"Qurrata A`yun"

SETIAP orang tua Muslim, bisa dipastikan memiliki harapan dan keinginan memiliki anak-anak yang saleh. Anak-anaknya tumbuh sebagai qurrata-a`yun yakni menjadi kebanggaan.

Keinginan itu bisa dibuktikan dari dua ungkapan. Pertama, ungkapan kepada sesama, ketika anak kita lahir atau dikhitan. Kepada keluarga, tetangga, dan sahabat yang hadir atau menjenguk, yang dimohonkan kepada mereka adalah doa agar anak tersebut menjadi anak yang saleh. Kedua, ungkapan kepada Allah dalam doa yang memohon agar keturunannya menjadi qurrata-a`yun, menjadi kebanggaan, baik lahir maupun batin, kebanggaan dunia dan akhirat.

Harapan dan keinginan tersebut tentu dilandasi keyakinan akan jaminan Nabi saw. yang menyatakan, di antara empat hal yang akan membawa kebahagiaan seseorang, adalah jika memiliki anak-anak yang saleh ( H.R. Ath-Thabrani). Nabi saw. juga menyatakan di akhirat nanti, akan ada banyak orang tua yang mendapat tempat sangat istimewa di surga, berkat doa dan istigfar anak-anaknya yang salih (H.R. Ahmad).

Selain itu, tak sedikit orang tua yang hidupnya begitu tenang dan bahagia karena anak-anaknya saleh. Sebaliknya, kita sering pula menyaksikan banyak orang tua yang sakit berdiri, tidak enak makan dan tidur, karena memikirkan perilaku anak-anaknya yang jauh dari kesalehan.

Apalagi jika kita memperhatikan bunyi Q.S. Al-Ma`arij : 10-14, yang mengisyaratkan bahwa anak-anak yang durhaka, nanti di akhirat bukan akan menjadi kebanggaan orang tua atau mengangkat harkat dan martabat orang tua, tapi malah ia akan memohon kepada Allah SWT agar masuk nerakanya digantikan oleh kedua orang tuanya. Orang tua mana yang sudi masuk neraka, hanya karena "diseret" anak-anaknya.

Anak saleh secara sederhana bisa didefinisikan sebagai anak yang beramal kebajikan. Caranya, sejak dini ditanamkan mahabbah atau kecintaan kepada amal saleh. Kecintaan akan melahirkan pengorbanan, sehingga anak-anak kita akan rela mengorbankan waktu, tenaga, harta, dan bahkan nyawa sekalipun, untuk beramal saleh.

Sesuai dengan ungkapan "tak kenal maka tak sayang ". Kecintaan kepada amal saleh bisa ditanamkan melalui kegiatan pendidikan. Dalam Islam dikenal prinsip pendidikan sepanjang hayat (long life education), yakni Minal Mahdi ilal-lahdi. Tapi yang terbaik dilakukan tentu sejak dini, sejak masih anak-anak atau masih muda. Pepatah menyebutkan, pendidikan sejak kecil ibarat memahat di batu, pendidikan sesudah tua ibarat menulis di air.

Batutulis di Sungai Ciaruteun, Bogor, usianya sudah ratusan tahun, tapi masih ada dan masih bisa dibaca. Belajar setelah tua biasanya susah ingat, tapi mudah lupa. Nabi saw. menjanjikan jika Allah bermaksud memberi kebaikan kepada seseorang, maka Allah akan menjadikan orang itu memahami agamanya dengan baik (H.R.Muslim). Pemahaman terhadap agama tentu tidak akan datang dengan sendirinya, melainkan harus diusahakan.

Target pendidikan di Indonesia dijabarkan dalam Trichotomi Pendidikan, yakni 3H: Head (kepala atau otak yang cerdas ), heart (hati yang beriman dan bertakwa yang akan melahirkan akhlakul karimah), dan hand ( tangan yang terampil). Singkatnya, membentuk SDM yang cerdas, takwa, dan terampil.

Tentu target tersebut sangat ideal, tapi sayangnya tidak dijabarkan dalam struktur kurikulum pendidikan nasional yang ideal pula. Sebagai bukti misalnya, mata pelajaran agama yang dialamatkan kepada heart (hati), hanya dialokasikan dengan jumlah jam belajar yang sangat minim. Berbeda kontras dengan alokasi jam belajar bagi mata pelajaran yang dialamatkan ke otak. Padahal, spektrum atau cakupan ajaran agama itu sangat luas.

Apalagi belum pernah ada political will dari pemerintah, untuk memasukkan mata pelajaran agama termasuk yang di -Ujian Nasional (UN)-kan, agar perhatian murid dan guru terhadap pelajaran agama menjadi kuat. Sementara itu di dalam keluarga, banyak orang tua yang merasa cukup memberikan pelajaran agama kepada anak-anaknya, dengan apa yang mereka dapatkan di sekolah saja. Tidak ada upaya lainnya.

Oleh sebab itu, kita tidak heran jika banyak lulusan lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, yang baru bisa melahirkan lulusan yang cerdas otaknya, sehat fisiknya, terampil tangannya, tapi menyedihkan akhlaknya!

Setelah selesai mengikuti UN, banyak orang tua yang bimbang dalam menentukan pilihan, lembaga pendidikan mana yang akan dipilih untuk menjadi tempat bagi anak-anaknya melanjutkan pendidikannya? Rata-rata mereka memilih lembaga pendidikan yang baik secara otak, bahkan menjamin pekerjaan, sedangkan urusan pembentukan akhlak sama sekali tidak dilirik.

Untuk membentuk generasi qurrata-a`yun, Nabi saw. dalam hadis riwayat Abu Nuaim sudah mengingatkan, agar kita tidak duduk belajar pada semua orang pandai (alim) kecuali orang alim yang menuntun kita dari lima perkara kepada lima perkara. Yakni, dari keragu-raguan kepada keyakinan, dari riya kepada ikhlas, dari sombong kepada rendah hati, dari serakah kepada zuhud, dan dari permusuhan kepada kejujuran.

Jika hadis tersebut kita hubungkan kepada lembaga pendidikan, maka Nabi saw. menganjurkan agar dalam memilih lembaga pendidikan bagi anak-anak kita, kita tidak hanya melihat fasilitas, sarana dan prasarana pendidikannya, melainkan mutu lulusannya. Apakah para alumninya di samping cerdas dan terampil, juga memiliki keyakinan agama yang kuat? Lalu, lulusannya ikhlas dalam bekerja, rendah hati, zuhud, dengan hidupnya tidak diperbudak oleh harta dunia dan jujur.

Hal lain yang penting adalah keteladanan dari para orang tua, guru, tokoh masyarakat, dan pejabat publik. Lingkungan pergaulan juga menjadi variabel penting dalam mewujudkan harapan dan keingingan punya keturunan yang menjadi kebanggaan (qurrata-a`yun). Wallahualam.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar