Menjaga Amanah
SUATU ketika, seorang laki-laki memuji temannya yang didengar Umar bin Khattab. "Tidakkah Anda berlebih-lebihan menceritakan orang itu?" ujar Umar menegur.
"Tidak! Tidak berlebihan karena memang kenyataannya demikian," kata orang itu menjawab.
"Di manakah Anda bertemu dengan orang yang Anda anggap paling baik dan paling takwa itu?"
"Di masjid. Saya selalu menemukannya di masjid."
Mendengar jawaban itu, Umar berkata, "Kejujuran seseorang tidak bisa diukur hanya karena ia sering berada di masjid, tetapi kejujuran hanya bisa diuji ketika mendapat amanah dan titipan dari Allah."
Saat ini, masyarakat Indonesia sedang menentukan nasibnya untuk memilih pemimpin yang amanah. Kepemimpinan amanah sebagai hasil Pilpres 8 Juli mendatang, diharapkan membawa bangsa Indonesia kepada kondisi negara yang sejahtera dan dalam lindungan Allah SWT.
Rasulullah bersabda, iman itu bertingkat-tingkat, dari mengucapkan dua kalimat syahadat sampai tingkatan paling tinggi dan paling berat, yakni menjaga dan melaksanakan amanah. Allah berfirman dalam hadis Qudsi, "Wahai Adam, sesungguhnya Aku telah menawarkan amanah kepada langit dan bumi, namun mereka menyatakan tak mampu. Apakah engkau sanggup memikulnya dengan segala akibatnya?"
"Apa yang saya bisa dapat bila memikul amanah itu?" kata Adam.
"Jika engkau mampu memikulnya, engkau akan mendapatkan pahala, tetapi jika engkau menyia-nyiakannya, akan mendapat siksa."
"Baiklah, saya menerimanya dengan segala risiko dan akibatnya," kata Adam. Tak lama kemudian, selang antara waktu Subuh dan Asar, terjadi peristiwa Adam dan Hawa tergoda setan sehingga akhirnya harus turun ke bumi.
Sebagian ulama memaknai amanah sebagai tauhid. "Tidak ada Tuhan kecuali Allah." Namun, ada yang mengartikan sebagai pengetahuan, keadilan, dan akal pikiran. Ahli tafsir terkenal, Imam al Isfahani memaknai amanah sebagai akal pikiran, karena dengan akal bisa memahami tauhid dan memberlakukan keadilan serta menemukan segala ilmu pengetahuan.
Akal juga memberikan nilai lebih kepada manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Akan tetapi, ada juga ulama yang memaknai amanah sebagai agama dan ketaatan kepada Allah, seperti salat, puasa, sampai mengelola harta, wanita, dan jabatan dengan baik.
Ahli tafsir, Ibnu Katsir menyatakan, semua pendapat tersebut adalah sama, yakni intinya taklif atau pembebanan/penerapan hukum dan peraturan Allah yang harus dikerjakan dengan semua konsekuensinya. Jika beban itu dilaksanakan, manusia memperoleh pahala dan akan mendapat hukuman atau azab apabila amanah tidak dijalankan.
Ayat-ayat Alquran menjelaskan amanah ini, di antaranya dalam Q.S. Al Ahzab: 72, Q.S. Al Baqarah: 283, Q.S. An Nisa: 58, Q.S. Al Anfaal: 27, dan Q.S. Al Mukmin: 8. Sedangkan Rasulullah bersabda, "Tidak ada iman dan tidak sempurna keimanan seseorang bagi mereka yang tidak memegang teguh amanah."
Dari ayat-ayat Alquran dan hadis sungguh jelas bahwa amanah merupakan sesuatu yang amat berat. Tergelincir sedikit saja bisa membuat orang jadi khianat. Dalam kehidupan sehari-hari, kita memiliki banyak amanah, seperti ilmu pengetahuan. Apakah kita sudah memanfaatkan ilmu sesuai dengan amanat Allah? Umat Islam diwajibkan mentransfer ilmu dan mengamalkannya, sedangkan orang yang mengetahui tetapi tidak mengamalkannya, masuk golongan terkutuk (al maghdaab).
Amanah lainnya dalam bentuk wewenang, jabatan, pekerjaan, atau usaha sebagai jalan kita memperoleh rezeki. Apakah kita sudah menjalankan amanah-amanah itu sesuai dengan ketentuan Allah? Bahkan, meski kita masuk karyawan kontrak, tenaga sukarelawan, apalagi pejabat, sesungguhnya semua itu merupakan amanah dari Allah.
Berkaitan dengan amanah berupa kepemimpinan, jabatan, atau kekuasaan ini, ada sebuah hadis yang merupakan jawaban Nabi Muhammad kepada sahabat Abu Dzar Alghifari. Suatu saat, Abu Dzar meminta agar diberikan kesempatan untuk memikul wewenang dan kepemimpinan. Nabi menjawab, "Kamu ini lemah, setiap jabatan dan kepemimpinan sesungguhnya amanah dari Allah. Dan, setiap orang yang mendapatkan jabatan dan menjadi pemimpin, maka sesungguhnya mereka akan mendapat kesengsaraan, kesedihan, dan penyesalan, kecuali orang-orang yang mengambil dan membawanya dengan cara baik dan setelah menjadi pemimpin mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik."
Dalam hadis lainnya, Rasulullah bersabda,"Barangsiapa yang mengangkat seseorang untuk mengurus umat, padahal ia sudah tahu ada orang yang lebih pantas menduduki jabatan itu, ia telah khianat kepada Allah, Rasulullah, dan seluruh mukmin."
Demikian pula amanah dalam bentuk suami atau istri dan anak-anak. Apakah kita telah menunaikan kewajiban dan hak-haknya sebagai istri/suami, ayah atau ibu? Rasulullah mengingatkan sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik kepada keluarganya. Allah mewanti-wanti agar kaum Muslimin tidak mewariskan generasi masa depan yang lebih lemah (Q.S. An Nisa: 9).
Harta, baik pakaian, uang, rumah, kendaraan, alat komunikasi, dan lain-lain, juga amanah dari Allah. Apakah kita sudah menggunakannya sesuai dengan ketentuan Allah? Apakah kita sudah mengeluarkan zakat, infak, atau sedekah sebagai bagian tak terpisahkan dari harta kita?
Kita perlu renungkan kondisi akhir-akhir ini, karena sedang terjadi krisis amanah. Semakin sulit menemukan orang yang bisa menjaga dan melaksanakan amanah. Orang-orang pintar makin banyak, tetapi bagaimana dengan orang-orang amanah? Lembaga-lembaga pendidikan yang mencetak orang terampil juga makin banyak, tetapi adakah lembaga pendidikan yang menghasilkan orang al-amin (yang dipercaya)?
Rasulullah menyiratkan salah satu ajaran Islam yang cepat hilang di tengah-tengah masyarakat adalah amanah dan amanah. Ia merupakan manifestasi iman yang sulit diwujudkan. Semoga kita bisa menjaga dan melaksanakan amanah, sehingga jauh dari sifat munafik.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar