hukum sebab akibat tidak akan bertentangan dengan sikap tawakal.

Ibnul Jauzi menerangkan lebih spesifik lagi, "Menafikan hukum sebab akibat adalah pendapat orang-orang yang tidak memahami makna tawakal. Mereka menyangka bahwa tawakal adalah meninggalkan usaha dan mengistirahatkan anggota tubuh dari aktivitas. Kami telah jelaskan sebelumnya bahwa tawakal adalah pekerjaan hati. Ia tidak bertentangan dengan gerak tubuh." "Seandainya setiap orang yang berusaha mencari nafkah bukan disebut orang yang bertawakal, berarti para nabi bukan orang-orang yang bertawakal. Padahal, Nabi Adam adalah tukang kebun, Nuh dan Zakaria tukang kayu, Idris tukang jahit, Ibrahim dan Luth petani, Saleh pedagang, Sulaiman pembuat anyaman, Daud pembuat sekaligus penjual baju zirah, sementara Musa, Syuaib, dan Muhammad adalah penggembala," ujarnya.

Sampai di sini mungkin kita perlu meresapi jawaban Hatim al-Ashamm (w. 237 H) ketika ditanya, "Atas dasar apa engkau begitu tawakal kepada Allah?" Lelaki saleh itu menjawab, "Atas empat hal: aku yakin rezekiku tidak akan dimakan orang. Oleh karena itu, aku tenang. Aku yakin amalku tidak akan dikerjakan orang. Oleh karena itu, aku sibuk beramal. Aku yakin kematian akan datang dengan sekonyong-konyong. Oleh karena itu, aku selalu siap menghadapinya. Dan, aku yakin bahwa aku tidak mungkin lepas dari pengawasan Allah. Oleh karena itu, aku malu dari-Nya." Wallahualam. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar