Berzakatlah!

"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Q.S. Al-Baqarah [2]:195)

Pemberdayaan ekonomi umat bisa dilakukan dengan jalan mengoptimalkan potensi zakat. Di Jawa Barat saja, potensi zakat harta (al-mal) mencapai Rp 7,5 trliun per tahun. Namun, baru tergarap sekitar Rp 78,5 miliar per tahun, karena kesadaran masyarakat yang rendah dan belum dikelola secara maksimal. Oleh karena itu, agenda mendesak bagi umat Islam, di Jawa Barat, sekarang adalah mengoptimalkan potensi ekonomi dalam syariat zakat.

Potensi zakat–saat kita sedang menunaikan ibadah puasa --mestinya diperhatikan oleh umat Islam. Zakat fitrah saja kalau dikelola secara baik, akan membentuk ketahanan ekonomi bagi warga miskin, yang notabene berasal dari kalangan umat Islam. Dengan pengelolaan yang profesional, jujur, dan produktif, zakat adalah formula hebat dalam menggempur kemiskinan.

Secara terminologis, zakat adalah istilah yang digunakan bagi sejumlah harta tertentu, yang telah mencapai syarat tertentu, yang diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan syarat tertentu. Harta yang dikeluarkan zakat, akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang (at-Taubah: 103, dan ar-Rum: 39).

Seperti halnya ketika kita hendak memakan buah pisang. Sebelum memakannya, kita mesti mengupas terlebih dahulu kulitnya, baru kemudian kita memakan daging pisang tersebut. Begitu pun dengan harta yang kita miliki. Di dalamnya, ada hak atau kulit yang harus kita berikan sebagai prosesi membersihkan harta yang kita miliki. Ketika kita tidak mengeluarkan zakat, itu berarti kita seperti orang yang memakan buah pisang dengan kulit-kulitnya. Serakah nian, kalau ada orang yang memakan pisang dengan kulit-kulitnya.

Dalam aturan fiqh, zakat wajib dikeluarkan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut.

Pertama, harta dimiliki secara sah, berasal dari usaha, kerja, warisan, atau pemberian yang sah, yang dapat dipergunakan, diambil manfaatnya, atau disimpan. Di luar itu, seperti hasil korupsi, kolusi, suap, atau perbuatan tercela lainnya, tidak sah dan tak akan diterima zakatnya. Rasulullah saw. bersabda, "Allah SWT tidak akan menerima zakat atau sedekah dari harta yang ghulul (didapatkan dengan cara batil)."

Kedua, harta yang berkembang dari hasil usaha, seperti perdagangan, peternakan, pertanian, deposito mudarabah, usaha bersama, dan obligasi.

Ketiga, harta telah mencapai nisab, yakni mencapai ukuran tertentu, misalnya, untuk hasil pertanian telah mencapai jumlah 653 kg, emas atau perak telah senilai 85 gram emas, perdagangan telah mencapai nilai 85 gram emas, dan peternakan sapi telah mencapai 30 sapi.

Keempat, harta melebihi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan minimal yang diperlukan guna kelangsungan hidupnya.

Kelima, harta mencapai satu tahun (haul) untuk harta-harta tertentu, seperti perdagangan. Namun untuk zakat tanaman, dikeluarkan zakat tiba musim panen (Q.S. Al-An`am: 141).

Nah, apabila Anda memiliki harta sesuai persyaratan di atas, diwajibkan untuk mengeluarkan zakat. Namun, tidak menutup kemungkinan, kalau pun harta Anda belum memenuhi batas diwajibkannya zakat, kemudian ingin memberikannya kepada fakir miskin; sedekah dan infak adalah cara yang tepat. Infak ialah mengeluarkan sebagian dari harta atau penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.

Rasulullah saw. menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta, maka membaca tasbih, membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami istri, dan melakukan kegiatan amar ma`ruf nahi munkar adalah sedekah. (H.R. Muslim)

Akan tetapi, kata sedekah dalam Alquran sering digunakan untuk menyebut zakat (Q.S. At-Taubah: 60 dan 103). Kalau Anda telah berzakat tetapi masih memiliki kelebihan harta, sangat dianjurkan untuk berinfak atau bersedekah. Berinfak adalah ciri utama orang yang bertakwa (al-Baqarah: 3 dan Ali Imran: 134), Mukmin yang sungguh-sungguh imannya (al-Anfal: 3-4), mukmin yang mengharapkan keuntungan abadi (al-Faathir: 29).

Itulah kiranya landasan mengapa umat Islam diwajibkan berzakat. Bahkan, kendati harta kita belum memenuhi syarat wajib zakat, membiasakan diri sedekah dan infak adalah pesan bahwa kita mesti berbagi dengan sesama. Apalagi, kalau dikelola secara profesional oleh suatu lembaga, itu akan menjadi kekuatan bagi pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi. Di bidang pendidikan pun, zakat akan memberikan harapan bagi siswa dan siswi yang tidak mampu membiayai sekolahnya.

Harta kekayaan, ketika tidak dibersihkan, itu akan menjadi senjata makan tuan bagi keimanan kita. Seperti dibilang Kang Jalal dalam bukunya, Reformasi Sufistik, kalau Anda kaya, berhati-hatilah terkena sindrom Tsa`labah. Suatu penyakit hati yang tak sudi berbagi dengan sesama dan memberikan bagian Allah di dalam hartanya. Tak salah apabila ada ulama yang menyebut zakat, berarti proses penyucian harta dari kotoran-kotoran hati yang bisa menjadikan manusia serakah, seperti Qarun dan Fir`aun. Wallahua`lam.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar