"Negara Beling"
ADA satu kawasan di dunia ini yang dulu merupakan lahan pertanian subur, dengan penduduk yang makmur, sejahtera, damai, dan tenteram. Entah sejak kapan dan untuk alasan apa kemudian tersohor dengan sebutan "negara Beling". Sisa-sisa lahan pertanian yang dulu menjadi andalan kehidupan ekonomi memang masih ada, tetapi penuh belukar dan sampah. Tidak ada lagi yang mau bertani, selain karena harga pupuk tidak sebanding dengan hasil pertanian, juga karena bertani dianggap sebagai profesi tak bergengsi.
Istilah beling berkonotasi dengan pecahan gelas, botol, kaca, dan sebagainya, yang secara fisik tidak nyaman dijamah, bahkan bisa menimbulkan luka yang mengerikan. Dalam kehidupan sehari-hari urang Bandung, istilah beling sering pula dimaknai dengan sampah sehingga orang yang pekerjaannya pengumpul barang bekas, mengais dari tempat sampah kerap disebut dengan istilah "tukang beling".
Istilah negara berkaitan dengan hukum dan sistem nilai yang berlaku di kawasan itu. Tentu saja, di negara Beling berlaku pula peraturan hukum, mulai dari undang-undang sampai dengan peraturan daerah. Akan tetapi, di negara Beling hukum tidak dipandang secara hitam putih, melainkan cenderung kelabu, dalam arti yang salah bisa benar dan yang benar bisa salah. Begitu pula dengan moral masyarakatnya, yang haram bisa halal dan yang halal apalagi.
Pengangguran dan kemiskinan dalam segala makna merupakan gejala umum penduduk negara Beling yang relatif padat dan kumuh. Dalam kondisi yang demikian, pekerjaan yang ditekuni warganya dapat dikategorikan ke dalam tiga profesi utama, yaitu pengusaha beling, maling, dan pengemis, yang di antara ketiganya terdapat keterkaitan secara "simbiosis mutualistis".
Namun setelah reformasi, perubahan besar terjadi di negara Beling. Jika sebelumnya penduduk relatif sama posisinya pada garis kemiskinan, sekarang sudah banyak yang baru kaya. Tapi, yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin. Para pengusaha beling merekrut sebagian maling dan pengemis untuk bekerja bagi kepentingannya, sebagai tukang tagih, tukang pukul, tukang suap, tukang demo, provokator, dan pokrol. Dulu mereka naik sendal butut sekarang naik Ferrari dan Lamborgini. Uniknya, meski status sosial berubah, penampilan dan gaya hidup berubah, tetapi profesi asal diam-diam masih mereka pertahankan. Pada dasarnya, mereka tetap saja pengusaha beling, maling, dan pengemis!
Para maling tidak lagi beroperasi menggunakan gangsir dan aji sirep, tetapi dengan mark up, illegal logging, "komisi", "kredit macet", money laundering, dan sebagainya. Para pengemis tidak lagi menggunakan mangkuk dan kaleng bekas dengan pakaian compang-camping, tetapi dengan gagah dan perlente sambil berlindung di balik idealisme tertentu mengajukan proposal ini dan itu, yang ujung-ujungnya duit. Jika proposal-proposal itu diabaikan, pasti mereka marah dan mengancam akan membongar kelakuan para maling. Maling yang tidak punya uang tunai untuk memenuhi proposal para pengemis biasanya cari solusi ke pengusaha beling. Pengusaha beling segera mengulurkan tangan, tentu saja dengan imbalan terbitnya izin ini dan izin itu, peraturan ini dan itu, atau konsesi ini dan itu, yang mesti menguntungkan pengusaha beling.
Momen pemilihan penguasa negeri dijadikan lahan investasi bagi pengusaha beling, sedangkan para maling dan pengemis kompak menghabiskan investasi itu dalam "tim sukses". Semakin besar investasi, semakin panjang gerbong tim sukses. Kalah atau menang bukan tujuan, yang penting sukses!
Apabila mereka tertangkap atas tuduhan korupsi atau kolusi, ada banyak pengemis yang mau dimobilisasi, menurunkan massa, demonstrasi dan orasi di kantor penyidik, menggiring opini publik, dan melakukan lobi politik sehingga membuat pusing kepala penyidik.
Ah, untung saja Indonesia bukan negara Beling ?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar