Pola Kepemimpinan Nasional Dua Periode

AKHIRNYA kemenangan SBY-Boediono sebagaimana diprediksi hasil penghitungan cepat, terkonfirmasi setelah KPU berhasil menyelesaikan rekapitulasi hasil pemungutan suara Pemilu Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009 pada Kamis (23/7) malam atau lebih cepat satu hari dari yang dijadwalkan. Pasangan SBY-Boediono memperoleh 73.874.562 suara (60,80%) menang di 28 provinsi; Mega-Prabowo 32.548.105 suara (26,79%), unggul hanya di Bali; dan JK-Wiranto 15.081.814 suara (12,41%), unggul di Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Kemenangan telak SBY-Boediono ini dengan sendirinya memenuhi persyaratan UU Pilpres untuk menyatakan pilpres langsung kali ini, tidak perlu dua putaran!

Peristiwa tersebut tidak menjadi berita besar karena sejak sebelum pemungutan suara sudah terkondisikan kemungkinan pilpres kali ini diprediksi berlangsung hanya satu putaran. Meskipun telak, angka perolehan suara itu tak lagi mengejutkan. Kemenangan ini telah mengantarkan SBY bersama Boediono memasuki untuk masa kepemimpinan nasional kedua yang dilegitimasi oleh jumlah suara yang persentasenya kurang lebih sama dengan hasil Pilpres 2004, tetapi diraih dalam satu putaran. Dengan sendirinya, SBY sedang memasuki masa pemerintahan lanjutan sekaligus memulai tradisi memegang dua kali pemerintahan.

Suksesi damai

Pergantian kepemimpinan nasional melalui pemilu ini dalam konteks transisi ke demokrasi, merupakan sesuatu yang amat penting karena menjadi salah satu ukuran derajat matangnya penerapan sistem demokrasi. Pergantian kepemimpinan nasional di negara-negara yang baru mengalami transisi ke demokrasi, selalu merupakan peristiwa politik yang kritikal.

Krisis politik membayangi Iran baru-baru ini, setelah munculnya gelombang demonstrasi pendukung Mousavi yang memprotes kemenangan incumbent Ahmadinejad dalam pilpres terakhir.

Prof. Samuel E. Huntington, dalam Gelombang Demokrasi Ketiga (1995), menyebut tiga kali pergantian kepemimpinan damai sebagai ukuran mulai mapannya penerapan demokrasi di suatu negara demokrasi baru. Ini kurang lebih mencakup kurun waktu sekitar 10 sampai 15 tahun.

Namun harus diingat, banyak yang baru mengalami transisi berkepanjangan dan sistem demokrasinya tak kunjung menemukan proses pemapanan, oleh karena itu selalu ringkih dilanda krisis politik, seperti terjadi di Thailand atau Filipina akibat tidak mulusnya suksesi kepemimpinan nasional.

Di Indonesia pun bayang-bayang gejolak terkadang masih menghantui panggung politik Indonesia saat menjelang pergantian kepemimpinan nasional. Mekanisme pilpres langsung pertama tahun 2004 sudah membuktikan dapat menjamin berlangsungnya suksesi kepemimpinan nasional secara damai. Peralihan kekuasaan dari Megawati ke SBY berlangsung tanpa gejolak. Pengalaman dua pilpres terakhir dapat dijadikan pelajaran bahwa penentuan presiden yang dilakukan langsung oleh rakyat terbukti telah menghilangkan potensi kericuhan politik dalam suksesi kepemimpinan nasional.

Pola dua periode

Dengan sendirinya, SBY sudah memasuki pola pemerintahan dua periode. Pada periode kedua, SBY memiliki peluang untuk menunjukkan akseptabilitas dan efektivitas kepemimpinannya dalam menjalankan roda pemerintahan. Kinerja dan keabsahan kepemimpinan SBY pada periode pertama, terlegitimasi oleh kemenangan pada pemilihan presiden periode kedua. Keterpilihannya merupakan bukti apa yang diperbuat SBY pada periode pertama dibantu wapres dan para menterinya sudah dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat yang memilihnya.

Keberhasilan SBY ini mengandung nilai strategis, mengingat sebelumnya tidak ada pola baku dalam menjalankan roda kepemimpinan nasional di negeri ini. Dengan demikian, melalui pilpres langsung ini, sekaligus membangun tradisi baru untuk membangun pola-pola kepemimpinan nasional dua periode yang didasarkan pada pilihan atau legitimasi langsung dari rakyat.

Pada saat itu, secara subjektif SBY dalam posisi relatif tidak terlalu terikat sentimen persaingan politik, karena mungkin SBY tidak lagi menjadi pemain langsung yang berkompetisi dalam pilpres tersebut. Tetapi sebaliknya, sebagai incumbent, SBY sepenuhnya dituntut bertanggung jawab terhadap berlangsungnya suksesi kepemimpinan nasional yang damai. Inilah peran sebagai pembangun sistem yang dapat dimainkan oleh SBY dengan leluasa setelah menjalani dua periode kepemimpinannya nanti.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar